Persoalan besar umat dewasa ini,
saya kira, adalah persoalan persaudaraan dan persatuan. Oleh karena
itu, apa pun yang dapat mencederai persaudaraan dan persatuan umat harus
dihindari dan dilawan. Langkah-langkah untuk menjunjung tinggi dan
mempertahankan persatuan, harus lebih diutamakan. Itu artinya,
perbedaan-perbedaan kecil yang bukan prinsip yang terjadi di
tengah-tengah umat tidak harus menyedot perhatian kita terlalu besar
sehingga berakibat melemahkan persatuan itu sendiri.
Nah, di sini seorang da’i memang dituntut untuk benar-benar
bisa bersikap arif dan bijak dalam melihat apakah suatu perbedaan yang
terjadi di masyarakat adalah perbedaan prinsip (ushûl) atau bukan (furû‘).
Selama bukan pokok, dan selama ada landasan hukumnya di dalam al-Qur’an
dan Sunnah –walaupun bersifat umum, walaupun tidak secara langsung–
perbedaan itu harus dapat ditoleransi. Jika itu yang ditempuh, maka akan
lahir sikap toleran, baik pada diri sang da’i maupun pada umat.
Jika masyarakat telah mendapat pengajaran dari ustadnya bahwa
peringatan maulid itu tidak ada dasar praktiknya pada zaman Rasul saw.,
misalnya, silakan saja mereka berpendapat seperti itu, asal tidak
menyalahkan pihak lain yang melakukan peringatan maulid karena menilai
ada dasarnya. Sebab, kalau kita lihat lebih dalam lagi, kedua-duanya
memiliki motivasi yang sama: kecintaan kepada Rasulullah saw. Yang
melarang peringatan maulid didorong oleh kecintaan kepada Rasul SAW,
karena cinta lalu ingin “memurnikan” agama dari hal-hal yang tidak
dicontohkan oleh Rasul SAW; sementara yang membolehkan peringatan maulid
pun didorong oleh rasa cinta kepada Rasul SAW, karena cinta mereka lalu
memuliakan dan mengagungkan beliau dengan cara peringatan maulid. Jadi
kedua-duanya sama saja, mengapa harus diperuncing?
Selain itu, seroang da’i juga perlu mengetahui isu-isu apa saja yang
sering diangkat oleh orang-orang yang sering disebut sebagai kelompok mutasyaddidûn itu. Setidaknya ada tujuh belas persoalan yang sering menjadi poros diskursus mereka, yaitu:
1) Penyifatan Allah berada di tempat.
2) Merendahkan kelompok Asy’ari.
3) Menolak ikut dan aklid kepada mazhab.
4) Mengeluarkan fatwa tanpa didukung kemampuan dan aturan.
5) Memperluas konsep bid’ah, sehingga membid’ahkan sebagian besar kaum Muslimin.
6) Mengharamkan tawassul kepada Nabi SAW dan menganggapnya sebagai syirik.
7) Mengharamkan shalat di masjid-masjid yang ada kuburannya dan
secara tegas mewajibkan untuk merobohkan masjid-masjid semacam itu.
8) Menganggap berharap berkah (tabarruk) dari peninggalan-peninggalan Nabi SAW sebagai syirik.
9) Mengharamkan peringatan maulid Nabi SAW dan menganggapnya sebagai bid’ah yang sesat.
10) Mengharamkan bepergian untuk mengunjungi kuburan Nabi SAW, nabi-nabi lain, dan orang-orang saleh.
11) Menuduh orang yang menguatkan perkataannya dengan ungkapan ‘demi Nabi’ telah melakukan syirik kecil.
12) Menetapkan bahwa kedua orangtua Nabi SAW masuk neraka pada hari Kiamat kelak.
13) Mengingkari pengetahuan orang mati terhadap orang yang menziarahinya.
14) Menganggap salah memperbanyak zikir dan wirid.
15) Menggunakan tasbih adalah bid’ah menurut kebanyakan mereka.
16) Berpegang pada hal-hal lahir dan beribadah dengan pakaian.
17) Beraksi sebelum berilmu dan mencampuradukkan antara tablig dan ilmu.
Isu-isu di atas secara sangat baik telah dibahas oleh Syaikh Ali
Jum’ah, mantan Mufti Mesir dan guru besar Universitas Al-Azhar, dalam
bukunya yang berjudul Al-Mutasyaddidûn: Manhajuhum wa Munâqasyat Ahamm Qadhâyâhum. Buku itu telah tersedia dalam edisi Bahasa Indonesia dengan judul Bukan Bid‘ah: Menimbang Jalan Pikiran Orang-orang yang Bersikap Keras dalam Beragama,
yang diterbitkan atas kerja sama antara Ikatan Alumni Al-Azhar
Internasional (IAAI) Cabang Indonesia, Pusat Studi al-Qur’an (PSQ), dan
Lentera Hati. Saya kira buku itu cukup baik untuk dibaca oleh seorang
da’i agar bisa bersikap lebih bijak dalam menyikapi perbedaan, terutama
terkait dengan kelompok yang dinilai keras dan kaku.
Sebelum saya akhiri, saya ingin mengingatkan kita apa yang pernah diungkapkan oleh sahabat Ali bin Abi Thalib RA: An-nâsu a‘dâ’u mâ jahilû,
yaitu bahwa orang cenderung memusuhi sesuatu karena ketidaktahuannya.
Antarsesama umat sering saling menyalahkan karena ketidaktahuan. Dari
situ, musuh bersama kita sebenarnya adalah kebodohan.
Demikian, wallahu a’lam.
[M. Arifin - Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur’an]
Source : alifmagz.com
ada prnh sy bc, aturanyaa itu, kalau brkaitan dgn ibadah, smuanya tidak boleh dlkukn kcuali yg diconthkn nabi. kl brkaitan dgn muamalah, smuanya boleh kcuali yang dilarang nabi..
ReplyDeleteKalau ibadah dalam arti sempit
Deletesip
ReplyDelete