Kisah tentang dibedahnya dada Nabi Muhammad
Saw amat populer di kalangan umat Islam. Sayang, kesahihan
sumber-sumbernya diperselisihkan dan perincian kandungannya berbeda
pula. ‘Abdullâh putra Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnad –sebagaimana
dikutip oleh Ibnu Katsîr– meriwayatkan bahwa sahabat, Nabi Ubay bin
Ka‘ab, menuturkan bahwa Abû Hurairah pernah bertanya, “Wahai Rasulullah,
apakah hal pertama yang engkau alami menyangkut kenabian?” Rasulullah
Saw menjawab, “Aku berada di padang pasir dan umurku ketika itu sepuluh tahun dan beberapa bulan. Tiba-tiba aku mendengar suara di atas kepalaku, [dan kulihat] ada seseorang berkata kepada seorang lainnya, ‘Apakah dia?’ Keduanya
orang itu lalu menghadap kepadaku dengan wajah yang belum pernah
kulihat sebelumnya, dengan keharuman yang belum pernah kudapatkan dari
satu makhluk pun sebelumnya, dan dengan pakaian yang belum pernah
kulihat dipakai seseorang sebelumnya. Mereka berdua menghampiriku hingga
memegang bahuku, tetapi aku tidak merasa dipegang. Lalu, salah seorang
berkata kepada temannya, ‘Baringkanlah!’ Mereka berdua membaringkanku tanpa menarik [dengan keras] dan tidak juga mematahkan. Salah seorang berkata kepada temannya, ‘Belahlah dadanya!’ Ia memegang dan membelah dadaku. Temannya berkata, ‘Keluarkanlah kedengkian dan iri hati!’ Ia mengeluarkan sesuatu seperti segumpal darah dan membuangnya. Kemudian temannya berkata, ‘Masukkanlah kasih sayang dan rahmat!’ Maka, kulihat serupa apa yang dikeluarkannya bagaikan perak, ….’” Tidak sedikit ulama yang menilai hadits ini sebagai lemah [dha‘îf].
Di sisi lain ada sebagian ulama yang memahami ayat 1 dalam surah
asy-Syarh sebagai berbicara tentang pembelahan dada Nabi Saw Bagi
mereka, terjemahan ayat itu –alam nasyrah laka shadrak– adalah: “Bukankah Kami telah membelah dadamu?” Pendapat ini didasarkan pada pemahaman kata “nasyrah”. Memang, akar kata itu [asy-syarh], menurut kamus-kamus bahasa, bermakna –antara
lain– memperluas dan melapangkan. Kalau kata itu dikaitkan dengan
sesuatu yang bersifat material, maka ia juga berarti memotong atau
membedah. Sementara itu, bila dikaitkan dengan sesuatu yang bersifat
nonmateri, maka kata itu berarti memberi pemahaman, menganugerahkan
ketenangan, dan yang semaknanya. Seorang ulama tafsir, an-Naysâbûrî,
memahami kata itu dalam arti “pembedahan” yang –menurutnya– pernah
dilakukan oleh para malaikat pada diri Nabi Muhammad Saw, baik ketika
beliau remaja, maupun beberapa saat sebelum beliau melakukan perjalanan
Isrâ’ dan Mi‘râj.
Saya tidak cenderung memahaminya demikian, terlepas dari penilaian
sahih-tidaknya riwayat-riwayat tentang pembedahan dada Rasulullah Saw.
Pengamatan atas penggunaan kata syaraha oleh alQur’an, yang terulang
sebanyak lima kali, tidak mendukung penafsiran demikian. Sebab, tidak
ada satu pun dari kelima penggunaannya bersifat material, apalagi
pembedahan.
Karena tidak ada ayat al-Qur’an yang mengandung penafsiran pasti
ihwal pembedahan ini dan juga hadits Nabi yang hanya bersifat informasi
perorangan.
[M. Quraish Shihab, Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur'an]
Source : alifmagz.com
0 Comment:
Post a Comment