Bismillahirrahmanirrahim,
Berbeda-beda pendapat ulama tentang maksud firman Allah, Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan (QS Al-Waqi’ah [56]: 79). Hal tersebut disebabkan adanya berbagai kemungkinan arti bagi kosakata yang digunakan ayat itu.
Misalnya, kata yamassuhu, apakah dalam pengertian hakiki
atau majazi. Kalau hakiki maka ia berarti menyentuh atau memegang,
sedangkan kalau majazi, artinya, antara lain, memahami dengan baik maksudnya, atau memperoleh berkatnya, atau merasakan ke1ezatannya.
Selanjutnya, diperbincangkan pula objek yamassuhu, apakah Al-Quran, atau apa yang disebut sebe1um ayat ini, yaitu Al-Lauh Al-Mahfuzh dan atas dasar pandangan-pandangan ini, lahir lagi perbedaan pendapat tentang arti al-muthahharun (yang disucikan) yang garis besar pendapat tentangnya dapat dibagi dua, yakni manusia atau malaikat.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa objek yamassuhu adalah Al-Quran dan al-muthahharun adalah “manusia yang suci”. Kalau kata yamassuhu diartikan “memahami secara baik maksud Al-Quran”, maka al-muthahharun adalah Rasulullah Saw. dan manusia-manusia suci pilihan Allah. Sedangkan bila yamassuhu dipahami dalam arti “menyentuh/memegang”, maka al-muthahharun bisa berarti (1) yang suci dari syirik atau (2) yang suci dari hadas besar (seperti haid dan nifas), atau (3) yang suci dari hadas kecil (dalam keadaan berwudhu).
Pendapat pertama dianut oleh Dawud bin
‘Ali. Menurutnya, boleh memegang Mushaf Al- Quran, walaupun dalam
keadaan tidak berwudhu, atau sedang dalam keadaan haid dan nifas, baik
Muslim, Yahudi maupun Nasrani. Pendapat kedua-menurut satu
riwayat-dianut oleh Imam Abu Hanifah. Pendapat ini membolehkan seorang
Muslim yang tidak berwudhu untuk memegang Al-Quran. Pendapat ketiga
dianut oleh mayoritas ulama, antara lain Imam Malik dan Syafi’i. Alasan
mereka bukan hanya penafsiran ayat di atas, melainkan juga beberapa
hadis Nabi Saw.
Di antara ulama penganut pendapat ketiga ini, ada yang membolehkan
memegang Al-Quran tanpa berwudhu, selama tidak dipegang secara langsung,
misalnya dengan alas atau terbungkus. Mereka juga membenarkan wanita
yang sedang haid membaca wirid atau doa
yang berupa ayat-ayat Al-Quran. Oleh karena itu, ketika itu, ia dinilai
membaca doa atau wirid, bukan membaca Al-Quran. Atas dasar ini, pula
kita dapat berkata bahwa seseorang yang membaca Al-Quran atau menulis
ayat-ayat dalam rangka ujian juga dapat dibenarkan. Rasulullah Saw.
pernah menulis surat kepada Kaisar, yang berisi ayat-ayat Al-Quran.
Tentu surat tersebut dibaca atau dipegang oleh Kaisar atau
“sekretarisnya” yang bukan Muslim. Ini salah satu bukti bahwa dalam
hal¬hal tertentu, boleh saja membaca atau memegang Al-Quran, walaupun
tidak dalam keadaan suci atau bersuci. Memang semua pendapat yang
dikemukakan di atas tujuannya adalah memberi penghormatan terhadap kitab
suci Al-Quran, sehingga selama penghormatan telah terpenuhi, maka
syarat utama telah terpenuhi pula. Wallahu a’lam.
[M. Quraish Shihab - Dewan Pakar Pusat Studi Al-Qur'an]
Source : alifmagz.com
0 Comment:
Post a Comment