Thursday, May 1, 2014

Bolehkah Mempelajari Kitab Agama Lain ?


Ulama-ulama fikih banyak yang melarang umat Islam untuk membaca dan mempelajari Taurat dan Injil sebelum benar-benar mengerti al-Qur’an, seperti dapat kita baca pada pendapat ulama-ulama mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali. Larangan itu sangat bisa dimengerti dan cukup kuat, karena bersumber dari hadis Nabi saw.

Dulu, ketika Rasulullah saw. melihat ada lembaran Taurat (kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Musa as., yakni kitab suci agama Yahudi) di tangan Umar bin Khaththab ra., beliau marah dan berkata, “Apakah engkau dalam keraguan, wahai Umar?” Dalam riwayat lain Rasulullah saw berkata kepada Umar ra., “Seandainya Nabi Musa berada di tengah-tengah kalian, dan kalian mengikutinya dan meninggalkanku, kalian pasti akan sesat.”

Rasulullah saw. menegur Umar bin Khaththab ra. yang seolah-olah bersikap ragu terhadap al-Qur’an sehingga masih merasa perlu membaca Taurat. Kemarahan beliau kepada Umar ra. dapat kita pahami bahwa kalau sudah menyatakan diri percaya kepada Rasulullah sebagai utusan Allah yang membawa ajaran al-Qur’an yang benar-benar datang dari Allah, kita harus bersikap total. Jangan setengah-setengah. Apalagi di dalam hadis lain beliau mengungkapkan, “Seandainya Musa dibangkitkan kembali, tidak ada pilihan lain baginya kecuali mengikuti ajaranku.”

Tetapi, larangan membaca Taurat dan Injil itu oleh banyak ulama dipahami bukan sebagai suatu keharaman, melainkan kemakruhan. Artinya, kita dilarang membacanya kalau tidak ada tujuan atau maslahat yang lebih besar. Kalau ada maslahat yang lebih besar, tentu saja boleh. Dalam sebuah hadis yang bersumber dari Ibnu Umar ra. tentang kasus dua orang beragama Yahudi yang berzina disebutkan bahwa ketika orang-orang Yahudi membawa kedua pelaku zina itu kepada Rasulullah saw., beliau bertanya, “Apa yang kamu ketahui mengenai hukum rajam di dalam Taurat?” Mereka menjawab, “Menghukum malu (mempermalukan) mereka dan mereka dicambuk.” Abdullah bin Salam berkata, “Kalian bohong! Di dalam Taurat ada ketentuan mengenai rajam.” Mereka lalu mengambil Taurat dan membukanya. Salah seorang dari mereka meletakkan tangannya persis di atas ayat yang berbicara tentang rajam, lalu membaca ayat sebelumnya dan ayat sesudahnya. Abdullah bin Salam lalu berkata, “Angkat tanganmu.” Orang itu pun mengangkat tangannya, lalu terlihatlah bahwa pada bagian yang tertutup tangan tadi terdapat ayat tentang rajam. Dalam riwayat itu Rasulullah saw. menyaksikan dan membenarkan apa yang dilakukan oleh Abdullah bin Salam, yakni membaca Taurat untuk mematahkan argumen orang Yahudi.

Pada masa kontemporer ini, Syaikh Ahmad Ath-Thayyeb, pemimpin tertinggi Al-Azhar di Mesir, beberapa kali mengutip Taurat dan Injil ketika berhadapan dengan pengikut kedua kitab itu. Ketika menanggapi tuduhan sarjana Barat bahwa agama Islam tersebar melalui pedang, melalui senjata, melalui kekerasan dan perang, ulama Al-Azhar itu mengungkapkan bahwa di dalam Kitab Yoshua (Perjanjian Lama), kata “pedang” –yang merupakan simbol keberanian, alat senjata ketika itu, dan simbol peperangan– disebut sebanyak tiga belas kali, semantara di dalam al-Qur’an, yang dituduh mengajarkan kekerasan, sama sekali tidak terdapat kata “pedang” satu kali pun. Pertanyaannya: kitab suci siapa sebenarnya yang mengajarkan kekerasan? Apakah al-Qur’an yang tidak memuat satu kali pun kata “pedang”, atau Perjanjian Lama yang memuat tiga belas kali kata itu?

Hal yang sama juga dilakukan oleh Syaikh Ath-Thayyeb dengan Perjanjian Baru. Sarjana-sarjana Barat-Kristen yang sering menuduh Islam mengajarkan kekerasan, dipersilakan untuk membaca Injil Matius 10: 34 yang –menurut mereka– merupakan ungkapan Nabi Isa as.: “Jangan kamu menyangka bahwa aku datang untuk membawa damai di muka bumi. Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang.” Ini membuktikan –jika benar itu adalah ungkapan Nabi Isa as.– bahwa justru Perjanjian Baru-lah yang dapat dikatakan mendorong umatnya melakukan kekerasan. Kalau ungkapan itu bukan kata-kata Nabi Isa as. sebagai nabi pembawa damai, itu membuktikan bahwa di dalam Injil telah terjadi perubahan dan campur tangan manusia.

Nah, untuk maksud mematahkan argumen Ahli Kitab (wa jâdilhum billatî hiya ahsan/ dan debatlah mereka dengan cara yang lebih baik), tentu saja apa yang dilakukan oleh Syaikh Al-Azhar itu boleh dan bahkan sangat baik. Tetapi tentu saja bukan orang awam yang belum mengerti banyak tentang al-Qur’an yang boleh melakukan pembacaan terhadap Injil dan Taurat, melainkan kaum cendekiawan dan ulama yang pemahamannya terhadap al-Qur’an sudah cukup mendalam.

Perlu kiranya kita catat bahwa ketidakbolehan membaca kita suci samawi sebelum al-Qur’an itu tidak berarti bahwa Islam membenci kitab suci itu atau agama itu. Sama sekali tidak! Umat agama lain boleh saja tetap berada pada keyakinannya, dan urusannya kita serahkan kepada Allah: Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku (QS al-Kâfirûn [106]: 6).
Wallahu a’lam.
 
[M. Arifin Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur'an

 Source : alifmagz.com

0 Comment:

Post a Comment