Wednesday, December 25, 2013

Pandangan Islam Mengenai Perayaan Tahun Baru Masehi


Tradisi merayakan tahun baru Masehi seperti yang berkembang saat ini –yang antara lain ditandai dengan meniup terompet, terutama pada detik-detik pergantian tahun– besar kemungkinan berasal dari tradisi Yahudi. Orang Yahudi, ketika merayakan tahun baru mereka yang dimulai pada tanggal 1 bulan Tishri dalam Kalender Ibrani, merayakannya dengan meniup terompet, di samping bentuk perayaan lainnya. Meniup terompet merupakan fenomena paling menonjol dalam perayaan pergantian tahun orang Yahudi.

Bukan cuma itu. Bagi orang Yahudi, meniup terompet pada tahun baru juga merupakan perintah Tuhan kepada Nabi Musa untuk menyambut datangnya tahun baru mereka. Dengan kata lain, meniup terompet adalah salah satu bentuk ibadah mereka. Di dalam Kitab Suci Yahudi disebutkan demikian: Katakanlah kepada orang Israel, begini: “Dalam bulan yang ketujuh, pada tanggal satu bulan itu, kamu harus mengadakan hari perhentian penuh yang diperingati dengan meniup sangkakala, yakni hari pertemuan kudus.” (Torat, Imamat 23: 24). “Pada bulan yang ketujuh, pada tanggal satu bulan itu, haruslah kamu mengadakan pertemuan yang kudus, maka tidak boleh kamu melakukan sesuatu pekerjaan berat; itulah hari peniupan sangkakala bagimu.” (Torat, Bilangan 29: 1).

Atas dasar itu, ada ulama yang mengharamkan perayaan tahun baru Masehi dengan alasan mengikuti ibadah atau ritual non-Muslim. (Di Arab Saudi terdapat fatwa resmi yang mengharamkan perayaan malam tahun baru. Syaikh Yusuf al-Qaradhawi dari Mesir juga berpendapat perayaan malam tahun baru haram). Apalagi kalau perayaan tahun baru itu diisi dengan maksiat seperti pesta minuman keras, pesta seks, dan lain-lain. Yang begini ini jelas terlarang. (Penjualan kondom menjelang akhir tahun sering sekali diberitakan melonjak. Selain itu, seusai perayaan tahun baru 2012 yang baru lalu, di sekitar kawasan Puncak banyak ditemukan sampah kondom!).

Dalil mereka yang mengharamkan, antara lain, adalah hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, al-Bayhaqi, dan lain-lain: Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dalam golongan kaum itu. Di samping, bahwa merayakan tahun baru pada umumnya bernuansa maksiat yang jelas-jelas dilarang.

Tetapi ada juga yang menganggap boleh-boleh saja merayakan tahun baru Masehi selama tidak diniatkan mengikuti ritual agama lain, dan selama diisi dengan kegiatan positif. Apakah kalau sekolah-sekolah Islam libur pada Hari Natal, Hari Nyepi, dan Hari Waisak, misalnya, berarti mereka mengikuti ritual agama lain? Apakah ketika sekolah atau lembaga-lembaga keislaman libur pada setiap hari Sabtu dan Ahad –yang merupakan “hari raya” agama tertentu– berarti mereka mengikuti ritual agama itu? Tidak serta merta.

Akan lebih boleh lagi kalau bentuk memperingatinya itu dilakukan dengan berzikir, berdoa, muhâsabah (menghitung-hitung keburukan dan kebaikan kita sebelum nanti dihitung oleh malaikat), dan kegiatan positif lainnya. Sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Tradisi yang dilakukan oleh Republika dengan Dzikir Nasional-nya setiap malam tahun baru, hemat saya, dapat dianggap sebagai salah satu bentuk positif dalam merayakan tahun baru.

Melakukan zikir, berdoa, dan ber-muhâsabah, paling tidak kita temukan pijakannya dalam hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dan ad-Dârimi. Dalam hadits itu disebutkan bahwa ketika melihat bulan sabit sebagai tanda masuknya bulan baru dalam Kalender Islam, Rasulullah saw. mengucapkan doa berikut: Allâhu Akbar. Allâhumma ahillahu ‘alaynâ bi al-amni wa al-îmân wa as-salâmati wa al-islâmi wa at-taufîqi limâ yuhibbu rabbunâ wa yardhâ. Rabunâ wa rabbukalâhu. Artinya: “Allah Maha Besar. Ya Allah, tampakkan hilal (bulan tanggal satu) itu kepada kami dengan membawa keamanan, keimanan, keselamatan, keislaman, dan taufik untuk menjalankan apa yang Engkau cintai dan Engkau ridhai. Tuhanku dan Tuhanmu (wahai bulan sabit) adalah Allah.
Demikian, wallahu a’lam.
[Muhammad Arifin, Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur'an ]

Source : alifmagz.com

0 Comment:

Post a Comment