Bagi kita, umat Islam, beragama bukan semata-mata untuk mencari
kepuasan. Beragama adalah berserah diri, sesuai makna asal kata “islam”
itu sendiri. Selain itu, “agama” dalam bahasa Arab disebut dîn (دِين), seakar dengan kata dain (دَيْن)
yang salah satu artinya adalah ‘utang’ atau ‘pembalasan’. Karena Allah
sudah memberikan teramat banyak karunia kepada kita sehingga kita tidak
mungkin membayar pemberian-pemberian (‘utang’) itu dengan apa pun, maka
sebagai bentuk pembayarannya kita serahkan diri kita sepenuhnya kepada Dia. Itulah antara lain makna beragama.
Kalau kita tidak bisa mengerti mengapa dalam ibadah haji ada ritual
mengelilingi Kakbah sebanyak tujuh kali, misalnya, itu tidak menjadi
alasan untuk tidak melaksanakan haji. Kalau kita tidak mengerti mengapa
laki-laki boleh beristri empat sedangkan perempuan tidak boleh bersuami
kecuali satu, itu tidak menjadi alasan kita untuk tidak taat kepada
agama. Kalau kita tidak bisa memahami bagaimana mungkin Nabi saw. bisa
bolak-balik ke sidratul muntaha di langit ketujuh kemudian kembali lagi
ke bumi dalam waktu hanya beberapa saat pada suatu malam, itu tidak
menjadi alasan untuk tidak percaya pada peristiwa Isra’ Mikraj.
Mengenai pertanyaan yang dilontarkan oleh sebagian orang non-Muslim tentang pernikahan Nabi Muhammad
saw. dengan Aisyah ra. yang dianggap masih di bawah umur, itu pun
termasuk persoalan yang terkadang sulit kita pahami. Tetapi, yang cukup
mengherankan, pertanyaan serupa tidak pernah terdengar dari musuh-musuh
Nabi saw. pada masa beliau masih hidup. Ini artinya apa? Artinya,
pernikahan Nabi saw. dengan Aisyah ra. itu bukan suatu persoalan pada
masa itu! Kritik orang terhadap pernikahan Nabi saw. dengan Aisyah ra.
yang dinilai masih di bawah umur, itu pada umumnya karena orang-orang
itu menggunakan standar zaman sekarang untuk menilai sesuatu yang
terjadi 14 abad yang lalu.
M. Quraish Shihab dalam bukunya Membaca Sirah Nabi saw. dalam Sorotan al-Qur’an dan Hadits-hadits Shahih
(Cet. I, Juni 2011), mengemukakan “keheranan”-nya terkait kritik
orang-orang terhadap pernikahan Nabi saw. dengan Aisyah ra. Katanya,
“Ada kritik yang ditujukan kepada Nabi saw. oleh sementara orang yang
hidup ratusan tahun setelah pernikahan tersebut, namun tidak terdengar
kritik apa pun, apalagi cemoohan, dari mereka yang semasa dengan Nabi
saw. walau dari lawan-lawan beliau yang selalu berusaha mendiskreditkan
beliau.” (hlm 530). Lebih lanjut, Quraish mengatakan, “Ini karena pada
masa lampau, sebelum dan pada masa Rasul, bahkan beberapa generasi
sesudahnya, menikahi perempuan yang seusia dengan anak kandung merupakan
sesuatu yang lumrah dalam masyarakat umat manusia. Terbaca dalam uraian
yang lalu tentang perkawinan ayah Nabi, Abdullah, bagaimana ayahnya,
yakni Abdu Muththalib, menikahi juga perempuan yang sebaya dengan istri
anaknya, yakni Halah, anak paman Aminah.” (hlm 530).
Di halaman yang sama buku itu, Prof. Quraish Shihab juga memaparkan
fakta sejarah bahwa Umar bin Khaththab ra. menawarkan anaknya yang muda
belia, Hafshah, yang sebaya dengan Aisyah, untuk dinikahi Utsman ra.
Juga Umar bin al-Khaththab menikahi putri Ali bin Abi Thalib yang dapat
dinilai sebagai semacam pernikahan antara
“kakek dengan cucu”. Demikian juga halnya pernikahan Zaid ibn Haritsah,
bekas anak angkat Rasul saw., dengan Ummu Aiman yang mengasuh Nabi
sewaktu kecil. Ini serupa juga dengan pernikahan “nenek” dengan cucunya.
Demikian kurang lebih uraian Quraish Shihab.
Jadi, dapat kita katakan bahwa pernikahan seorang lelaki tua dengan
perempuan yang relatif masih sangat muda adalah hal yang biasa pada
masyarakat masa itu. Bukan sesuatu yang aneh, apalagi aib. Dan itu bukan
hanya terjadi pada masyarakat Arab, tetapi juga pada masyarakat lain.
Raja Hendri Kelima, leluhur Ratu Elizabeth, Ratu Inggris, sekitar 500
tahun yang lalu menikah dengan enam orang gadis yang muda-muda. Bahkan
hingga beberapa tahun yang lalu di Spanyol dan Portugis, juga di
beberapa pegunungan di Amerika Serikat, perkawinan dengan gadis-gadis
muda masih berlaku. Sastrawan dan filosof Mesir kontemporer, Anis
Manshur (lahir Agustus 1924), dalam bukunya Min Awwal Nazhrah,
mengutip uraian Nena Beton dalam bukunya yang menguraikan “Cinta dan
Orang-orang Spanyol”, bahwa telah menjadi kebiasaan pada abad ke-12 dan
ke-13 bahwa masyarakat mengawinkan anak-anak lelaki mereka pada usia
sangat muda. Ini disebabkan karena para tuan tanah merampas anak-anak
kecil dan mempekerjakan mereka tanpa imbalan. Demikian Anis Mansur yang
dikutip oleh Quraish Shihab.
Agaknya, seperti disimpulkan oleh Quraish Shihab dari uraian di atas,
kebiasaan masyarakat Arab masa lalu itu untuk mengawinkan putri-putri
mereka yang masih kecil disebabkan karena khawatir anak perempuannya
terlantar atau diperkosa akibat perang antar-suku. Dengan mengawinkan
mereka sejak kecil, maka akan bertambah perlindungan atas mereka dari
suami dan suku suaminya.
Di sisi lain, perempuan yang tinggal di daerah tropis sering kali
lebih cepat dewasa dibandingkan dengan mereka yang bermukim di
daerah-daerah dingin. Tidak jarang dalam usia delapan tahun gadis-gadis
di sana telah mengalami menstruasi. Dalam kasus Aisyah, “kesiapannya
untuk dinikahi” ini dapat dibuktikan dengan telah dilamarnya ia –sebelum
dilamar Nabi saw.– oleh Jubair bin Muth’im bin ‘Adi. Tetapi proses
pernikahan mereka tertunda-tunda karena kedua orangtua Jubair khawatir
jangan sampai anaknya memeluk agama Islam. Karena berlarutnya
penangguhan itu, maka Abu Bakar ra., ayah kandung Aisyah ra., secara
baik-baik mendatangi keluarga Jubair, lalu mereka sepakat membatalkan
lamaran tersebut.
Itulah standar nilai yang berlaku pada masa itu. Kita tentu tidak
ingin dinilai oleh generasi masa lalu dengan standar nilai yang mereka
anut. Oleh karenanya, kita pun semestinya tidak menilai mereka yang
hidup pada masa lalu itu dengan standar nilai yang kita anut.
Kesimpulan ini juga menggiring kita untuk tidak menjadikan semua
pengalaman Nabi saw., dalam bidang non-ibadah murni (bukan ibadah mahdhah),
sebagai sesuatu yang baik untuk diteladani. Bukan saja karena beliau
adalah nabi yang memiliki hak dan kewajiban yang berbeda dengan kita,
tetapi juga karena adanya perkembangan masyarakat yang menjadikan masa
kita tidak sepenuhnya sama dengan masa Nabi saw. Ada nilai-nilai yang
bergeser.
Secara sedikit “vulgar” dapat kita katakan bahwa menikahi anak
perempuan usia 9 tahun pada masa kita sekarang bukanlah suatu sikap
meneladani Rasul saw. walaupun beliau menikahi Aisyah ra. ketika ia
berusia 9 tahun.
Demikian, wallahu a’lam.
[M. Arifin-Dewan Pakar Pusat Studi Al-Qur'an]
Source : alifmagz.com