Tradisi merayakan tahun baru Masehi seperti yang berkembang saat ini
–yang antara lain ditandai dengan meniup terompet, terutama pada
detik-detik pergantian tahun– besar kemungkinan berasal dari tradisi
Yahudi. Orang Yahudi, ketika merayakan tahun baru mereka yang dimulai
pada tanggal 1 bulan Tishri dalam Kalender Ibrani, merayakannya dengan
meniup terompet, di samping bentuk perayaan lainnya. Meniup terompet
merupakan fenomena paling menonjol dalam perayaan pergantian tahun orang
Yahudi.
Bukan cuma itu. Bagi orang Yahudi, meniup terompet pada tahun baru
juga merupakan perintah Tuhan kepada Nabi Musa untuk menyambut datangnya
tahun baru mereka. Dengan kata lain, meniup terompet adalah salah satu
bentuk ibadah mereka. Di dalam Kitab Suci Yahudi disebutkan demikian:
Katakanlah kepada orang Israel, begini: “Dalam bulan yang ketujuh,
pada tanggal satu bulan itu, kamu harus mengadakan hari perhentian penuh
yang diperingati dengan meniup sangkakala, yakni hari pertemuan kudus.” (Torat, Imamat 23: 24). “Pada
bulan yang ketujuh, pada tanggal satu bulan itu, haruslah kamu
mengadakan pertemuan yang kudus, maka tidak boleh kamu melakukan sesuatu
pekerjaan berat; itulah hari peniupan sangkakala bagimu.” (Torat, Bilangan 29: 1).
Atas dasar itu, ada ulama yang mengharamkan perayaan tahun baru
Masehi dengan alasan mengikuti ibadah atau ritual non-Muslim. (Di Arab
Saudi terdapat fatwa resmi yang mengharamkan perayaan malam tahun baru.
Syaikh Yusuf al-Qaradhawi dari Mesir juga berpendapat perayaan malam
tahun baru haram). Apalagi kalau perayaan tahun baru itu diisi dengan
maksiat seperti pesta minuman keras, pesta seks, dan lain-lain. Yang
begini ini jelas terlarang. (Penjualan kondom menjelang akhir tahun
sering sekali diberitakan melonjak. Selain itu, seusai perayaan tahun
baru 2012 yang baru lalu, di sekitar kawasan Puncak banyak ditemukan
sampah kondom!).
Dalil mereka yang mengharamkan, antara lain, adalah hadits Nabi saw.
yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, al-Bayhaqi, dan lain-lain:
Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dalam golongan kaum itu. Di samping, bahwa merayakan tahun baru pada umumnya bernuansa maksiat yang jelas-jelas dilarang.
Tetapi ada juga yang menganggap boleh-boleh saja merayakan tahun baru
Masehi selama tidak diniatkan mengikuti ritual agama lain, dan selama
diisi dengan kegiatan positif. Apakah kalau sekolah-sekolah Islam libur
pada Hari Natal, Hari Nyepi, dan Hari Waisak, misalnya, berarti mereka
mengikuti ritual agama lain? Apakah ketika sekolah atau lembaga-lembaga
keislaman libur pada setiap hari Sabtu dan Ahad –yang merupakan “hari
raya” agama tertentu– berarti mereka mengikuti ritual agama itu? Tidak
serta merta.
Akan lebih boleh lagi kalau bentuk memperingatinya itu dilakukan dengan berzikir, berdoa, muhâsabah
(menghitung-hitung keburukan dan kebaikan kita sebelum nanti dihitung
oleh malaikat), dan kegiatan positif lainnya. Sendiri-sendiri maupun
bersama-sama. Tradisi yang dilakukan oleh Republika dengan
Dzikir Nasional-nya setiap malam tahun baru, hemat saya, dapat dianggap
sebagai salah satu bentuk positif dalam merayakan tahun baru.
Melakukan zikir, berdoa, dan ber-muhâsabah, paling tidak
kita temukan pijakannya dalam hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh
Imam at-Tirmidzi dan ad-Dârimi. Dalam hadits itu disebutkan bahwa ketika
melihat bulan sabit sebagai tanda masuknya bulan baru dalam Kalender
Islam, Rasulullah saw. mengucapkan doa berikut: Allâhu Akbar.
Allâhumma ahillahu ‘alaynâ bi al-amni wa al-îmân wa as-salâmati wa
al-islâmi wa at-taufîqi limâ yuhibbu rabbunâ wa yardhâ. Rabunâ wa
rabbukalâhu. Artinya: “Allah Maha Besar. Ya Allah, tampakkan
hilal (bulan tanggal satu) itu kepada kami dengan membawa keamanan,
keimanan, keselamatan, keislaman, dan taufik untuk menjalankan apa yang
Engkau cintai dan Engkau ridhai. Tuhanku dan Tuhanmu (wahai bulan sabit)
adalah Allah.”
Demikian, wallahu a’lam.
[Muhammad Arifin, Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur'an ]
Source : alifmagz.com
0 Comment:
Post a Comment