Berbeda-beda pendapat tidak sama dengan berfirqah-firqah (wa lâ tafarraqû:
jangan bercerai-berai, jangan berpecah-belah). Sahabat-sahabat Nabi
saw. dahulu ada yang berbeda pendapat satu sama lain, tetapi mereka
tidak berpecah belah. Ulama-ulama fikih juga berbeda-beda pendapat,
tetapi mereka tidak berfirqah-firqah. Satu sama lain saling
memahami perbedaan masing-masing, dan bersedia mengikuti pendapat lain
jika terbukti itu yang lebih benar. Ada ungkapan yang sangat terkenal: ra’yî shawâb yahtamil al-khatha’, wa ra’y ghayrî khatha’ yahtamil al-shawâb
(pendapat saya benar tetapi bisa jadi mengandung kesalahan, dan
pendapat selain saya salah tetapi bisa jadi mengandung kebenaran).
Ormas-ormas Islam yang ada dan berkembang di Indonesia
pun tidak harus kita pandang sebagai firqah-firqah yang dilarang,
tetapi lebih dipandang dalam kerangka perbedaan itu. Mungkin akan ada
pertanyaan, mengapa perbedaan itu bisa terjadi, padahal sumber kita
sama: al-Qur’an dan Hadits?
Di dalam al-Qur’an sendiri, ada kata-kata yang memang berpotensi menimbulkan perbedaan. Misalnya kata qurû’ yang terdapat dalam QS al-Baqarah (2): 228. Kata qurû’ yang merupakan bentuk jamak dari qur’ itu, dalam bahasa Arab memang mengandung dua makna yang saling berlawanan: (a) haid, dan (b) suci. Dengan demikian, frase tsalâtsata qurû’ dalam ayat itu bisa dipahami berarti “tiga masa suci”, bisa juga dipahami sebagai “tiga masa haid”.
Perbedaan pemahaman seperti itu tentu berdampak pada kesimpulan hukum
yang diambil. Di sini kita jangan berkata bahwa al-Qur’an merupakan
sumber perpecahan! Tidak! Justru di situ terdapat kelonggaran dan
kemudahan bagi kita.
Begitu juga dengan kata ilâ (sampai, sampai dengan) dalam frase ilâ al-marâfiq (sampai ke siku, sampai dengan siku) yang terdapat di dalam QS al-Mâ’idah (5): 6. Dalam bahasa Arab, kata ilâ memang bisa berarti “ke” atau “sampai”, bisa juga berarti “sampai dengan”. Mereka yang memahami kata ilâ di situ berarti “sampai”, menyimpulkan bahwa dalam berwudhu kita membasuh tangan dari jari-jari sampai batas siku, artinya sikunya tidak harus dibasuh. Tetapi orang-orang yang memahami ilâ
berarti “sampai dengan”, mereka menyimpulkan bahwa membasuh tangan
dalam berwudhu harus sekalian dengan sikunya. Sikunya harus dibasuh
juga. Apakah ini salah al-Qur’an? Tidak! Ini justru sebuah sebuah
kemudahan.
Dalam menyikapi berbagai perbedaan di kalangan umat ini, ada ungkapan yang cukup bagus: Nata‘âwan fî mâ ittafaqnâ ‘alayh, wa ya‘dzuru ba’dhunâ ba‘dhan fî mâ ikhtalafnâ ‘alayh
(kita saling bekerja sama dalam hal-hal yang kita sepakati, dan saling
menoleransi dalam hal-hal di mana kita berbeda pendapat).
Demikian, wallahu a’lam.
[Muhammad Arifin - Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur'an]
sip.tapi gak takut terpengaruh?
ReplyDeleteKalau sudah yakin dengan keyakinan kenapa mau takut terpengaruh ? malah justru berpengaruh
Deletedosenku pernah blg kl bliau sdng tdk dlm keadaan shlat, bliau sj msh zann dgn imannya... blm yakinn.. aniway dosen ituu sufi..apa kt bs lbih yakin ya? #bertanya
ReplyDeleteEhm
ReplyDelete