Ulama-ulama fikih banyak yang melarang umat Islam untuk membaca dan
mempelajari Taurat dan Injil sebelum benar-benar mengerti al-Qur’an,
seperti dapat kita baca pada pendapat ulama-ulama mazhab Hanafi,
Syafi’i, dan Hanbali. Larangan itu sangat bisa dimengerti dan cukup
kuat, karena bersumber dari hadis Nabi saw.
Dulu, ketika Rasulullah saw. melihat ada lembaran Taurat (kitab suci
yang diturunkan kepada Nabi Musa as., yakni kitab suci agama Yahudi) di
tangan Umar bin Khaththab ra., beliau marah dan berkata, “Apakah engkau
dalam keraguan, wahai Umar?” Dalam riwayat lain Rasulullah saw berkata
kepada Umar ra., “Seandainya Nabi Musa berada di tengah-tengah kalian,
dan kalian mengikutinya dan meninggalkanku, kalian pasti akan sesat.”
Rasulullah saw. menegur Umar bin Khaththab ra. yang seolah-olah
bersikap ragu terhadap al-Qur’an sehingga masih merasa perlu membaca
Taurat. Kemarahan beliau kepada Umar ra. dapat kita pahami bahwa kalau
sudah menyatakan diri percaya kepada Rasulullah sebagai utusan Allah
yang membawa ajaran al-Qur’an yang benar-benar datang dari Allah, kita
harus bersikap total. Jangan setengah-setengah. Apalagi di dalam hadis
lain beliau mengungkapkan, “Seandainya Musa dibangkitkan kembali, tidak
ada pilihan lain baginya kecuali mengikuti ajaranku.”
Tetapi, larangan membaca Taurat dan Injil itu oleh banyak ulama
dipahami bukan sebagai suatu keharaman, melainkan kemakruhan. Artinya,
kita dilarang membacanya kalau tidak ada tujuan atau maslahat yang lebih
besar. Kalau ada maslahat yang lebih besar, tentu saja boleh. Dalam
sebuah hadis yang bersumber dari Ibnu Umar ra. tentang kasus dua orang
beragama Yahudi yang berzina disebutkan bahwa ketika orang-orang Yahudi
membawa kedua pelaku zina itu kepada Rasulullah saw., beliau bertanya,
“Apa yang kamu ketahui mengenai hukum rajam di dalam Taurat?” Mereka
menjawab, “Menghukum malu (mempermalukan) mereka dan mereka dicambuk.”
Abdullah bin Salam berkata, “Kalian bohong! Di dalam Taurat ada
ketentuan mengenai rajam.” Mereka lalu mengambil Taurat dan membukanya.
Salah seorang dari mereka meletakkan tangannya persis di atas ayat yang
berbicara tentang rajam, lalu membaca ayat sebelumnya dan ayat
sesudahnya. Abdullah bin Salam lalu berkata, “Angkat tanganmu.” Orang
itu pun mengangkat tangannya, lalu terlihatlah bahwa pada bagian yang
tertutup tangan tadi terdapat ayat tentang rajam. Dalam riwayat itu
Rasulullah saw. menyaksikan dan membenarkan apa yang dilakukan oleh
Abdullah bin Salam, yakni membaca Taurat untuk mematahkan argumen orang
Yahudi.
Pada masa kontemporer ini, Syaikh Ahmad Ath-Thayyeb, pemimpin
tertinggi Al-Azhar di Mesir, beberapa kali mengutip Taurat dan Injil
ketika berhadapan dengan pengikut kedua kitab itu. Ketika menanggapi
tuduhan sarjana Barat bahwa agama Islam tersebar melalui pedang, melalui
senjata, melalui kekerasan dan perang, ulama Al-Azhar itu mengungkapkan
bahwa di dalam Kitab Yoshua (Perjanjian Lama), kata “pedang” –yang
merupakan simbol keberanian, alat senjata ketika itu, dan simbol
peperangan– disebut sebanyak tiga belas kali, semantara di dalam
al-Qur’an, yang dituduh mengajarkan kekerasan, sama sekali tidak
terdapat kata “pedang” satu kali pun. Pertanyaannya: kitab suci siapa
sebenarnya yang mengajarkan kekerasan? Apakah al-Qur’an yang tidak
memuat satu kali pun kata “pedang”, atau Perjanjian Lama yang memuat
tiga belas kali kata itu?
Hal yang sama juga dilakukan oleh Syaikh Ath-Thayyeb dengan
Perjanjian Baru. Sarjana-sarjana Barat-Kristen yang sering menuduh Islam
mengajarkan kekerasan, dipersilakan untuk membaca Injil Matius 10: 34
yang –menurut mereka– merupakan ungkapan Nabi Isa as.: “Jangan kamu
menyangka bahwa aku datang untuk membawa damai di muka bumi. Aku datang
bukan untuk membawa damai, melainkan pedang.” Ini membuktikan –jika
benar itu adalah ungkapan Nabi Isa as.– bahwa justru Perjanjian Baru-lah
yang dapat dikatakan mendorong umatnya melakukan kekerasan. Kalau
ungkapan itu bukan kata-kata Nabi Isa as. sebagai nabi pembawa damai,
itu membuktikan bahwa di dalam Injil telah terjadi perubahan dan campur
tangan manusia.
Nah, untuk maksud mematahkan argumen Ahli Kitab (wa jâdilhum billatî
hiya ahsan/ dan debatlah mereka dengan cara yang lebih baik), tentu saja
apa yang dilakukan oleh Syaikh Al-Azhar itu boleh dan bahkan sangat
baik. Tetapi tentu saja bukan orang awam yang belum mengerti banyak
tentang al-Qur’an yang boleh melakukan pembacaan terhadap Injil dan
Taurat, melainkan kaum cendekiawan dan ulama yang pemahamannya terhadap
al-Qur’an sudah cukup mendalam.
Perlu kiranya kita catat bahwa ketidakbolehan membaca kita suci
samawi sebelum al-Qur’an itu tidak berarti bahwa Islam membenci kitab
suci itu atau agama itu. Sama sekali tidak! Umat agama lain boleh saja
tetap berada pada keyakinannya, dan urusannya kita serahkan kepada
Allah: Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku (QS al-Kâfirûn [106]: 6).
Wallahu a’lam.
Source : alifmagz.com