Darul Ma'arif Asry

Amin.....Al-Fatihah..!

The Power of Affirmation

Imagine, Plan, and Action !!!

ANGKASA

Angkatan Sembilan Al-Ikhlas

IQTK 2013

Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Khusus Angkatan 2013

Islami is NOT classic

Islami = Modern Civilization based on Classic Civilizatin

Mohon Maaf Atas Segala Ketidaksempurnaan Blog ini

Dalam Proses Penyempurnaan....

Monday, September 8, 2014

Bagaimana Hukumnya Berjabat Tangan dengan Lawan Jenis?


Berjabat tangan antara pria dan wanita yang bukan mahram, merupakan salah satu bentuk persentuhan antara kedua jenis kelamin ini. Ulama berbeda pendapat menyangkut masalah ini. Ada yang membolehkan secara mutlak, ada juga yang membolehkan dengan syarat, dan tidak jarang pula yang melarang secara mutlak. Ini disebabkan tidak terdapat satu keterangan yang tegas dan jelas untuk dijadikan dalil. Menurut Prof. Ahmad Syarabashi, Guru Besar Universitas al-Azhar Kairo, dalam bukunya Yas’alûnaka Fî ad-Dîn wa al-Hayâh, perbedaan pendapat itu lahir dari perbedaan pendapat mereka tentang hukum menyentuh/memegang lawan jenis yang bukan mahram, apakah yang demikian membatalkan wudhu atau tidak.

Perbedaan ini lahir dari pemahaman mereka terhadap QS. al-Mâ’idah [5]: 6. Dalam mazhab Mâlik, sentuhan terhadap orang yang sudah balig yang menimbulkan rangsangan syahwat, membatalkan wudhu. Mazhab Abû Hanîfah menilai persentuhan tidak membatalkan wudhu, sedangkan dalam mazhab Syâfi‘î persentuhan antara dua jenis yang bukan mahram secara mutlak membatalkan wudhu.

Imam al-Qurthûbî, dalam tafsirnya tentang QS. al-Mumtahanah [60]: 12, mengemukakan beberapa riwayat tentang jabat tangan pria dan wanita. Antara lain, ‘Â’isyah ra. menyatakan, “Demi Allah, tangan Rasul Saw tidak pernah menyentuh tangan wanita [yang bukan mahram-nya] sama sekali, tetapi beliau membaiat mereka dengan ucapan” [HR. Muslim].

Akan tetapi, ada juga riwayat lain yang dikemukakan oleh al-Qurthûbî, antara lain, bahwa ketika Rasul Saw selesai membaiat [mengambil janji setia] seorang lelaki, beliau duduk di bukit Shafa, dan ‘Umar ra. berada di bawah beliau. Nabi Saw membaiat para wanita dan Rasulullah tidak berjabat tangan, tetapi ‘Umar ra. yang menjabat tangan mereka. Riwayat ini dilemahkan oleh sekian pakar hadits. Ada riwayat lain yang menyatakan bahwa ‘Umar ra. mengulurkan tangannya dari luar rumah dan perempuan dari dalam rumah.

Ulama yang membolehkan sentuhan atau jabat tangan berpendapat bahwa sikap Rasulullah tidak berjabat tangan itu bukan menunjukkan keharamannya, tetapi kehati-hatian dan pengajaran bagi umat. Pada hakikatnya, bagi kita di Indonesia, merapatkan kedua telapak tangan sambil menghormat lawan jenis yang ditemui merupakan cara yang dapat ditempuh bagi mereka yang menilai berjabatan tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram merupakan larangan agama.
Demikian, wa Allâhu a‘lam.

[M. Quraish Shihab, Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur'an]

Source : alifmagz.com

Friday, June 20, 2014

Bagaimana Cara Perempuan yang Tengah Haid untuk Mengikuti Pelajaran Membaca Al¬Quran ?

 
Bismillahirrahmanirrahim,
 
Berbeda-beda pendapat ulama tentang maksud firman Allah, Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan (QS Al-Waqi’ah [56]: 79). Hal tersebut disebabkan adanya berbagai kemungkinan arti bagi kosakata yang digunakan ayat itu. 
 
Misalnya, kata yamassuhu, apakah dalam pengertian hakiki atau majazi. Kalau hakiki maka ia berarti menyentuh atau memegang, sedangkan kalau majazi, artinya, antara lain, memahami dengan baik maksudnya, atau memperoleh berkatnya, atau merasakan ke1ezatannya.

Selanjutnya, diperbincangkan pula objek yamassuhu, apakah Al-Quran, atau apa yang disebut sebe1um ayat ini, yaitu Al-Lauh Al-Mahfuzh dan atas dasar pandangan-pandangan ini, lahir lagi perbedaan pendapat tentang arti al-muthahharun (yang disucikan) yang garis besar pendapat tentangnya dapat dibagi dua, yakni manusia atau malaikat.

Mayoritas ulama berpendapat bahwa objek yamassuhu adalah Al-Quran dan al-muthahharun adalah “manusia yang suci”. Kalau kata yamassuhu diartikan “memahami secara baik maksud Al-Quran”, maka al-muthahharun adalah Rasulullah Saw. dan manusia-manusia suci pilihan Allah. Sedangkan bila yamassuhu dipahami dalam arti “menyentuh/memegang”, maka al-muthahharun bisa berarti (1) yang suci dari syirik atau (2) yang suci dari hadas besar (seperti haid dan nifas), atau (3) yang suci dari hadas kecil (dalam keadaan berwudhu).

Pendapat pertama dianut oleh Dawud bin ‘Ali. Menurutnya, boleh memegang Mushaf Al- Quran, walaupun dalam keadaan tidak berwudhu, atau sedang dalam keadaan haid dan nifas, baik Muslim, Yahudi maupun Nasrani. Pendapat kedua-menurut satu riwayat-dianut oleh Imam Abu Hanifah. Pendapat ini membolehkan seorang Muslim yang tidak berwudhu untuk memegang Al-Quran. Pendapat ketiga dianut oleh mayoritas ulama, antara lain Imam Malik dan Syafi’i. Alasan mereka bukan hanya penafsiran ayat di atas, melainkan juga beberapa hadis Nabi Saw. 

Di antara ulama penganut pendapat ketiga ini, ada yang membolehkan memegang Al-Quran tanpa berwudhu, selama tidak dipegang secara langsung, misalnya dengan alas atau terbungkus. Mereka juga membenarkan wanita yang sedang haid membaca wirid atau doa yang berupa ayat-ayat Al-Quran. Oleh karena itu, ketika itu, ia dinilai membaca doa atau wirid, bukan membaca Al-Quran. Atas dasar ini, pula kita dapat berkata bahwa seseorang yang membaca Al-Quran atau menulis ayat-ayat dalam rangka ujian juga dapat dibenarkan. Rasulullah Saw. pernah menulis surat kepada Kaisar, yang berisi ayat-ayat Al-Quran. Tentu surat tersebut dibaca atau dipegang oleh Kaisar atau “sekretarisnya” yang bukan Muslim. Ini salah satu bukti bahwa dalam hal¬hal tertentu, boleh saja membaca atau memegang Al-Quran, walaupun tidak dalam keadaan suci atau bersuci. Memang semua pendapat yang dikemukakan di atas tujuannya adalah memberi penghormatan terhadap kitab suci Al-Quran, sehingga selama penghormatan telah terpenuhi, maka syarat utama telah terpenuhi pula. Wallahu a’lam.

[M. Quraish Shihab - Dewan Pakar Pusat Studi Al-Qur'an]

Source : alifmagz.com

Tuesday, May 20, 2014

Bagaimana Hukum Mendirikan Shalat Jumat di Dalam Penjara?


Pendapat yang menyatakan tidak sah shalat Jumat di penjara, maka ini antara lain dilatarbelakangi oleh pendapat ulama terdahulu yang menyatakan shalat Jumat hanya dilaksanakan di tempat pemukiman, dan bahwa tidak diperkenankan melaksanakan beberapa kali shalat Jumat pada satu wilayah. Di sisi lain tentu saja para tahanan mengalami kendala ‘untuk dapat keluar tahanan’, sehingga mereka dapat dinilai orang-orang yang memiliki syar’i (alasan yang dibenarkan agama) untuk tidak wajib melaksanakan Jumat.

Kini, setelah perkembangan masyarakat demikian pesat, maka shalat Jumat dapat saja dilaksanakan di beberapa tempat dalam satu wilayah termasuk dalam penjara dan dengan demikian pendapat yang menilai shalat Jumat di penjara tidak sah, menjadi tidak kuat lagi.
Demikian, wa Allah a’lam.

[M.Quraish Shihab - Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur'an]

Saturday, May 10, 2014

Berupa Apakah Jawaban dari Shalat Istikharah ?



Dalam istilah fikih, seperti disebut dalam Ensiklopedi Fikih terbitan Kementerian Wakaf Kuwait, istikhârah adalah meminta pilihan, yakni meminta agar keinginan atau tekad kita diarahkan kepada apa yang dipilihkan oleh Allah, dengan cara melaksanakan shalat atau membaca doa. Shalat sunnah istikharah didasarkan pada hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari melalui Sahabat Jâbir r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa hendak melakukan sesuatu (hamma bi al-amr: berkeinginan kuat untuk melakukan sesuatu), hendaklah ia melakukan shalat dua rakaat selain shalat fardu, kemudian berdoa: Allâhummâ innî astakhîruka bi ‘ilmika wa astaqdiruka bi qudratika. Fa innaka taqdiru wa lâ aqdir, wa ta‘lamu wa lâ a‘lam, wa anta ‘allâm al-ghuyûb. Allâhumma in kunta ta‘lamu anna hâdza al-amr khairun lî fî dînî wa ma‘âsyî wa ‘âqibati amri, fa uqdurhu lî wa yassirhu lî tsumma bârik lî fîh. Wa in kunta ta‘lamu anna hâdza al-amr syarrun lî fî dînî wa ma‘âsyî wa ‘âqibati amri, fa ishrifhu ‘annî wa ishrifnî ‘anhu, wa uqdur lî al-khaira haitshu kâna tsumma ardhinî bih.” Doa tersebut mengandung arti demikian: Ya Allah, jika dalam pengetahuan-Mu persoalan ini (apa yang menjadi keinginan kita) adalah baik bagiku dalam hal agamaku, kehidupan duniaku, maupun akhiratku, takdirkanlah ia bagiku, mudahkanlah ia untukku, kemudian berkahilah aku padanya. Dan jika dalam pengetahuan-Mu persoalan ini adalah buruk bagiku dalam hal agamaku, kehidupan duniaku, maupun akhiratku, palingkanlah ia dariku, palingkanlah aku darinya, dan takdirkanlah bagi yang baik di mana pun ia berada, kemudian jadikanlah aku rela menerimanya.

Lalu, jawabannya berupa apa? Jawaban dari shalat istikharah akan tampak pada kemantapan hati pada apa yang hendak kita lakukan. Dalam hadis yang lain, Rasulullah saw. pernah bersabda kepada Anas r.a., “Wahai Anas. Jika kamu hendak melakukan sesuatu, lakukanlah istikharah/ memohon pilihan dari Tuhanmu sebanyak tujuh kali, lalu lihatlah apa yang terasa (mantap) di hatimu karena kebaikan ada di situ.” (HR. Ibnu as-Sunni). Oleh karena itu, apabila kita sudah melakukan shalat istikharah dan membaca doanya sesuai yang disunnahkan, tetapi kemantapan hati tidak kunjung datang, itu pertanda bahwa sebaiknya kita tidak melakukan apa yang kita rencanakan. Jadi, catatan saya, dalam shalat istikharah kita bukan meminta jawaban terhadap apa yang kita inginkan, tetapi meminta pilihan terbaik dari Allah. Boleh jadi yang dipilih oleh Allah itu sama dengan yang kita inginkan, boleh jadi juga tidak sama. 

Sedangkan shalat hajat adalah adalah shalat sunnah untuk meminta suatu keinginan atau kebutuhan tertentu. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan Ibnu Majah disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa mempunyai suatu hajat (keinginan, kebutuhan) dari Allah maupun dari sesama manusia, hendaklah ia berwudhu dengan baik, kemudian melakukan shalat dua rakaat. Setelah itu memuji Allah dan bershalawat kepada Nabi saw. dan berdoa: Lâ ilâha illâ Allâh al-Halîm, al-Karîm. Subhânallâh rabb al-arsy al-‘azhîm, al-hamdu lillâhi rabb al-‘âlamîn. As’aluka mûjibâti rahmatik wa ‘azâ’ima maghfiratik wa al-ghanîmata min kulli birr wa as-salâmata min kulli itsm. Lâ tada‘ lî dzamban illâ ghafartah wa lâ hamman illâ farrajtah, wa lâ hâjatan hiya laka ridha illâ qadhaitahâ yâ arhama ar-râhimîn.” Arti doa itulah: Tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Penyantun, Mahamulia. Mahasuci Allah, Tuhan pemilik singgasana yang agung. Segala puji bagi Allah Pemelihara alam semesta. Aku memohon kepada-Mu apa-apa yang menyebabkan rahmat-Mu, yang membawa ampunan-Mu, apa-apa yang memperoleh keuntungan pada setiap kebajikan, dan keselamatan dari setiap dosa. Janganlah Engkau biarkan bagiku dosa kecuali Engkau ampuni, tidak pula suatu persoalan kecuali Engkau berikan jalan keluarnya, dan tidak pula suatu hajat yang Engkau ridhai kecuali Engkau kabulkan, wahai Tuhan Yang Maha Pengasih dari segala yang pengasih.

Sebagai catatan, dalam memohon kepada Allah sebaiknya kita jangan terburu-buru meminta dikabulkan. Rasulullah saw. bersabda, “Doa seseorang pasti dikabulkan selama ia tidak minta disegerakan.” (HR Bukhari dan Muslim). Jangan baru sekali-dua kali memohon lalu kita putus asa karena Allah tidak kunjung mengabulkan permohonan kita. Allah pasti akan mengabulkan permohonan kita. Cepat atau lambat. Sesuai dengan keinginan kita, atau malah lebih baik dari yang kita inginkan.
Demikian, wallahu a’lam.

[Muhammad Arifin, Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur'an]

Source : alifmagz.com

Apakah Maksud Kita Diperintah untuk Mencari Kelebihan Harta?



Dalam Al-Quran Surah Al-Jumu’ah (62):10 Allah berfirman:
“Maka apabila telah selesai ditunaikan shalat, bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah kelebihan karunia (rezeki) Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya. Mudah-mudahan kamu meraih kemenangan.”
 
Yang dimaksud carilah kelebihan di sini, ketika kita berkata bahwa Tuhan Mahakaya, substansinya jangan menjadikan seseorang tenggelam dalam mencari harta, sehingga titik-tolaknya sudah tidak suci dan tidak pernah merasa puas dengan apa yang dimilikinya. Ada hal yang menarik di dalam ibadah haji. Kita lihat bagaimana Siti Hajar mencari air kehidupan,dari Shafa ke Marwah,sebanyak tujuh kali.

Apa makna tujuh kali? Berusahalah sebanyak mungkin. Tujuh itu berarti “banyak”. Tapi syaratnya ada dua: harus dimulai dari Shafa-shafa itu artinya kesucian-dan harus berakhir di Marwah. Marwah itu artinya kepuasan.

Jadi berusahalah sekuat tenaga,carilah sebanyak mungkin. Tapi titik-tolaknya harus dari kesucian dan berakhir dengan kepuasan. Kalau itu dilakukan, maka seandainya seseorang gagal meraih sesuatu, yakinlah bahwa Tuhan akan memberikan kepadanya tanpa usaha dia, sebagaimana Hajar memperoleh air tanpa usaha dia.

[M.Quraish Shihab - Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur'an]

Thursday, May 8, 2014

Ihwal Pembelahan Dada Nabi Muhammad Saw



Kisah tentang dibedahnya dada Nabi Muhammad Saw amat populer di kalangan umat Islam. Sayang, kesahihan sumber-sumbernya diperselisihkan dan perincian kandungannya berbeda pula. ‘Abdullâh putra Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnad –sebagaimana dikutip oleh Ibnu Katsîr– meriwayatkan bahwa sahabat, Nabi Ubay bin Ka‘ab, menuturkan bahwa Abû Hurairah pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah hal pertama yang engkau alami menyangkut kenabian?” Rasulullah Saw menjawab, “Aku berada di padang pasir dan umurku ketika itu sepuluh tahun dan beberapa bulan. Tiba-tiba aku mendengar suara di atas kepalaku, [dan kulihat] ada seseorang berkata kepada seorang lainnya, ‘Apakah dia?’ Keduanya orang itu lalu menghadap kepadaku dengan wajah yang belum pernah kulihat sebelumnya, dengan keharuman yang belum pernah kudapatkan dari satu makhluk pun sebelumnya, dan dengan pakaian yang belum pernah kulihat dipakai seseorang sebelumnya. Mereka berdua menghampiriku hingga memegang bahuku, tetapi aku tidak merasa dipegang. Lalu, salah seorang berkata kepada temannya, Baringkanlah!’ Mereka berdua membaringkanku tanpa menarik [dengan keras] dan tidak juga mematahkan. Salah seorang berkata kepada temannya, ‘Belahlah dadanya!’ Ia memegang dan membelah dadaku. Temannya berkata, Keluarkanlah kedengkian dan iri hati!’ Ia mengeluarkan sesuatu seperti segumpal darah dan membuangnya. Kemudian temannya berkata, ‘Masukkanlah kasih sayang dan rahmat!’ Maka, kulihat serupa apa yang dikeluarkannya bagaikan perak, ….’” Tidak sedikit ulama yang menilai hadits ini sebagai lemah [dha‘îf].

Di sisi lain ada sebagian ulama yang memahami ayat 1 dalam surah asy-Syarh sebagai berbicara tentang pembelahan dada Nabi Saw Bagi mereka, terjemahan ayat itu –alam nasyrah laka shadrak– adalah: “Bukankah Kami telah membelah dadamu?” Pendapat ini didasarkan pada pemahaman kata “nasyrah”. Memang, akar kata itu [asy-syarh], menurut kamus-kamus bahasa, bermakna –antara lain– memperluas dan melapangkan. Kalau kata itu dikaitkan dengan sesuatu yang bersifat material, maka ia juga berarti memotong atau membedah. Sementara itu, bila dikaitkan dengan sesuatu yang bersifat nonmateri, maka kata itu berarti memberi pemahaman, menganugerahkan ketenangan, dan yang semaknanya. Seorang ulama tafsir, an-Naysâbûrî, memahami kata itu dalam arti “pembedahan” yang –menurutnya– pernah dilakukan oleh para malaikat pada diri Nabi Muhammad Saw, baik ketika beliau remaja, maupun beberapa saat sebelum beliau melakukan perjalanan Isrâ’ dan Mi‘râj.

Saya tidak cenderung memahaminya demikian, terlepas dari penilaian sahih-tidaknya riwayat-riwayat tentang pembedahan dada Rasulullah Saw. Pengamatan atas penggunaan kata syaraha oleh alQur’an, yang terulang sebanyak lima kali, tidak mendukung penafsiran demikian. Sebab, tidak ada satu pun dari kelima penggunaannya bersifat material, apalagi pembedahan.

Karena tidak ada ayat al-Qur’an yang mengandung penafsiran pasti ihwal pembedahan ini dan juga hadits Nabi yang hanya bersifat informasi perorangan.

[M. Quraish Shihab, Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur'an]

Source : alifmagz.com

Benarkah Nabi Muhammad Wafat Akibat Racun ?



Ada banyak riwayat tentang sakitnya Rasulullah saw. yang kemudian menyebabkan beliau wafat. Salah satunya adalah karena terserang flu akibat memakan daging beracun yang disuguhkan oleh seorang wanita Yahudi tiga atau empat tahun sebelumnya. Tetapi keadaan itu tidak berarti bahwa beliau tidak dilindungi oleh Allah (tidak maksum). Justru di situlah letak kemaksuman beliau. 

Racun yang dimasukkan ke dalam daging domba yang beliau makan itu sejatinya sangat ampuh dan cepat mematikan. Kalau saja yang terkena racun itu bukan beliau, bisa dipastikan orang itu langsung meninggal dunia tidak lama setelah memakannya. Akan tetapi Nabi saw. masih bertahan sampai tiga atau empat tahun kemudian. Beliau masih bisa melakukan dakwah secara normal, masih memimpin perang, masih menerima delegasi, dan masih menjalankan tugas-tugas lainnya sebagai nabi dan pemimpin umat.

Dalam hal ini, ada baiknya kita simak apa yang ditulis oleh Az-Zarqânî dalam bukunya, Syarh al-Mawâhib al-Ladunniyyah. Ia kurang lebih berkata begini, “Merupakan suatu mukjizat bahwa racun itu tidak memengaruhi beliau pada saat beliau memakannya. Sebab, orang-orang Yahudi berkeyakinan, ‘Kalau benar Muhammad adalah nabi, racun itu pasti tidak akan berpengaruh kepadanya, tetapi kalau ia adalah raja, kita akan terbebas darinya (maksudnya beliau pasti mati).’ Nah, ketika ternyata racun itu tidak mematikan beliau, orang-orang Yahudi akhirnya percaya bahwa beliau benar-benar nabi utusan Allah. Bahkan ada yang menyebutkan bahwa perempuan yang meracuni itu pun pada akhirnya memeluk Islam.”

Bahwa flunya beliau itu akibat pengaruh kecil dari racun, dapat kita baca dalam kitab Shahîh al-Bukhârî dan Shahîh Muslim (dua rujukan utama buku hadis). Di dalam dua buku hadis paling sahih itu Anas bin Malik ra. meriwayatkan bahwa seorang perempuan Yahudi memberi Rasulullah saw. daging kambing yang telah ia beri racun . Beliau lalu memakan daging itu. Perempuan Yahudi itu kemudian dibawa menemui Rasulullah saw. lalu ia berkata kepada beliau, “Aku hendak membunuhmu.” Rasulullah saw. lalu berkata, “Allah tidak akan mungkin memberi kemampuan kepadamu untuk membunuhku.” Para sahabat berkata kepada beliau, “Tidakkah kita bunuh saja perempuan ini?” Rasulullah saw. menjawab, “Jangan.” Anas bin Malik kemudian mengomentari riwayatnya, “Saya mengetahui bekas daging yang beliau makan tampak di katup tenggorokannya.”

Mengomentari riwayat Anas ini, Imam an-Nawawî dalam buku Syarh Shahîh Muslim, mengatakan, “Seolah-olah racun itu masih ada tanda dan bekasnya berupa warna kehitaman atau lainnya.”

Riwayat Anas bin Malik ini senada dengan riwayat Aisyah ra. yang juga kita temukan di dalam Shahîh al-Bukhârî, “Nabi saw. berkata ketika sakit yang menyebabkan beliau wafat, ‘Wahai Aisyah! Aku masih merasakan sakitnya (bekas) makanan yang aku makan di Khaibar (yang disuguhkan oleh perempuan Yahudi). Dan sekarang adalah waktu di mana pembuluh nadiku terputus dari racun itu.’”

Jadi, jika ada yang mengatakan bahwa nabi wafat tanpa mengalami sakit sama sekali, saya kira kurang tepat juga. Riwayat-riwayat yang sangat kuat semuanya menyebutkan bahwa beliau merasakan sakit yang seolah menandakan ajal beliau sudah dekat. Sakit semacam flu itu mulai beliau rasakan sekali-sekali –tidak dalam waktu lama atau sepanjang empat tahun– sejak memakan daging beracun di Khaibar. 

Banyak ulama yang mengomentari bahwa kematian beliau seperti itu merupakan kematian yang sangat mulia dan terhormat. Allah swt. seolah mempertemukan dua sebab kematian sekaligus: yakni mati biasa (sebagai seorang nabi yang memang sudah tua) dan mati syahid akibat racun seperti dapat kita pahami dari ungkapan beliau sendiri kepada Sayyidah Aisyah ra., “Aku masih merasakan sakitnya (bekas) makanan yang aku makan di Khaibar, dan sekarang adalah waktu di mana racun itu memutus pembuluh nadiku.”

Dan, sekali lagi, itu justru menunjukkan bahwa beliau dilindungi oleh Allah (maksum) yang dapat kita lihat dari kondisi beliau yang masih sehat wal afiat beberapa tahun setelah memakan daging beracun itu. Beliau hanya merasakan sakit sekali-sekali akibat bekas racun yang pada akhirnya menyebabkan beliau wafat.
Demikian, wallahu a’lam.

[M. Arifin - [M. Quraish Shihab - Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur'an

Source : alfmagz.com

Thursday, May 1, 2014

TA’ARUF ATAU PACARAN ISLAMI ?




Allah swt. Menciptakan manusia dalam keragaman, baik keragaman budaya, bangsa, suku dan ras. Termasuk menciptakan manusia dalam dua jenis, yaitu laki-laki dan perempuan. Keragaman atau perbedaan yang diciptakanNya ini tidak lain kecuali bertujuan agar manusia saling mengenal (li ta’arafuu). Dalam pada itu manusia akan merasakan kebesaran Allah melalui ciptaanNya. 

            Istilah ta’aruf secara sederhana didefenisikan sebagai aktifitas saling mengenal satu sama lain agar tercipta hubungan yang  harmonis antara kedua belah pihak. Penggunaan istilah ta’aruf pada dasarnya berlaku umum, baik perkenalan antara suku, budaya, bangsa termasuk antara laki-laki dan perempuan. Hal ini dibuktikan dengan penggunaan istilah Masa Ta’aruf pada sekolah-sekolah tertentu khususnya pondok pesantren sebagai ganti dari istilah Masa Orientasi Siswa (MOS) yang merupakan kegiatan saling mengenal antara santriwan/santriwati baru dengan lingkungan barunya yaitu sekolah barunya itu sendiri. Namun, istilah ini kemudian lebih cenderung digunakan dalam pengertian upaya saling mengenal antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang diniatkan akan berlanjut pada tingkat hubungan yang lebih serius yaitu pernikahan. Ta’aruf dalam pengertian tersebut adalah untuk menuju ke jenjang pernikahan. Sehingga, tidak layak disebut ta’aruf jika dari awal niatnya bukan untuk bermuara pada pernikahan. Sebagaimana kebanyakan remaja pada saat ini yang membuat hubungan hanya sekedar ikut-ikutan ataupun gengsi dengan sebayanya yang pada akhirnya membuatnya tidak lebih dari ilustrasi bus dan  halte yang selalu bergantian seiring berjalannya waktu.    

            Hemat penulis, istilah ta’aruf sesungguhnya merupakan istilah lain dari istilah Pacaran Islami. Perubahann ini disebabkan Karena istilah pacaran yang cenderung berkonotasi negative sehingga tidak wajar disandingkan dengan istilah Islami maka digunakanlah istilah ta’aruf ini. Padahal, perubahan ini sesungguhnya tidak diperlukan ketika terlebih dahulu dipahami makna dari kata pacaran itu sendiri. Menurut kamus Besar bahasa Indonesia, kata pacar diartikan sebagai ‘teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan batin berdasarkan cinta kasih, biasanya untuk menjadi tunangan atau kekasih. Pacaran adalah bercintaan atau berkasih-kasihan. Kalau demikian halnya, pacaran sesungguhnya hanya diartikan sebagai sikap batin, yang kemudian disalah-artikan oleh kebannyak oranag termsuk remaja. Karena hubungan yang dinamai pacaran ini kemudian disusul dengan tingkah laku berdua-duaan, saling memegang, dan tingkah laku lainnya yang tidak tidak dibolehkan agama. maka ternodailah istilah pacaran ini yang pada awalnya hanya merupakan sikap batin. Dan  tingkah laku inilah yang justru mendominasinya

               Sehingga, istilah ta’aruf sesungguhnya hanya istilah lain pacaran yang seakan-akan ingin memberi kesan Islami pada sebuah hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Padahal, tidak ada jaminan bahwa pelaku ta’aruf tidak melakukan tingkah laku yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Jangan sampai, orang-orang yang katanya ta’arufan justru melakukan pelanggaran nilai-nilai Islam lebih dari orang yang ber’pacaran’.

            Kesimpulannya adalah apapun istilahnya baik itu ta’aruf, pacaran Islami, pacaran (tanpa embel-embel Islami) ataupun tanpa istilah tertentu haruslah hubungan yang dilandaskan pada niat tulus kedua belah pihak (laki-laki & perempuan) untuk mencari pasangan hidup yang kemudian bersama-sama membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, rahmah, dan amanah untuk menjalankan sunnah RasulNya. Jika berangkat dari niat tulus seperti demikian itu (bukan niat atas dasar nafsu ataupun egoisme darah muda belaka) maka agaknya dapat dipastikan bahwa dalam hubungannya itu tidak akan didapatkan tingkah-laku yang melanggar nilai-nilai budaya apalagi nilai-nilai suci Islam. 

Wallahu A’lam


Bolehkah Mempelajari Kitab Agama Lain ?


Ulama-ulama fikih banyak yang melarang umat Islam untuk membaca dan mempelajari Taurat dan Injil sebelum benar-benar mengerti al-Qur’an, seperti dapat kita baca pada pendapat ulama-ulama mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali. Larangan itu sangat bisa dimengerti dan cukup kuat, karena bersumber dari hadis Nabi saw.

Dulu, ketika Rasulullah saw. melihat ada lembaran Taurat (kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Musa as., yakni kitab suci agama Yahudi) di tangan Umar bin Khaththab ra., beliau marah dan berkata, “Apakah engkau dalam keraguan, wahai Umar?” Dalam riwayat lain Rasulullah saw berkata kepada Umar ra., “Seandainya Nabi Musa berada di tengah-tengah kalian, dan kalian mengikutinya dan meninggalkanku, kalian pasti akan sesat.”

Rasulullah saw. menegur Umar bin Khaththab ra. yang seolah-olah bersikap ragu terhadap al-Qur’an sehingga masih merasa perlu membaca Taurat. Kemarahan beliau kepada Umar ra. dapat kita pahami bahwa kalau sudah menyatakan diri percaya kepada Rasulullah sebagai utusan Allah yang membawa ajaran al-Qur’an yang benar-benar datang dari Allah, kita harus bersikap total. Jangan setengah-setengah. Apalagi di dalam hadis lain beliau mengungkapkan, “Seandainya Musa dibangkitkan kembali, tidak ada pilihan lain baginya kecuali mengikuti ajaranku.”

Tetapi, larangan membaca Taurat dan Injil itu oleh banyak ulama dipahami bukan sebagai suatu keharaman, melainkan kemakruhan. Artinya, kita dilarang membacanya kalau tidak ada tujuan atau maslahat yang lebih besar. Kalau ada maslahat yang lebih besar, tentu saja boleh. Dalam sebuah hadis yang bersumber dari Ibnu Umar ra. tentang kasus dua orang beragama Yahudi yang berzina disebutkan bahwa ketika orang-orang Yahudi membawa kedua pelaku zina itu kepada Rasulullah saw., beliau bertanya, “Apa yang kamu ketahui mengenai hukum rajam di dalam Taurat?” Mereka menjawab, “Menghukum malu (mempermalukan) mereka dan mereka dicambuk.” Abdullah bin Salam berkata, “Kalian bohong! Di dalam Taurat ada ketentuan mengenai rajam.” Mereka lalu mengambil Taurat dan membukanya. Salah seorang dari mereka meletakkan tangannya persis di atas ayat yang berbicara tentang rajam, lalu membaca ayat sebelumnya dan ayat sesudahnya. Abdullah bin Salam lalu berkata, “Angkat tanganmu.” Orang itu pun mengangkat tangannya, lalu terlihatlah bahwa pada bagian yang tertutup tangan tadi terdapat ayat tentang rajam. Dalam riwayat itu Rasulullah saw. menyaksikan dan membenarkan apa yang dilakukan oleh Abdullah bin Salam, yakni membaca Taurat untuk mematahkan argumen orang Yahudi.

Pada masa kontemporer ini, Syaikh Ahmad Ath-Thayyeb, pemimpin tertinggi Al-Azhar di Mesir, beberapa kali mengutip Taurat dan Injil ketika berhadapan dengan pengikut kedua kitab itu. Ketika menanggapi tuduhan sarjana Barat bahwa agama Islam tersebar melalui pedang, melalui senjata, melalui kekerasan dan perang, ulama Al-Azhar itu mengungkapkan bahwa di dalam Kitab Yoshua (Perjanjian Lama), kata “pedang” –yang merupakan simbol keberanian, alat senjata ketika itu, dan simbol peperangan– disebut sebanyak tiga belas kali, semantara di dalam al-Qur’an, yang dituduh mengajarkan kekerasan, sama sekali tidak terdapat kata “pedang” satu kali pun. Pertanyaannya: kitab suci siapa sebenarnya yang mengajarkan kekerasan? Apakah al-Qur’an yang tidak memuat satu kali pun kata “pedang”, atau Perjanjian Lama yang memuat tiga belas kali kata itu?

Hal yang sama juga dilakukan oleh Syaikh Ath-Thayyeb dengan Perjanjian Baru. Sarjana-sarjana Barat-Kristen yang sering menuduh Islam mengajarkan kekerasan, dipersilakan untuk membaca Injil Matius 10: 34 yang –menurut mereka– merupakan ungkapan Nabi Isa as.: “Jangan kamu menyangka bahwa aku datang untuk membawa damai di muka bumi. Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang.” Ini membuktikan –jika benar itu adalah ungkapan Nabi Isa as.– bahwa justru Perjanjian Baru-lah yang dapat dikatakan mendorong umatnya melakukan kekerasan. Kalau ungkapan itu bukan kata-kata Nabi Isa as. sebagai nabi pembawa damai, itu membuktikan bahwa di dalam Injil telah terjadi perubahan dan campur tangan manusia.

Nah, untuk maksud mematahkan argumen Ahli Kitab (wa jâdilhum billatî hiya ahsan/ dan debatlah mereka dengan cara yang lebih baik), tentu saja apa yang dilakukan oleh Syaikh Al-Azhar itu boleh dan bahkan sangat baik. Tetapi tentu saja bukan orang awam yang belum mengerti banyak tentang al-Qur’an yang boleh melakukan pembacaan terhadap Injil dan Taurat, melainkan kaum cendekiawan dan ulama yang pemahamannya terhadap al-Qur’an sudah cukup mendalam.

Perlu kiranya kita catat bahwa ketidakbolehan membaca kita suci samawi sebelum al-Qur’an itu tidak berarti bahwa Islam membenci kitab suci itu atau agama itu. Sama sekali tidak! Umat agama lain boleh saja tetap berada pada keyakinannya, dan urusannya kita serahkan kepada Allah: Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku (QS al-Kâfirûn [106]: 6).
Wallahu a’lam.
 
[M. Arifin Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur'an

 Source : alifmagz.com

Bolehkah Menggabungkan Beberapa Pendapat Ulama dalam Satu Masalah ?



Dalam fikih, ini disebut talfîq, yaitu mengambil atau mengikuti suatu hukum dengan mengambilnya dari berbagai mazhab, atau beribadah dengan mengikuti salah satu pendapat menyangkut satu persoalan dari satu mazhab yang ada dan mengikuti mazhab lainnya dalam persoalan lain. Hukum melakukan talfîq diperselisihkan oleh ulama. Meski demikian, secara umum ulama-ulama mengatakan bahwa siapa pun yang menyatakan mengikuti satu mazhab tertentu, pada hakikatnya pernyataannya itu bersifat tidak mengikat. Sebab, memang, tidak ada yang wajib diikuti kecuali Allah dan Rasul-Nya.

Meski begitu, beberapa bentuk talfîq tidak dibenarkan, yaitu apabila seseorang mengambil pendapat dua imam mazhab atau lebih dalam satu amalan tertentu, yang dalam pengamalannya tidak diakui oleh semua ulama mazhab tersebut. Misalnya, seseorang menikah dengan mengambil pendapat mazhab Abû Hanîfah yang tidak menuntut adanya wali, sekaligus mengambil pendapat Syâfi‘î yang membenarkan perkawinan tanpa mahar (bila disetujui oleh calon istri), sekaligus juga mengambil pendapat Mâlik yang tidak mensyaratkan saksi. Itu artinya, perkawinan tersebut berlansung tanpa wali (Hanafi), tanpa mahar (Syafi’i), dan tanpa saksi (Malik). Perkawinan semacam ini tidak dibenarkan oleh ketiga imam mazhab tersebut sehingga talfîq semacam ini tidak dibenarkan.

Talfîq seharusnya tidak didasari oleh niat buruk (menggampangkan persoalan, mencari keuntungan pribadi, mau enaknya saja tanpa memperhatikan dalil, dan sebagainya).

Lebih jauh, Anda dapat membaca buku Fatwa-fatwa Kontemporer oleh Yusuf Qaradhawi, M Quraish Shihab Menjawab 1.001 Soal Keagamaan yang Patut Anda Ketahui, dan lain-lain.
Wallahu a’lam.

[Muhammad Arifin, MA-Dewan Pakar Pusat Studi Al-Qur'an]

Source : alifmagz.com

Thursday, April 24, 2014

Jika Rasul Selamat dari Godaan Setan,Mengapa Beliau Selalu Meminta Perlindungan Allah?



Rasul saw. sebagai manusia, tentu saja dapat marah jika kejahilan orang-orang musyrik telah mencapai puncaknya. Apalagi setan yang merupakan musuh abadi manusia, selalu enggan melihat siapa pun berbudi pekerti luhur. Karena itu Nabi saw. dan umatnya diingatkan dengan menggunakan redaksi yang mengandung penekanan-penekanan bahwa : Dan jika engkau benar-benar dibisikan, yakni dirayu dengan halus dan ditipu oleh setan dengan satu bisikan untuk meninggalkan apa yang dianjurkan kepadamu, misalnya mendorong secara halus untuk marah, maka mohonkanlah perlindungan kepada Allah.
 
Dengan demikian, Allah akan mengusir bisikan dan godaan itu serta melindungimu karena sesungguhnya Dia Maha Mendengar termasuk mendengar permohonanmu lagi Maha Mengetahui apa yang engkau dambakan dan apa yang direncanakan oleh setan.

Bahwa jin beliau memang masuk Islam, tetapi masih ada setan-setan lain yang berusaha mengganggu. Dalam sebuah hadits, Rasul saw. menyampaikan kepada para sahabat beliau bahwa:”Semalam tiba-tiba muncul dihadapanku jin ‘Ifrit untuk membatalkan sholatku. Maka Allah menganugerahkan aku kemampuan menangkapnya dan aku bermaksud mengikatnya pada salah satu tiang masjid hingga kalian semua di pagi hari dapat melihatnya. Tetapi aku mengingat ucapan (permohonan) saudaraku (Nabi) Sulaiman: “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang jua pun sesudahku” (QS. Shad[38]:35). Berkata perawi hadits ini : “Maka Nabi saw. mengusir (tidak mengikatnya) dalam keadaan hina terkutuk.” Ini menunjukan bahwa setan berupaya mengganggu beliau.

Ayat ini dan semacamnya, hemat kami menunjukan bahwa setan selalu berupaya menggoda dan mencari peluang dari semua manusia, siapa tahu ia tergelincir sehingga dapat mengurangi keberhasilan manusia termasuk para nabi. Keterpeliharaan para nabi dari melakukan pelanggaran terhadap Allah, tidak mengurungkan niat setan untuk merayu dan menggodanya, walaupun selalu gagal,karena pertahanan mereka sangat ampuh.

[M. Quraish Shihab - Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur’an]

Source : alifmagz.com

Thursday, April 17, 2014

Berdakwah dengan Bijaksana


Persoalan besar umat dewasa ini, saya kira, adalah persoalan persaudaraan dan persatuan. Oleh karena itu, apa pun yang dapat mencederai persaudaraan dan persatuan umat harus dihindari dan dilawan. Langkah-langkah untuk menjunjung tinggi dan mempertahankan persatuan, harus lebih diutamakan. Itu artinya, perbedaan-perbedaan kecil yang bukan prinsip yang terjadi di tengah-tengah umat tidak harus menyedot perhatian kita terlalu besar sehingga berakibat melemahkan persatuan itu sendiri.

Nah, di sini seorang da’i memang dituntut untuk benar-benar bisa bersikap arif dan bijak dalam melihat apakah suatu perbedaan yang terjadi di masyarakat adalah perbedaan prinsip (ushûl) atau bukan (furû‘). Selama bukan pokok, dan selama ada landasan hukumnya di dalam al-Qur’an dan Sunnah –walaupun bersifat umum, walaupun tidak secara langsung– perbedaan itu harus dapat ditoleransi. Jika itu yang ditempuh, maka akan lahir sikap toleran, baik pada diri sang da’i maupun pada umat.

Jika masyarakat telah mendapat pengajaran dari ustadnya bahwa peringatan maulid itu tidak ada dasar praktiknya pada zaman Rasul saw., misalnya, silakan saja mereka berpendapat seperti itu, asal tidak menyalahkan pihak lain yang melakukan peringatan maulid karena menilai ada dasarnya. Sebab, kalau kita lihat lebih dalam lagi, kedua-duanya memiliki motivasi yang sama: kecintaan kepada Rasulullah saw. Yang melarang peringatan maulid didorong oleh kecintaan kepada Rasul SAW, karena cinta lalu ingin “memurnikan” agama dari hal-hal yang tidak dicontohkan oleh Rasul SAW; sementara yang membolehkan peringatan maulid pun didorong oleh rasa cinta kepada Rasul SAW, karena cinta mereka lalu memuliakan dan mengagungkan beliau dengan cara peringatan maulid. Jadi kedua-duanya sama saja, mengapa harus diperuncing?

Selain itu, seroang da’i juga perlu mengetahui isu-isu apa saja yang sering diangkat oleh orang-orang yang sering disebut sebagai kelompok mutasyaddidûn itu. Setidaknya ada tujuh belas persoalan yang sering menjadi poros diskursus mereka, yaitu:

1)      Penyifatan Allah berada di tempat.
2)      Merendahkan kelompok Asy’ari.
3)      Menolak ikut dan aklid kepada mazhab.
4)      Mengeluarkan fatwa tanpa didukung kemampuan dan aturan.
5)      Memperluas konsep bid’ah, sehingga membid’ahkan sebagian besar kaum Muslimin.
6)      Mengharamkan tawassul kepada Nabi SAW dan menganggapnya sebagai syirik.
7)      Mengharamkan shalat di masjid-masjid yang ada kuburannya dan secara tegas mewajibkan untuk merobohkan masjid-masjid semacam itu.
8)      Menganggap berharap berkah (tabarruk) dari peninggalan-peninggalan Nabi SAW sebagai syirik.
9)      Mengharamkan peringatan maulid Nabi SAW dan menganggapnya sebagai bid’ah yang sesat.
10)  Mengharamkan bepergian untuk mengunjungi kuburan Nabi SAW, nabi-nabi lain, dan orang-orang saleh.
11)  Menuduh orang yang menguatkan perkataannya dengan ungkapan ‘demi Nabi’ telah melakukan syirik kecil.
12)  Menetapkan bahwa kedua orangtua Nabi SAW masuk neraka pada hari Kiamat kelak.
13)  Mengingkari pengetahuan orang mati terhadap orang yang menziarahinya.
14)  Menganggap salah memperbanyak zikir dan wirid.
15)  Menggunakan tasbih adalah bid’ah menurut kebanyakan mereka.
16)  Berpegang pada hal-hal lahir dan beribadah dengan pakaian.
17)  Beraksi sebelum berilmu dan mencampuradukkan antara tablig dan ilmu.

Isu-isu di atas secara sangat baik telah dibahas oleh Syaikh Ali Jum’ah, mantan Mufti Mesir dan guru besar Universitas Al-Azhar, dalam bukunya yang berjudul Al-Mutasyaddidûn: Manhajuhum wa Munâqasyat Ahamm Qadhâyâhum. Buku itu telah tersedia dalam edisi Bahasa Indonesia dengan judul Bukan Bid‘ah: Menimbang Jalan Pikiran Orang-orang yang Bersikap Keras dalam Beragama, yang diterbitkan atas kerja sama antara Ikatan Alumni Al-Azhar Internasional (IAAI) Cabang Indonesia, Pusat Studi al-Qur’an (PSQ), dan Lentera Hati. Saya kira buku itu cukup baik untuk dibaca oleh seorang da’i agar bisa bersikap lebih bijak dalam menyikapi perbedaan, terutama terkait dengan kelompok yang dinilai keras dan kaku.

Sebelum saya akhiri, saya ingin mengingatkan kita apa yang pernah diungkapkan oleh sahabat Ali bin Abi Thalib RA: An-nâsu a‘dâ’u mâ jahilû, yaitu bahwa orang cenderung memusuhi sesuatu karena ketidaktahuannya. Antarsesama umat sering saling menyalahkan karena ketidaktahuan. Dari situ, musuh bersama kita sebenarnya adalah kebodohan.
Demikian, wallahu a’lam.

[M. Arifin - Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur’an]

Source : alifmagz.com

Mengapa Rasulullah Menikahi Aisyah yang Masih di bawah Umur?



Bagi kita, umat Islam, beragama bukan semata-mata untuk mencari kepuasan. Beragama adalah berserah diri, sesuai makna asal kata “islam” itu sendiri. Selain itu, “agama” dalam bahasa Arab disebut dîn (دِين), seakar dengan kata dain (دَيْن) yang salah satu artinya adalah ‘utang’ atau ‘pembalasan’. Karena Allah sudah memberikan teramat banyak karunia kepada kita sehingga kita tidak mungkin membayar pemberian-pemberian (‘utang’) itu dengan apa pun, maka sebagai bentuk pembayarannya kita serahkan diri kita sepenuhnya kepada Dia. Itulah antara lain makna beragama.
 
Kalau kita tidak bisa mengerti mengapa dalam ibadah haji ada ritual mengelilingi Kakbah sebanyak tujuh kali, misalnya, itu tidak menjadi alasan untuk tidak melaksanakan haji. Kalau kita tidak mengerti mengapa laki-laki boleh beristri empat sedangkan perempuan tidak boleh bersuami kecuali satu, itu tidak menjadi alasan kita untuk tidak taat kepada agama. Kalau kita tidak bisa memahami bagaimana mungkin Nabi saw. bisa bolak-balik ke sidratul muntaha di langit ketujuh kemudian kembali lagi ke bumi dalam waktu hanya beberapa saat pada suatu malam, itu tidak menjadi alasan untuk tidak percaya pada peristiwa Isra’ Mikraj.

Mengenai pertanyaan yang dilontarkan oleh sebagian orang non-Muslim tentang pernikahan Nabi Muhammad saw. dengan Aisyah ra. yang dianggap masih di bawah umur, itu pun termasuk persoalan yang terkadang sulit kita pahami. Tetapi, yang cukup mengherankan, pertanyaan serupa tidak pernah terdengar dari musuh-musuh Nabi saw. pada masa beliau masih hidup. Ini artinya apa? Artinya, pernikahan Nabi saw. dengan Aisyah ra. itu bukan suatu persoalan pada masa itu! Kritik orang terhadap pernikahan Nabi saw. dengan Aisyah ra. yang dinilai masih di bawah umur, itu pada umumnya karena orang-orang itu menggunakan standar zaman sekarang untuk menilai sesuatu yang terjadi 14 abad yang lalu.

M. Quraish Shihab dalam bukunya Membaca Sirah Nabi saw. dalam Sorotan al-Qur’an dan Hadits-hadits Shahih (Cet. I, Juni 2011), mengemukakan “keheranan”-nya terkait kritik orang-orang terhadap pernikahan Nabi saw. dengan Aisyah ra. Katanya, “Ada kritik yang ditujukan kepada Nabi saw. oleh sementara orang yang hidup ratusan tahun setelah pernikahan tersebut, namun tidak terdengar kritik apa pun, apalagi cemoohan, dari mereka yang semasa dengan Nabi saw. walau dari lawan-lawan beliau yang selalu berusaha mendiskreditkan beliau.” (hlm 530). Lebih lanjut, Quraish mengatakan, “Ini karena pada masa lampau, sebelum dan pada masa Rasul, bahkan beberapa generasi sesudahnya, menikahi perempuan yang seusia dengan anak kandung merupakan sesuatu yang lumrah dalam masyarakat umat manusia. Terbaca dalam uraian yang lalu tentang perkawinan ayah Nabi, Abdullah, bagaimana ayahnya, yakni Abdu Muththalib, menikahi juga perempuan yang sebaya dengan istri anaknya, yakni Halah, anak paman Aminah.” (hlm 530).

Di halaman yang sama buku itu, Prof. Quraish Shihab juga memaparkan fakta sejarah bahwa Umar bin Khaththab ra. menawarkan anaknya yang muda belia, Hafshah, yang sebaya dengan Aisyah, untuk dinikahi Utsman ra. Juga Umar bin al-Khaththab menikahi putri Ali bin Abi Thalib yang dapat dinilai sebagai semacam pernikahan antara “kakek dengan cucu”. Demikian juga halnya pernikahan Zaid ibn Haritsah, bekas anak angkat Rasul saw., dengan Ummu Aiman yang mengasuh Nabi sewaktu kecil. Ini serupa juga dengan pernikahan “nenek” dengan cucunya. Demikian kurang lebih uraian Quraish Shihab.

Jadi, dapat kita katakan bahwa pernikahan seorang lelaki tua dengan perempuan yang relatif masih sangat muda adalah hal yang biasa pada masyarakat masa itu. Bukan sesuatu yang aneh, apalagi aib. Dan itu bukan hanya terjadi pada masyarakat Arab, tetapi juga pada masyarakat lain.

Raja Hendri Kelima, leluhur Ratu Elizabeth, Ratu Inggris, sekitar 500 tahun yang lalu menikah dengan enam orang gadis yang muda-muda. Bahkan hingga beberapa tahun yang lalu di Spanyol dan Portugis, juga di beberapa pegunungan di Amerika Serikat, perkawinan dengan gadis-gadis muda masih berlaku. Sastrawan dan filosof Mesir kontemporer, Anis Manshur (lahir Agustus 1924), dalam bukunya Min Awwal Nazhrah, mengutip uraian Nena Beton dalam bukunya yang menguraikan “Cinta dan Orang-orang Spanyol”, bahwa telah menjadi kebiasaan pada abad ke-12 dan ke-13 bahwa masyarakat mengawinkan anak-anak lelaki mereka pada usia sangat muda. Ini disebabkan karena para tuan tanah merampas anak-anak kecil dan mempekerjakan mereka tanpa imbalan. Demikian Anis Mansur yang dikutip oleh Quraish Shihab.

Agaknya, seperti disimpulkan oleh Quraish Shihab dari uraian di atas, kebiasaan masyarakat Arab masa lalu itu untuk mengawinkan putri-putri mereka yang masih kecil disebabkan karena khawatir anak perempuannya terlantar atau diperkosa akibat perang antar-suku. Dengan mengawinkan mereka sejak kecil, maka akan bertambah perlindungan atas mereka dari suami dan suku suaminya.

Di sisi lain, perempuan yang tinggal di daerah tropis sering kali lebih cepat dewasa dibandingkan dengan mereka yang bermukim di daerah-daerah dingin. Tidak jarang dalam usia delapan tahun gadis-gadis di sana telah mengalami menstruasi. Dalam kasus Aisyah, “kesiapannya untuk dinikahi” ini dapat dibuktikan dengan telah dilamarnya ia –sebelum dilamar Nabi saw.– oleh Jubair bin Muth’im bin ‘Adi. Tetapi proses pernikahan mereka tertunda-tunda karena kedua orangtua Jubair khawatir jangan sampai anaknya memeluk agama Islam. Karena berlarutnya penangguhan itu, maka Abu Bakar ra., ayah kandung Aisyah ra., secara baik-baik mendatangi keluarga Jubair, lalu mereka sepakat membatalkan lamaran tersebut.

Itulah standar nilai yang berlaku pada masa itu. Kita tentu tidak ingin dinilai oleh generasi masa lalu dengan standar nilai yang mereka anut. Oleh karenanya, kita pun semestinya tidak menilai mereka yang hidup pada masa lalu itu dengan standar nilai yang kita anut.

Kesimpulan ini juga menggiring kita untuk tidak menjadikan semua pengalaman Nabi saw., dalam bidang non-ibadah murni (bukan ibadah mahdhah), sebagai sesuatu yang baik untuk diteladani. Bukan saja karena beliau adalah nabi yang memiliki hak dan kewajiban yang berbeda dengan kita, tetapi juga karena adanya perkembangan masyarakat yang menjadikan masa kita tidak sepenuhnya sama dengan masa Nabi saw. Ada nilai-nilai yang bergeser.

Secara sedikit “vulgar” dapat kita katakan bahwa menikahi anak perempuan usia 9 tahun pada masa kita sekarang bukanlah suatu sikap meneladani Rasul saw. walaupun beliau menikahi Aisyah ra. ketika ia berusia 9 tahun.
Demikian, wallahu a’lam.

[M. Arifin-Dewan Pakar Pusat Studi Al-Qur'an]

Source : alifmagz.com