Kata “syi’ah” berasal dari kata bahasa Arab syî‘ah (شِيعَة) yang mengandung arti ‘kelompok orang’ atau ‘golongan’. Bentuk jamaknya adalah syiya‘ (شِيَع). Di dalam al-Qur’an kita menemukan kata syiya‘
(شِيَع) ini antara lain pada surah al-An‘âm [6] ayat 159, surah
al-Qashash [28] ayat 4, dan surah ar-Rûm [30] ayat 32, yang kesemuanya
berarti ‘kelompok-kelompok’ atau ‘golongan-golongan’. Pada
perkembangannya, kata itu kemudian digunakan untuk menunjuk orang-orang
pengikut Ali bin Abi Thalib ra., khalifah keempat dari khulafa’ rasyidin
dan menantu Rasulullah saw., dan keluarganya atau keturunannya.
Syi’ah pertama-tama muncul dalam bentuk adanya kecenderungan atau
keinginan beberapa orang kepada Ali bin Abi Thalib ra. dan berharap agar
beliau menjadi khalifah setelah wafatnya Rasulullah saw. Kecenderungan
itu ada pada diri sebagian orang dari Banû Hâsyim (anak keturunan Hâsyim
bin ‘Abdi Manaf, kakek Nabi Muhammad saw.) dan sejumlah sahabat Nabi
saw. seperti Al-Miqdâd ibn al-Aswad, Salmân al-Fârisiy, dan Abû Dzarr
al-Ghiffâriy.
Satu hal mendasar yang membedakan Syi’ah dari bukan saja Sunni tetapi
juga kelompok-kelompok Islam yang lain adalah bahwa kecenderungan
kepada Ali bin Abi Thalib itu membuat mereka mengatakan bahwa Ali ra.
lebih baik dan lebih berhak menjadi khalifah dibandingkan dengan Abu
Bakar, Umar, dan Utsman –ridhwânullâh ‘alayhim. Bahkan, menurut
kelompok Syi’ah, penetapan Ali ra. (dan keturunannya) sebagai khalifah
penerus Nabi saw. itu telah ditentukan oleh teks al-Qur’an, alias
melalui wahyu Ilahi. Sementara, semua kelompok Islam yang lain sepakat
bahwa penentuan seorang khalifah atau imam setelah Nabi saw. adalah
melalui musyawarah, atau pemilihan, atau baiat dari umat atau
wakil-wakil umat.
Persoalan imâmah (kepemimpinan umat setelah Rasul saw. wafat) oleh Syi’ah dianalogikan dengan nubuwwah
(kenabian). Artinya, sebagaimana Nabi saw. merupakan manusia pilihan
Tuhan, begitu juga seorang imam atau khalifah. Jadi, menurut Syi’ah,
penentuan pemimpin melalui pemilihan atau musyawarah atau baiat adalah
tidak benar. Oleh karena itu, menurut Syi’ah, kekhalifahan Abu Bakar,
Umar, dan Utsman –radhiyallâhu ‘anhum– adalah tidak sah.
Sebenarnya, dengan meneliti literatur-literatur yang membahas tentang konsep imâmah,
terutama literatur-literatur Syi’ah sendiri, kita tidak menemukan
pembahasan bahkan sekadar indikasi mengenai konsep ini. Konsep imâmah
yang menjadi bagian dari ranah akidah menurut Syi’ah ini baru muncul
pada masa imam Syi’ah yang keenam, yaitu Ash-Shâdiq Abû Abdillâh Ja‘far
bin Muhammad (80-148 H/ 699-765 M). Bukan pada masa awal kemunculan
Syi’ah, apalagi pada masa turunnya wahyu ketika Nabi saw. masih hidup.
Hal ini –yakni munculnya konsep imâmah melalui wahyu yang terjadi
belakangan, bukan pada masa-masa awal kekhalifahan– didukung kuat oleh
fakta sejarah. Setelah wafatnya Nabi saw., seperti maklum diketahui,
terjadi sedikit perbedaan di antara umat Islam mengenai siapa yang bakal
menggantikan Nabi saw. sebagai pemimpin umat. Tetapi, tidak seorang pun
di antara orang-orang yang berbeda pendapat itu yang menyebut atau
bahkan sekadar mengindikasikan adanya wahyu (nashsh, teks al-Qur’an
maupun Hadis) yang menentukan siapa pengganti Nabi. Memang, Ali bin Abi
Thalib ra. terlambat menyatakan baiatnya kepada Abu Bakar ra. Ali baru
membaiat (menyatakan kesetiaan kepada) Abu Bakar ra. beberapa bulan
kemudian. Tetapi tidak ditemukan riwayat yang bersumber dari Ali ra.
ketika itu yang menyebutkan adanya alasan wahyu yang menentukan beliau
sebagai khalifah penerus Nabi saw. sehingga beliau telat membaiat Abu
Bakar. Apalagi, pada masa-masa berikutnya, Ali bersama umat Islam yang
lain ikut membaiat Umar ra. dan Utsman ra. sebagai khalifah setelah Abu
Bakar ra., tanpa pernah menyebut bahwa dirinya lebih berhak.
Ketika beliau dibaiat menjadi khalifah penerus Utsman bin Affan ra.
pun, beliau menerima baiat itu. Seandainya benar klaim kelompok Syi’ah
bahwa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib (dan keturunannya) setelah Nabi
saw. telah ditetapkan melalui wahyu Ilahi, tentu ketika itu Ali akan
mengatakan, “Aku tidak perlu dibaiat, karena sudah ada wahyu yang
menetapkan aku sebagai khalifah.” Tetapi tidak pernah ditemukan riwayat
bahwa Ali mengucapkan kata-kata itu. Sebaliknya, beliau bahkan menerima
baiat umat Islam ketika itu. Bahkan, di dalam buku Nahj al-Balâghah
yang merupakan kumpulan ucapan-ucapan Ali bin Abi Thalib ra. juga tidak
kita temukan ucapan atau indikasi mengenai penentuan kepemimpinan
beliau melalui wahyu.
Dalam perkembangan berikutnya, Syi’ah tumbuh menjadi beberapa sekte.
Ada yang moderat, ada juga yang kelewat batas. Syi’ah Dua Belas (atau Asy-Syî‘ah al-Itsnâ ‘Asyariyyah)
–sekte yang paling banyak dianut oleh Syi’ah kontemporer– mengatakan
bahwa Ali ra. telah mewasiatkan kepemimpinan umat dari dirinya kepada
putranya, yaitu Hasan. Hasan, pada gilirannya, mewasiatkannya kepada
adiknya, Husain. Dan begitu seterusnya kepada anak-anak Ali dari
perkawinannya dengan Fatimah binti Muhammad saw., hingga mencapai imam
yang ke-12. Karena itulah sekte ini disebut Syi’ah Dua Belas, yakni dua
belas imam.
Ada juga Syi’ah Zaidiyah, yakni pengikut Zaid bin Ali bin Husain (79 –
122 H/ 698 – 740 M). Sekte ini dinilai sebagai sekte Syi’ah yang paling
moderat dan mendekati paham Ahlusunnah. Menurut mereka, konsep wahyu
mengenai imâmah sebagai bagian dari akidah bukan tertuju kepada diri
pribadi seorang imam, tetapi lebih kepada sifat-sifat seorang imam,
siapa pun orangnya. Itu pun hanya terbatas pada tiga imam, yaitu Ali bin
Abi Thalib dan kedua putranya. Begitu saya kira sedikit informasi yang
bersumber dari Mawsû‘ah al-Mafâhîm al-Islâmiyyah terbitan Majelis Tinggi Urusan Agama Islam Kementerian Wakaf Mesir, mengenai Syi’ah.
Apakah mereka sesat? Seperti kita sebut di atas, di antara kelompok
Syi’ah ada yang moderat dan ada juga yang melampaui batas. Yang
melampaui batas, di mana letak melampaui batasnya? Itu, antara lain,
ditunjukkan pada sikap mencela bahkan sebagian menganggap sesat
sahabat-sahabat Nabi saw. bahwa istri Nabi saw., Aisyah binti Abu Bakar
ra., yang memiliki kedudukan sangat tinggi sebagai umm al-mu’minîn (ibunda orang-orang mukmin). Yang melampaui batas ini tentu saja dianggap sesat.
Demikian, wallahu a’lam.
[M Arifin - Dewan Pakar Pusat Studi Al-Qur'an]
Source : alifmagz.com
0 Comment:
Post a Comment