Darul Ma'arif Asry

Amin.....Al-Fatihah..!

The Power of Affirmation

Imagine, Plan, and Action !!!

ANGKASA

Angkatan Sembilan Al-Ikhlas

IQTK 2013

Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Khusus Angkatan 2013

Islami is NOT classic

Islami = Modern Civilization based on Classic Civilizatin

Mohon Maaf Atas Segala Ketidaksempurnaan Blog ini

Dalam Proses Penyempurnaan....

Tuesday, May 20, 2014

Bagaimana Hukum Mendirikan Shalat Jumat di Dalam Penjara?


Pendapat yang menyatakan tidak sah shalat Jumat di penjara, maka ini antara lain dilatarbelakangi oleh pendapat ulama terdahulu yang menyatakan shalat Jumat hanya dilaksanakan di tempat pemukiman, dan bahwa tidak diperkenankan melaksanakan beberapa kali shalat Jumat pada satu wilayah. Di sisi lain tentu saja para tahanan mengalami kendala ‘untuk dapat keluar tahanan’, sehingga mereka dapat dinilai orang-orang yang memiliki syar’i (alasan yang dibenarkan agama) untuk tidak wajib melaksanakan Jumat.

Kini, setelah perkembangan masyarakat demikian pesat, maka shalat Jumat dapat saja dilaksanakan di beberapa tempat dalam satu wilayah termasuk dalam penjara dan dengan demikian pendapat yang menilai shalat Jumat di penjara tidak sah, menjadi tidak kuat lagi.
Demikian, wa Allah a’lam.

[M.Quraish Shihab - Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur'an]

Saturday, May 10, 2014

Berupa Apakah Jawaban dari Shalat Istikharah ?



Dalam istilah fikih, seperti disebut dalam Ensiklopedi Fikih terbitan Kementerian Wakaf Kuwait, istikhârah adalah meminta pilihan, yakni meminta agar keinginan atau tekad kita diarahkan kepada apa yang dipilihkan oleh Allah, dengan cara melaksanakan shalat atau membaca doa. Shalat sunnah istikharah didasarkan pada hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari melalui Sahabat Jâbir r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa hendak melakukan sesuatu (hamma bi al-amr: berkeinginan kuat untuk melakukan sesuatu), hendaklah ia melakukan shalat dua rakaat selain shalat fardu, kemudian berdoa: Allâhummâ innî astakhîruka bi ‘ilmika wa astaqdiruka bi qudratika. Fa innaka taqdiru wa lâ aqdir, wa ta‘lamu wa lâ a‘lam, wa anta ‘allâm al-ghuyûb. Allâhumma in kunta ta‘lamu anna hâdza al-amr khairun lî fî dînî wa ma‘âsyî wa ‘âqibati amri, fa uqdurhu lî wa yassirhu lî tsumma bârik lî fîh. Wa in kunta ta‘lamu anna hâdza al-amr syarrun lî fî dînî wa ma‘âsyî wa ‘âqibati amri, fa ishrifhu ‘annî wa ishrifnî ‘anhu, wa uqdur lî al-khaira haitshu kâna tsumma ardhinî bih.” Doa tersebut mengandung arti demikian: Ya Allah, jika dalam pengetahuan-Mu persoalan ini (apa yang menjadi keinginan kita) adalah baik bagiku dalam hal agamaku, kehidupan duniaku, maupun akhiratku, takdirkanlah ia bagiku, mudahkanlah ia untukku, kemudian berkahilah aku padanya. Dan jika dalam pengetahuan-Mu persoalan ini adalah buruk bagiku dalam hal agamaku, kehidupan duniaku, maupun akhiratku, palingkanlah ia dariku, palingkanlah aku darinya, dan takdirkanlah bagi yang baik di mana pun ia berada, kemudian jadikanlah aku rela menerimanya.

Lalu, jawabannya berupa apa? Jawaban dari shalat istikharah akan tampak pada kemantapan hati pada apa yang hendak kita lakukan. Dalam hadis yang lain, Rasulullah saw. pernah bersabda kepada Anas r.a., “Wahai Anas. Jika kamu hendak melakukan sesuatu, lakukanlah istikharah/ memohon pilihan dari Tuhanmu sebanyak tujuh kali, lalu lihatlah apa yang terasa (mantap) di hatimu karena kebaikan ada di situ.” (HR. Ibnu as-Sunni). Oleh karena itu, apabila kita sudah melakukan shalat istikharah dan membaca doanya sesuai yang disunnahkan, tetapi kemantapan hati tidak kunjung datang, itu pertanda bahwa sebaiknya kita tidak melakukan apa yang kita rencanakan. Jadi, catatan saya, dalam shalat istikharah kita bukan meminta jawaban terhadap apa yang kita inginkan, tetapi meminta pilihan terbaik dari Allah. Boleh jadi yang dipilih oleh Allah itu sama dengan yang kita inginkan, boleh jadi juga tidak sama. 

Sedangkan shalat hajat adalah adalah shalat sunnah untuk meminta suatu keinginan atau kebutuhan tertentu. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan Ibnu Majah disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa mempunyai suatu hajat (keinginan, kebutuhan) dari Allah maupun dari sesama manusia, hendaklah ia berwudhu dengan baik, kemudian melakukan shalat dua rakaat. Setelah itu memuji Allah dan bershalawat kepada Nabi saw. dan berdoa: Lâ ilâha illâ Allâh al-Halîm, al-Karîm. Subhânallâh rabb al-arsy al-‘azhîm, al-hamdu lillâhi rabb al-‘âlamîn. As’aluka mûjibâti rahmatik wa ‘azâ’ima maghfiratik wa al-ghanîmata min kulli birr wa as-salâmata min kulli itsm. Lâ tada‘ lî dzamban illâ ghafartah wa lâ hamman illâ farrajtah, wa lâ hâjatan hiya laka ridha illâ qadhaitahâ yâ arhama ar-râhimîn.” Arti doa itulah: Tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Penyantun, Mahamulia. Mahasuci Allah, Tuhan pemilik singgasana yang agung. Segala puji bagi Allah Pemelihara alam semesta. Aku memohon kepada-Mu apa-apa yang menyebabkan rahmat-Mu, yang membawa ampunan-Mu, apa-apa yang memperoleh keuntungan pada setiap kebajikan, dan keselamatan dari setiap dosa. Janganlah Engkau biarkan bagiku dosa kecuali Engkau ampuni, tidak pula suatu persoalan kecuali Engkau berikan jalan keluarnya, dan tidak pula suatu hajat yang Engkau ridhai kecuali Engkau kabulkan, wahai Tuhan Yang Maha Pengasih dari segala yang pengasih.

Sebagai catatan, dalam memohon kepada Allah sebaiknya kita jangan terburu-buru meminta dikabulkan. Rasulullah saw. bersabda, “Doa seseorang pasti dikabulkan selama ia tidak minta disegerakan.” (HR Bukhari dan Muslim). Jangan baru sekali-dua kali memohon lalu kita putus asa karena Allah tidak kunjung mengabulkan permohonan kita. Allah pasti akan mengabulkan permohonan kita. Cepat atau lambat. Sesuai dengan keinginan kita, atau malah lebih baik dari yang kita inginkan.
Demikian, wallahu a’lam.

[Muhammad Arifin, Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur'an]

Source : alifmagz.com

Apakah Maksud Kita Diperintah untuk Mencari Kelebihan Harta?



Dalam Al-Quran Surah Al-Jumu’ah (62):10 Allah berfirman:
“Maka apabila telah selesai ditunaikan shalat, bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah kelebihan karunia (rezeki) Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya. Mudah-mudahan kamu meraih kemenangan.”
 
Yang dimaksud carilah kelebihan di sini, ketika kita berkata bahwa Tuhan Mahakaya, substansinya jangan menjadikan seseorang tenggelam dalam mencari harta, sehingga titik-tolaknya sudah tidak suci dan tidak pernah merasa puas dengan apa yang dimilikinya. Ada hal yang menarik di dalam ibadah haji. Kita lihat bagaimana Siti Hajar mencari air kehidupan,dari Shafa ke Marwah,sebanyak tujuh kali.

Apa makna tujuh kali? Berusahalah sebanyak mungkin. Tujuh itu berarti “banyak”. Tapi syaratnya ada dua: harus dimulai dari Shafa-shafa itu artinya kesucian-dan harus berakhir di Marwah. Marwah itu artinya kepuasan.

Jadi berusahalah sekuat tenaga,carilah sebanyak mungkin. Tapi titik-tolaknya harus dari kesucian dan berakhir dengan kepuasan. Kalau itu dilakukan, maka seandainya seseorang gagal meraih sesuatu, yakinlah bahwa Tuhan akan memberikan kepadanya tanpa usaha dia, sebagaimana Hajar memperoleh air tanpa usaha dia.

[M.Quraish Shihab - Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur'an]

Thursday, May 8, 2014

Ihwal Pembelahan Dada Nabi Muhammad Saw



Kisah tentang dibedahnya dada Nabi Muhammad Saw amat populer di kalangan umat Islam. Sayang, kesahihan sumber-sumbernya diperselisihkan dan perincian kandungannya berbeda pula. ‘Abdullâh putra Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnad –sebagaimana dikutip oleh Ibnu Katsîr– meriwayatkan bahwa sahabat, Nabi Ubay bin Ka‘ab, menuturkan bahwa Abû Hurairah pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah hal pertama yang engkau alami menyangkut kenabian?” Rasulullah Saw menjawab, “Aku berada di padang pasir dan umurku ketika itu sepuluh tahun dan beberapa bulan. Tiba-tiba aku mendengar suara di atas kepalaku, [dan kulihat] ada seseorang berkata kepada seorang lainnya, ‘Apakah dia?’ Keduanya orang itu lalu menghadap kepadaku dengan wajah yang belum pernah kulihat sebelumnya, dengan keharuman yang belum pernah kudapatkan dari satu makhluk pun sebelumnya, dan dengan pakaian yang belum pernah kulihat dipakai seseorang sebelumnya. Mereka berdua menghampiriku hingga memegang bahuku, tetapi aku tidak merasa dipegang. Lalu, salah seorang berkata kepada temannya, Baringkanlah!’ Mereka berdua membaringkanku tanpa menarik [dengan keras] dan tidak juga mematahkan. Salah seorang berkata kepada temannya, ‘Belahlah dadanya!’ Ia memegang dan membelah dadaku. Temannya berkata, Keluarkanlah kedengkian dan iri hati!’ Ia mengeluarkan sesuatu seperti segumpal darah dan membuangnya. Kemudian temannya berkata, ‘Masukkanlah kasih sayang dan rahmat!’ Maka, kulihat serupa apa yang dikeluarkannya bagaikan perak, ….’” Tidak sedikit ulama yang menilai hadits ini sebagai lemah [dha‘îf].

Di sisi lain ada sebagian ulama yang memahami ayat 1 dalam surah asy-Syarh sebagai berbicara tentang pembelahan dada Nabi Saw Bagi mereka, terjemahan ayat itu –alam nasyrah laka shadrak– adalah: “Bukankah Kami telah membelah dadamu?” Pendapat ini didasarkan pada pemahaman kata “nasyrah”. Memang, akar kata itu [asy-syarh], menurut kamus-kamus bahasa, bermakna –antara lain– memperluas dan melapangkan. Kalau kata itu dikaitkan dengan sesuatu yang bersifat material, maka ia juga berarti memotong atau membedah. Sementara itu, bila dikaitkan dengan sesuatu yang bersifat nonmateri, maka kata itu berarti memberi pemahaman, menganugerahkan ketenangan, dan yang semaknanya. Seorang ulama tafsir, an-Naysâbûrî, memahami kata itu dalam arti “pembedahan” yang –menurutnya– pernah dilakukan oleh para malaikat pada diri Nabi Muhammad Saw, baik ketika beliau remaja, maupun beberapa saat sebelum beliau melakukan perjalanan Isrâ’ dan Mi‘râj.

Saya tidak cenderung memahaminya demikian, terlepas dari penilaian sahih-tidaknya riwayat-riwayat tentang pembedahan dada Rasulullah Saw. Pengamatan atas penggunaan kata syaraha oleh alQur’an, yang terulang sebanyak lima kali, tidak mendukung penafsiran demikian. Sebab, tidak ada satu pun dari kelima penggunaannya bersifat material, apalagi pembedahan.

Karena tidak ada ayat al-Qur’an yang mengandung penafsiran pasti ihwal pembedahan ini dan juga hadits Nabi yang hanya bersifat informasi perorangan.

[M. Quraish Shihab, Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur'an]

Source : alifmagz.com

Benarkah Nabi Muhammad Wafat Akibat Racun ?



Ada banyak riwayat tentang sakitnya Rasulullah saw. yang kemudian menyebabkan beliau wafat. Salah satunya adalah karena terserang flu akibat memakan daging beracun yang disuguhkan oleh seorang wanita Yahudi tiga atau empat tahun sebelumnya. Tetapi keadaan itu tidak berarti bahwa beliau tidak dilindungi oleh Allah (tidak maksum). Justru di situlah letak kemaksuman beliau. 

Racun yang dimasukkan ke dalam daging domba yang beliau makan itu sejatinya sangat ampuh dan cepat mematikan. Kalau saja yang terkena racun itu bukan beliau, bisa dipastikan orang itu langsung meninggal dunia tidak lama setelah memakannya. Akan tetapi Nabi saw. masih bertahan sampai tiga atau empat tahun kemudian. Beliau masih bisa melakukan dakwah secara normal, masih memimpin perang, masih menerima delegasi, dan masih menjalankan tugas-tugas lainnya sebagai nabi dan pemimpin umat.

Dalam hal ini, ada baiknya kita simak apa yang ditulis oleh Az-Zarqânî dalam bukunya, Syarh al-Mawâhib al-Ladunniyyah. Ia kurang lebih berkata begini, “Merupakan suatu mukjizat bahwa racun itu tidak memengaruhi beliau pada saat beliau memakannya. Sebab, orang-orang Yahudi berkeyakinan, ‘Kalau benar Muhammad adalah nabi, racun itu pasti tidak akan berpengaruh kepadanya, tetapi kalau ia adalah raja, kita akan terbebas darinya (maksudnya beliau pasti mati).’ Nah, ketika ternyata racun itu tidak mematikan beliau, orang-orang Yahudi akhirnya percaya bahwa beliau benar-benar nabi utusan Allah. Bahkan ada yang menyebutkan bahwa perempuan yang meracuni itu pun pada akhirnya memeluk Islam.”

Bahwa flunya beliau itu akibat pengaruh kecil dari racun, dapat kita baca dalam kitab Shahîh al-Bukhârî dan Shahîh Muslim (dua rujukan utama buku hadis). Di dalam dua buku hadis paling sahih itu Anas bin Malik ra. meriwayatkan bahwa seorang perempuan Yahudi memberi Rasulullah saw. daging kambing yang telah ia beri racun . Beliau lalu memakan daging itu. Perempuan Yahudi itu kemudian dibawa menemui Rasulullah saw. lalu ia berkata kepada beliau, “Aku hendak membunuhmu.” Rasulullah saw. lalu berkata, “Allah tidak akan mungkin memberi kemampuan kepadamu untuk membunuhku.” Para sahabat berkata kepada beliau, “Tidakkah kita bunuh saja perempuan ini?” Rasulullah saw. menjawab, “Jangan.” Anas bin Malik kemudian mengomentari riwayatnya, “Saya mengetahui bekas daging yang beliau makan tampak di katup tenggorokannya.”

Mengomentari riwayat Anas ini, Imam an-Nawawî dalam buku Syarh Shahîh Muslim, mengatakan, “Seolah-olah racun itu masih ada tanda dan bekasnya berupa warna kehitaman atau lainnya.”

Riwayat Anas bin Malik ini senada dengan riwayat Aisyah ra. yang juga kita temukan di dalam Shahîh al-Bukhârî, “Nabi saw. berkata ketika sakit yang menyebabkan beliau wafat, ‘Wahai Aisyah! Aku masih merasakan sakitnya (bekas) makanan yang aku makan di Khaibar (yang disuguhkan oleh perempuan Yahudi). Dan sekarang adalah waktu di mana pembuluh nadiku terputus dari racun itu.’”

Jadi, jika ada yang mengatakan bahwa nabi wafat tanpa mengalami sakit sama sekali, saya kira kurang tepat juga. Riwayat-riwayat yang sangat kuat semuanya menyebutkan bahwa beliau merasakan sakit yang seolah menandakan ajal beliau sudah dekat. Sakit semacam flu itu mulai beliau rasakan sekali-sekali –tidak dalam waktu lama atau sepanjang empat tahun– sejak memakan daging beracun di Khaibar. 

Banyak ulama yang mengomentari bahwa kematian beliau seperti itu merupakan kematian yang sangat mulia dan terhormat. Allah swt. seolah mempertemukan dua sebab kematian sekaligus: yakni mati biasa (sebagai seorang nabi yang memang sudah tua) dan mati syahid akibat racun seperti dapat kita pahami dari ungkapan beliau sendiri kepada Sayyidah Aisyah ra., “Aku masih merasakan sakitnya (bekas) makanan yang aku makan di Khaibar, dan sekarang adalah waktu di mana racun itu memutus pembuluh nadiku.”

Dan, sekali lagi, itu justru menunjukkan bahwa beliau dilindungi oleh Allah (maksum) yang dapat kita lihat dari kondisi beliau yang masih sehat wal afiat beberapa tahun setelah memakan daging beracun itu. Beliau hanya merasakan sakit sekali-sekali akibat bekas racun yang pada akhirnya menyebabkan beliau wafat.
Demikian, wallahu a’lam.

[M. Arifin - [M. Quraish Shihab - Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur'an

Source : alfmagz.com

Thursday, May 1, 2014

TA’ARUF ATAU PACARAN ISLAMI ?




Allah swt. Menciptakan manusia dalam keragaman, baik keragaman budaya, bangsa, suku dan ras. Termasuk menciptakan manusia dalam dua jenis, yaitu laki-laki dan perempuan. Keragaman atau perbedaan yang diciptakanNya ini tidak lain kecuali bertujuan agar manusia saling mengenal (li ta’arafuu). Dalam pada itu manusia akan merasakan kebesaran Allah melalui ciptaanNya. 

            Istilah ta’aruf secara sederhana didefenisikan sebagai aktifitas saling mengenal satu sama lain agar tercipta hubungan yang  harmonis antara kedua belah pihak. Penggunaan istilah ta’aruf pada dasarnya berlaku umum, baik perkenalan antara suku, budaya, bangsa termasuk antara laki-laki dan perempuan. Hal ini dibuktikan dengan penggunaan istilah Masa Ta’aruf pada sekolah-sekolah tertentu khususnya pondok pesantren sebagai ganti dari istilah Masa Orientasi Siswa (MOS) yang merupakan kegiatan saling mengenal antara santriwan/santriwati baru dengan lingkungan barunya yaitu sekolah barunya itu sendiri. Namun, istilah ini kemudian lebih cenderung digunakan dalam pengertian upaya saling mengenal antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang diniatkan akan berlanjut pada tingkat hubungan yang lebih serius yaitu pernikahan. Ta’aruf dalam pengertian tersebut adalah untuk menuju ke jenjang pernikahan. Sehingga, tidak layak disebut ta’aruf jika dari awal niatnya bukan untuk bermuara pada pernikahan. Sebagaimana kebanyakan remaja pada saat ini yang membuat hubungan hanya sekedar ikut-ikutan ataupun gengsi dengan sebayanya yang pada akhirnya membuatnya tidak lebih dari ilustrasi bus dan  halte yang selalu bergantian seiring berjalannya waktu.    

            Hemat penulis, istilah ta’aruf sesungguhnya merupakan istilah lain dari istilah Pacaran Islami. Perubahann ini disebabkan Karena istilah pacaran yang cenderung berkonotasi negative sehingga tidak wajar disandingkan dengan istilah Islami maka digunakanlah istilah ta’aruf ini. Padahal, perubahan ini sesungguhnya tidak diperlukan ketika terlebih dahulu dipahami makna dari kata pacaran itu sendiri. Menurut kamus Besar bahasa Indonesia, kata pacar diartikan sebagai ‘teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan batin berdasarkan cinta kasih, biasanya untuk menjadi tunangan atau kekasih. Pacaran adalah bercintaan atau berkasih-kasihan. Kalau demikian halnya, pacaran sesungguhnya hanya diartikan sebagai sikap batin, yang kemudian disalah-artikan oleh kebannyak oranag termsuk remaja. Karena hubungan yang dinamai pacaran ini kemudian disusul dengan tingkah laku berdua-duaan, saling memegang, dan tingkah laku lainnya yang tidak tidak dibolehkan agama. maka ternodailah istilah pacaran ini yang pada awalnya hanya merupakan sikap batin. Dan  tingkah laku inilah yang justru mendominasinya

               Sehingga, istilah ta’aruf sesungguhnya hanya istilah lain pacaran yang seakan-akan ingin memberi kesan Islami pada sebuah hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Padahal, tidak ada jaminan bahwa pelaku ta’aruf tidak melakukan tingkah laku yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Jangan sampai, orang-orang yang katanya ta’arufan justru melakukan pelanggaran nilai-nilai Islam lebih dari orang yang ber’pacaran’.

            Kesimpulannya adalah apapun istilahnya baik itu ta’aruf, pacaran Islami, pacaran (tanpa embel-embel Islami) ataupun tanpa istilah tertentu haruslah hubungan yang dilandaskan pada niat tulus kedua belah pihak (laki-laki & perempuan) untuk mencari pasangan hidup yang kemudian bersama-sama membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, rahmah, dan amanah untuk menjalankan sunnah RasulNya. Jika berangkat dari niat tulus seperti demikian itu (bukan niat atas dasar nafsu ataupun egoisme darah muda belaka) maka agaknya dapat dipastikan bahwa dalam hubungannya itu tidak akan didapatkan tingkah-laku yang melanggar nilai-nilai budaya apalagi nilai-nilai suci Islam. 

Wallahu A’lam


Bolehkah Mempelajari Kitab Agama Lain ?


Ulama-ulama fikih banyak yang melarang umat Islam untuk membaca dan mempelajari Taurat dan Injil sebelum benar-benar mengerti al-Qur’an, seperti dapat kita baca pada pendapat ulama-ulama mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali. Larangan itu sangat bisa dimengerti dan cukup kuat, karena bersumber dari hadis Nabi saw.

Dulu, ketika Rasulullah saw. melihat ada lembaran Taurat (kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Musa as., yakni kitab suci agama Yahudi) di tangan Umar bin Khaththab ra., beliau marah dan berkata, “Apakah engkau dalam keraguan, wahai Umar?” Dalam riwayat lain Rasulullah saw berkata kepada Umar ra., “Seandainya Nabi Musa berada di tengah-tengah kalian, dan kalian mengikutinya dan meninggalkanku, kalian pasti akan sesat.”

Rasulullah saw. menegur Umar bin Khaththab ra. yang seolah-olah bersikap ragu terhadap al-Qur’an sehingga masih merasa perlu membaca Taurat. Kemarahan beliau kepada Umar ra. dapat kita pahami bahwa kalau sudah menyatakan diri percaya kepada Rasulullah sebagai utusan Allah yang membawa ajaran al-Qur’an yang benar-benar datang dari Allah, kita harus bersikap total. Jangan setengah-setengah. Apalagi di dalam hadis lain beliau mengungkapkan, “Seandainya Musa dibangkitkan kembali, tidak ada pilihan lain baginya kecuali mengikuti ajaranku.”

Tetapi, larangan membaca Taurat dan Injil itu oleh banyak ulama dipahami bukan sebagai suatu keharaman, melainkan kemakruhan. Artinya, kita dilarang membacanya kalau tidak ada tujuan atau maslahat yang lebih besar. Kalau ada maslahat yang lebih besar, tentu saja boleh. Dalam sebuah hadis yang bersumber dari Ibnu Umar ra. tentang kasus dua orang beragama Yahudi yang berzina disebutkan bahwa ketika orang-orang Yahudi membawa kedua pelaku zina itu kepada Rasulullah saw., beliau bertanya, “Apa yang kamu ketahui mengenai hukum rajam di dalam Taurat?” Mereka menjawab, “Menghukum malu (mempermalukan) mereka dan mereka dicambuk.” Abdullah bin Salam berkata, “Kalian bohong! Di dalam Taurat ada ketentuan mengenai rajam.” Mereka lalu mengambil Taurat dan membukanya. Salah seorang dari mereka meletakkan tangannya persis di atas ayat yang berbicara tentang rajam, lalu membaca ayat sebelumnya dan ayat sesudahnya. Abdullah bin Salam lalu berkata, “Angkat tanganmu.” Orang itu pun mengangkat tangannya, lalu terlihatlah bahwa pada bagian yang tertutup tangan tadi terdapat ayat tentang rajam. Dalam riwayat itu Rasulullah saw. menyaksikan dan membenarkan apa yang dilakukan oleh Abdullah bin Salam, yakni membaca Taurat untuk mematahkan argumen orang Yahudi.

Pada masa kontemporer ini, Syaikh Ahmad Ath-Thayyeb, pemimpin tertinggi Al-Azhar di Mesir, beberapa kali mengutip Taurat dan Injil ketika berhadapan dengan pengikut kedua kitab itu. Ketika menanggapi tuduhan sarjana Barat bahwa agama Islam tersebar melalui pedang, melalui senjata, melalui kekerasan dan perang, ulama Al-Azhar itu mengungkapkan bahwa di dalam Kitab Yoshua (Perjanjian Lama), kata “pedang” –yang merupakan simbol keberanian, alat senjata ketika itu, dan simbol peperangan– disebut sebanyak tiga belas kali, semantara di dalam al-Qur’an, yang dituduh mengajarkan kekerasan, sama sekali tidak terdapat kata “pedang” satu kali pun. Pertanyaannya: kitab suci siapa sebenarnya yang mengajarkan kekerasan? Apakah al-Qur’an yang tidak memuat satu kali pun kata “pedang”, atau Perjanjian Lama yang memuat tiga belas kali kata itu?

Hal yang sama juga dilakukan oleh Syaikh Ath-Thayyeb dengan Perjanjian Baru. Sarjana-sarjana Barat-Kristen yang sering menuduh Islam mengajarkan kekerasan, dipersilakan untuk membaca Injil Matius 10: 34 yang –menurut mereka– merupakan ungkapan Nabi Isa as.: “Jangan kamu menyangka bahwa aku datang untuk membawa damai di muka bumi. Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang.” Ini membuktikan –jika benar itu adalah ungkapan Nabi Isa as.– bahwa justru Perjanjian Baru-lah yang dapat dikatakan mendorong umatnya melakukan kekerasan. Kalau ungkapan itu bukan kata-kata Nabi Isa as. sebagai nabi pembawa damai, itu membuktikan bahwa di dalam Injil telah terjadi perubahan dan campur tangan manusia.

Nah, untuk maksud mematahkan argumen Ahli Kitab (wa jâdilhum billatî hiya ahsan/ dan debatlah mereka dengan cara yang lebih baik), tentu saja apa yang dilakukan oleh Syaikh Al-Azhar itu boleh dan bahkan sangat baik. Tetapi tentu saja bukan orang awam yang belum mengerti banyak tentang al-Qur’an yang boleh melakukan pembacaan terhadap Injil dan Taurat, melainkan kaum cendekiawan dan ulama yang pemahamannya terhadap al-Qur’an sudah cukup mendalam.

Perlu kiranya kita catat bahwa ketidakbolehan membaca kita suci samawi sebelum al-Qur’an itu tidak berarti bahwa Islam membenci kitab suci itu atau agama itu. Sama sekali tidak! Umat agama lain boleh saja tetap berada pada keyakinannya, dan urusannya kita serahkan kepada Allah: Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku (QS al-Kâfirûn [106]: 6).
Wallahu a’lam.
 
[M. Arifin Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur'an

 Source : alifmagz.com

Bolehkah Menggabungkan Beberapa Pendapat Ulama dalam Satu Masalah ?



Dalam fikih, ini disebut talfîq, yaitu mengambil atau mengikuti suatu hukum dengan mengambilnya dari berbagai mazhab, atau beribadah dengan mengikuti salah satu pendapat menyangkut satu persoalan dari satu mazhab yang ada dan mengikuti mazhab lainnya dalam persoalan lain. Hukum melakukan talfîq diperselisihkan oleh ulama. Meski demikian, secara umum ulama-ulama mengatakan bahwa siapa pun yang menyatakan mengikuti satu mazhab tertentu, pada hakikatnya pernyataannya itu bersifat tidak mengikat. Sebab, memang, tidak ada yang wajib diikuti kecuali Allah dan Rasul-Nya.

Meski begitu, beberapa bentuk talfîq tidak dibenarkan, yaitu apabila seseorang mengambil pendapat dua imam mazhab atau lebih dalam satu amalan tertentu, yang dalam pengamalannya tidak diakui oleh semua ulama mazhab tersebut. Misalnya, seseorang menikah dengan mengambil pendapat mazhab Abû Hanîfah yang tidak menuntut adanya wali, sekaligus mengambil pendapat Syâfi‘î yang membenarkan perkawinan tanpa mahar (bila disetujui oleh calon istri), sekaligus juga mengambil pendapat Mâlik yang tidak mensyaratkan saksi. Itu artinya, perkawinan tersebut berlansung tanpa wali (Hanafi), tanpa mahar (Syafi’i), dan tanpa saksi (Malik). Perkawinan semacam ini tidak dibenarkan oleh ketiga imam mazhab tersebut sehingga talfîq semacam ini tidak dibenarkan.

Talfîq seharusnya tidak didasari oleh niat buruk (menggampangkan persoalan, mencari keuntungan pribadi, mau enaknya saja tanpa memperhatikan dalil, dan sebagainya).

Lebih jauh, Anda dapat membaca buku Fatwa-fatwa Kontemporer oleh Yusuf Qaradhawi, M Quraish Shihab Menjawab 1.001 Soal Keagamaan yang Patut Anda Ketahui, dan lain-lain.
Wallahu a’lam.

[Muhammad Arifin, MA-Dewan Pakar Pusat Studi Al-Qur'an]

Source : alifmagz.com