Thursday, April 17, 2014

Mengapa Rasulullah Menikahi Aisyah yang Masih di bawah Umur?



Bagi kita, umat Islam, beragama bukan semata-mata untuk mencari kepuasan. Beragama adalah berserah diri, sesuai makna asal kata “islam” itu sendiri. Selain itu, “agama” dalam bahasa Arab disebut dîn (دِين), seakar dengan kata dain (دَيْن) yang salah satu artinya adalah ‘utang’ atau ‘pembalasan’. Karena Allah sudah memberikan teramat banyak karunia kepada kita sehingga kita tidak mungkin membayar pemberian-pemberian (‘utang’) itu dengan apa pun, maka sebagai bentuk pembayarannya kita serahkan diri kita sepenuhnya kepada Dia. Itulah antara lain makna beragama.
 
Kalau kita tidak bisa mengerti mengapa dalam ibadah haji ada ritual mengelilingi Kakbah sebanyak tujuh kali, misalnya, itu tidak menjadi alasan untuk tidak melaksanakan haji. Kalau kita tidak mengerti mengapa laki-laki boleh beristri empat sedangkan perempuan tidak boleh bersuami kecuali satu, itu tidak menjadi alasan kita untuk tidak taat kepada agama. Kalau kita tidak bisa memahami bagaimana mungkin Nabi saw. bisa bolak-balik ke sidratul muntaha di langit ketujuh kemudian kembali lagi ke bumi dalam waktu hanya beberapa saat pada suatu malam, itu tidak menjadi alasan untuk tidak percaya pada peristiwa Isra’ Mikraj.

Mengenai pertanyaan yang dilontarkan oleh sebagian orang non-Muslim tentang pernikahan Nabi Muhammad saw. dengan Aisyah ra. yang dianggap masih di bawah umur, itu pun termasuk persoalan yang terkadang sulit kita pahami. Tetapi, yang cukup mengherankan, pertanyaan serupa tidak pernah terdengar dari musuh-musuh Nabi saw. pada masa beliau masih hidup. Ini artinya apa? Artinya, pernikahan Nabi saw. dengan Aisyah ra. itu bukan suatu persoalan pada masa itu! Kritik orang terhadap pernikahan Nabi saw. dengan Aisyah ra. yang dinilai masih di bawah umur, itu pada umumnya karena orang-orang itu menggunakan standar zaman sekarang untuk menilai sesuatu yang terjadi 14 abad yang lalu.

M. Quraish Shihab dalam bukunya Membaca Sirah Nabi saw. dalam Sorotan al-Qur’an dan Hadits-hadits Shahih (Cet. I, Juni 2011), mengemukakan “keheranan”-nya terkait kritik orang-orang terhadap pernikahan Nabi saw. dengan Aisyah ra. Katanya, “Ada kritik yang ditujukan kepada Nabi saw. oleh sementara orang yang hidup ratusan tahun setelah pernikahan tersebut, namun tidak terdengar kritik apa pun, apalagi cemoohan, dari mereka yang semasa dengan Nabi saw. walau dari lawan-lawan beliau yang selalu berusaha mendiskreditkan beliau.” (hlm 530). Lebih lanjut, Quraish mengatakan, “Ini karena pada masa lampau, sebelum dan pada masa Rasul, bahkan beberapa generasi sesudahnya, menikahi perempuan yang seusia dengan anak kandung merupakan sesuatu yang lumrah dalam masyarakat umat manusia. Terbaca dalam uraian yang lalu tentang perkawinan ayah Nabi, Abdullah, bagaimana ayahnya, yakni Abdu Muththalib, menikahi juga perempuan yang sebaya dengan istri anaknya, yakni Halah, anak paman Aminah.” (hlm 530).

Di halaman yang sama buku itu, Prof. Quraish Shihab juga memaparkan fakta sejarah bahwa Umar bin Khaththab ra. menawarkan anaknya yang muda belia, Hafshah, yang sebaya dengan Aisyah, untuk dinikahi Utsman ra. Juga Umar bin al-Khaththab menikahi putri Ali bin Abi Thalib yang dapat dinilai sebagai semacam pernikahan antara “kakek dengan cucu”. Demikian juga halnya pernikahan Zaid ibn Haritsah, bekas anak angkat Rasul saw., dengan Ummu Aiman yang mengasuh Nabi sewaktu kecil. Ini serupa juga dengan pernikahan “nenek” dengan cucunya. Demikian kurang lebih uraian Quraish Shihab.

Jadi, dapat kita katakan bahwa pernikahan seorang lelaki tua dengan perempuan yang relatif masih sangat muda adalah hal yang biasa pada masyarakat masa itu. Bukan sesuatu yang aneh, apalagi aib. Dan itu bukan hanya terjadi pada masyarakat Arab, tetapi juga pada masyarakat lain.

Raja Hendri Kelima, leluhur Ratu Elizabeth, Ratu Inggris, sekitar 500 tahun yang lalu menikah dengan enam orang gadis yang muda-muda. Bahkan hingga beberapa tahun yang lalu di Spanyol dan Portugis, juga di beberapa pegunungan di Amerika Serikat, perkawinan dengan gadis-gadis muda masih berlaku. Sastrawan dan filosof Mesir kontemporer, Anis Manshur (lahir Agustus 1924), dalam bukunya Min Awwal Nazhrah, mengutip uraian Nena Beton dalam bukunya yang menguraikan “Cinta dan Orang-orang Spanyol”, bahwa telah menjadi kebiasaan pada abad ke-12 dan ke-13 bahwa masyarakat mengawinkan anak-anak lelaki mereka pada usia sangat muda. Ini disebabkan karena para tuan tanah merampas anak-anak kecil dan mempekerjakan mereka tanpa imbalan. Demikian Anis Mansur yang dikutip oleh Quraish Shihab.

Agaknya, seperti disimpulkan oleh Quraish Shihab dari uraian di atas, kebiasaan masyarakat Arab masa lalu itu untuk mengawinkan putri-putri mereka yang masih kecil disebabkan karena khawatir anak perempuannya terlantar atau diperkosa akibat perang antar-suku. Dengan mengawinkan mereka sejak kecil, maka akan bertambah perlindungan atas mereka dari suami dan suku suaminya.

Di sisi lain, perempuan yang tinggal di daerah tropis sering kali lebih cepat dewasa dibandingkan dengan mereka yang bermukim di daerah-daerah dingin. Tidak jarang dalam usia delapan tahun gadis-gadis di sana telah mengalami menstruasi. Dalam kasus Aisyah, “kesiapannya untuk dinikahi” ini dapat dibuktikan dengan telah dilamarnya ia –sebelum dilamar Nabi saw.– oleh Jubair bin Muth’im bin ‘Adi. Tetapi proses pernikahan mereka tertunda-tunda karena kedua orangtua Jubair khawatir jangan sampai anaknya memeluk agama Islam. Karena berlarutnya penangguhan itu, maka Abu Bakar ra., ayah kandung Aisyah ra., secara baik-baik mendatangi keluarga Jubair, lalu mereka sepakat membatalkan lamaran tersebut.

Itulah standar nilai yang berlaku pada masa itu. Kita tentu tidak ingin dinilai oleh generasi masa lalu dengan standar nilai yang mereka anut. Oleh karenanya, kita pun semestinya tidak menilai mereka yang hidup pada masa lalu itu dengan standar nilai yang kita anut.

Kesimpulan ini juga menggiring kita untuk tidak menjadikan semua pengalaman Nabi saw., dalam bidang non-ibadah murni (bukan ibadah mahdhah), sebagai sesuatu yang baik untuk diteladani. Bukan saja karena beliau adalah nabi yang memiliki hak dan kewajiban yang berbeda dengan kita, tetapi juga karena adanya perkembangan masyarakat yang menjadikan masa kita tidak sepenuhnya sama dengan masa Nabi saw. Ada nilai-nilai yang bergeser.

Secara sedikit “vulgar” dapat kita katakan bahwa menikahi anak perempuan usia 9 tahun pada masa kita sekarang bukanlah suatu sikap meneladani Rasul saw. walaupun beliau menikahi Aisyah ra. ketika ia berusia 9 tahun.
Demikian, wallahu a’lam.

[M. Arifin-Dewan Pakar Pusat Studi Al-Qur'an]

Source : alifmagz.com

0 Comment:

Post a Comment