Thursday, May 8, 2014

Ihwal Pembelahan Dada Nabi Muhammad Saw



Kisah tentang dibedahnya dada Nabi Muhammad Saw amat populer di kalangan umat Islam. Sayang, kesahihan sumber-sumbernya diperselisihkan dan perincian kandungannya berbeda pula. ‘Abdullâh putra Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnad –sebagaimana dikutip oleh Ibnu Katsîr– meriwayatkan bahwa sahabat, Nabi Ubay bin Ka‘ab, menuturkan bahwa Abû Hurairah pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah hal pertama yang engkau alami menyangkut kenabian?” Rasulullah Saw menjawab, “Aku berada di padang pasir dan umurku ketika itu sepuluh tahun dan beberapa bulan. Tiba-tiba aku mendengar suara di atas kepalaku, [dan kulihat] ada seseorang berkata kepada seorang lainnya, ‘Apakah dia?’ Keduanya orang itu lalu menghadap kepadaku dengan wajah yang belum pernah kulihat sebelumnya, dengan keharuman yang belum pernah kudapatkan dari satu makhluk pun sebelumnya, dan dengan pakaian yang belum pernah kulihat dipakai seseorang sebelumnya. Mereka berdua menghampiriku hingga memegang bahuku, tetapi aku tidak merasa dipegang. Lalu, salah seorang berkata kepada temannya, Baringkanlah!’ Mereka berdua membaringkanku tanpa menarik [dengan keras] dan tidak juga mematahkan. Salah seorang berkata kepada temannya, ‘Belahlah dadanya!’ Ia memegang dan membelah dadaku. Temannya berkata, Keluarkanlah kedengkian dan iri hati!’ Ia mengeluarkan sesuatu seperti segumpal darah dan membuangnya. Kemudian temannya berkata, ‘Masukkanlah kasih sayang dan rahmat!’ Maka, kulihat serupa apa yang dikeluarkannya bagaikan perak, ….’” Tidak sedikit ulama yang menilai hadits ini sebagai lemah [dha‘îf].

Di sisi lain ada sebagian ulama yang memahami ayat 1 dalam surah asy-Syarh sebagai berbicara tentang pembelahan dada Nabi Saw Bagi mereka, terjemahan ayat itu –alam nasyrah laka shadrak– adalah: “Bukankah Kami telah membelah dadamu?” Pendapat ini didasarkan pada pemahaman kata “nasyrah”. Memang, akar kata itu [asy-syarh], menurut kamus-kamus bahasa, bermakna –antara lain– memperluas dan melapangkan. Kalau kata itu dikaitkan dengan sesuatu yang bersifat material, maka ia juga berarti memotong atau membedah. Sementara itu, bila dikaitkan dengan sesuatu yang bersifat nonmateri, maka kata itu berarti memberi pemahaman, menganugerahkan ketenangan, dan yang semaknanya. Seorang ulama tafsir, an-Naysâbûrî, memahami kata itu dalam arti “pembedahan” yang –menurutnya– pernah dilakukan oleh para malaikat pada diri Nabi Muhammad Saw, baik ketika beliau remaja, maupun beberapa saat sebelum beliau melakukan perjalanan Isrâ’ dan Mi‘râj.

Saya tidak cenderung memahaminya demikian, terlepas dari penilaian sahih-tidaknya riwayat-riwayat tentang pembedahan dada Rasulullah Saw. Pengamatan atas penggunaan kata syaraha oleh alQur’an, yang terulang sebanyak lima kali, tidak mendukung penafsiran demikian. Sebab, tidak ada satu pun dari kelima penggunaannya bersifat material, apalagi pembedahan.

Karena tidak ada ayat al-Qur’an yang mengandung penafsiran pasti ihwal pembedahan ini dan juga hadits Nabi yang hanya bersifat informasi perorangan.

[M. Quraish Shihab, Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur'an]

Source : alifmagz.com

0 Comment:

Post a Comment