Darul Ma'arif Asry

Amin.....Al-Fatihah..!

The Power of Affirmation

Imagine, Plan, and Action !!!

ANGKASA

Angkatan Sembilan Al-Ikhlas

IQTK 2013

Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Khusus Angkatan 2013

Islami is NOT classic

Islami = Modern Civilization based on Classic Civilizatin

Mohon Maaf Atas Segala Ketidaksempurnaan Blog ini

Dalam Proses Penyempurnaan....

Wednesday, December 25, 2013

Hukum Memandang Lawan Jenis


Sepanjang yang saya ketahui, tidak ada hadits yang menyatakan bahwa “pandangan pertama adalah nikmat dan pandangan kedua adalah laknat”. Hadits yang populer adalah sabda Nabi saw. yang ditujukan kepada ‘Ali bin Abî Thâlib, “Janganlah mengikutikan pandangan dengan pandangan, karena pandangan pertama ditoleransi bagimu, dan tidak untuk selainnya” (HR. Abû Dâwûd, Ahmad, dan at-Tirmidzî melalui Buraidah).
 
Allah swt. menciptakan manusia dan menghiasinya dengan naluri, antara lain senang kepada lawan jenisnya. Di sisi lain, manusia tidak mungkin dapat hidup sendirian dan tidak mungkin juga memisahkan secara mutlak antara wanita dan pria atau menjauhkan mereka dari yang lain sehingga menjadikan lelaki tidak dapat melihat perempuan atau sebaliknya. Pada zaman Nabi saw. pun, wanita pergi ke luar rumah dan ke pasar, bahkan terlibat dalam peperangan, melayani yang sakit atau yang luka. Oleh karena itu, tidak mungkin ada larangan bagi lelaki memandang perempuan atau sebaliknya. Inilah yang dimaksud dengan pandangan pertama. Adapun pandangan kedua, ulama-ulama berbeda pendapat dalam perinciannya. Mereka bersepakat bahwa kalau pandangan kedua itu adalah pandangan berahi, ia terlarang dan haram. Pandangan kedua semacam ini dinamai “pengantar surat zina”.

Nabi saw. pada musim haji memutar leher putra paman beliau, al-Fadhl Ibnu al-‘Abbâs, karena beliau melihat pemuda itu memandang dengan lama seorang wanita cantik. Ketika ditanya mengapa memutar lehernya, beliau menjawab, “Saya melihat seorang pemuda dan pemudi, saya khawatir setan memperdaya keduanya.” Akan tetapi, bagaimana kalau pandangan kedua atau ketiga dan seterusnya itu tidak disertai dengan syahwat atau tidak dikhawatirkan adanya rangsangan berahi? Menurut hemat saya, itu boleh-boleh saja.

Memandang kepada lawan jenis dalam konteks upaya mengenalnya dengan tujuan kawin, dibenarkan bahkan dianjurkan agama. Bahkan, bercakap-cakap dengan bahasa dan bahasan terhormat, apalagi bila disertai dengan pagar-pagar budaya dan susila yang menjamin tidak terjadinya hal-hal yang melanggar kesopanan juga dapat dibenarkan. “Lihatlah wanita yang hendak kau kawini! Yang demikian itu, lebih menjamin langgengnya perkawinan.” Demikian sabda Nabi saw. yang memerintahkan seorang pria yang bermaksud kawin sebelum melihat calon istrinya.

[M. Quraish Shihab - Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur'an

Source : alifmagz.com

Halalkah Darah Orang yang Menghina Nabi ?


Kita singgung dulu sedikit di sini beberapa hal mengenai penghinan terhadap Islam maupun Nabi Muhammad saw. Sejak awal kedatangannya, Islam sudah banyak dihina orang. Rasul pun demikian. Bahkan bukan hanya Nabi Muhammad saw., nabi-nabi sebelumnya pun banyak sekali yang mengalami penghinaan dan penolakan dari kaumnya. Tidak sedikit pula di antara mereka yang dibunuh oleh kaumnya sendiri. Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan) mereka, tetapi Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir membencinya. Demikian firman Allah dalam QS. ash-Shaff (61): 8.

Di satu sisi, harus kita akui bahwa penghinaan terhadap Islam, Rasulullah saw., maupun terhadap Allah yang terjadi belakangan ini, terutama di dunia maya, tidak jarang disebabkan secara tidak langsung oleh perilaku sebagian umat Islam sendiri. Katakan, misalnya, mereka yang meledakkan bom di hotel-hotel, tempat-tempat wisata, atau tempat-tempat ibadah dengan mengatasnamakan jihad. Katakan pula, misalnya lagi, mereka yang hidup kotor, tidak disiplin, dan malas bekerja, padahal Islam mengajarkan kebersihan, hidup teratur, dan etos kerja yang tinggi. Atau mereka yang ber-KTP Islam tetapi suka melakukan korupsi atau memakan harta orang lain secara tidak benar. Dan masih banyak lagi contoh lain. Di sisi ini, adalah tugas umat untuk terus belajar menyikapi kenyataan kekinian dengan arif, bijak, damai, toleran, dan keteguhan hati.

Di sisi lain, penghinaan itu juga sering kali disebabkan oleh ketidaktahuan pihak-pihak yang melancarkannya. Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a. pernah berkata, “Manusia adalah musuh bagi apa yang mereka tidak tahu.” (An-nâs a‘dâ’u mâ jahilû). Karena tidak tahu, maka mereka lalu memusuhi Islam. Di sini, kita perlu terus memberi informasi yang benar dan mencerahkan mengenai Islam kepada mereka.

Di sisi ketiga, penghinaan itu juga terkadang dilakukan dengan motif kebencian. Mereka tidak ingin agama Allah –bukan hanya Islam, melainkan juga ajaran-ajaran yang diturunkan Allah sebelum Islam– tegak di muka bumi. Mereka ingin merekalah yang mengatur dunia ini, bukan agama. Mereka itulah yang diisyaratkan oleh ayat yang saya kutip di atas.

Terhadap mereka yang menghina agama Allah, atau mereka yang menyembah selain Allah, kita tidak perlu membalasnya dengan balik menghina mereka atau menghina tuhan-tuhan mereka. Dalam al-Qur’an Allah berfirman: Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan (Q.S. al-An‘âm [6]: 108).

Dalam realitas sejarah, ketika dimaki dan dihina oleh orang-orang Thaif, Rasulullah saw. justru berdoa memohon kepada Allah untuk menunjukkan mereka ke jalan yang benar. Dan terbukti, dari anak-anak keturunan orang-orang Thaif itu kelak justru lahir orang-orang yang membela agama Islam.

Kemudian, mengenai kehalalan darah orang yang menghina Nabi saw., memang banyak ulama yang mengatakan demikian. Pada umumnya mereka berdalil pada sebuah riwayat bahwa seseorang memiliki istri yang kemudian menghina Nabi saw. Dia lalu mengambil pedang dan meletakkannya di atas perut istrinya dan kemudian membunuhnya. Keesokan paginya, ia menceritakan hal itu kepada Rasulullah saw., dan Rasul saw. kemudian berkata, “Saksikanlah bahwa darah perempuan itu halal.” (Riwayat ini dapat kita temukan di dalam Sunan Abî Dâwûd [nomor 4361], Sunan an-Nasâ’î [vol. 7, hlm 107], dan al-Hakim [vol. 4, hlm 354]). Pakar hadis Ibn Hajar mengomentari riwayat itu, “Perawi-perawinya tsiqât,” yakni dapat dipercaya.

Syaikh al-Islâm Ibn Taimiyah (661–728 H/1263–1328 M) dalam buku ash-Shârim al-Maslûl ‘alâ Syâtimi ar-Ras‎ûl (Pedang Terhunus bagi Penghina Rasul) –buku yang sering dirujuk dalam hal ini– termasuk yang berpandangan demikian. Tetapi dalam pelaksanaannya, kata dia, tidak semua orang dengan bebas dapat membunuh setiap menemukan orang yang menghina Rasul saw. Pelaksanaan ketentuan hukum itu harus dilakukan oleh pemimpin atau penguasa. Tidak sembarang orang. Sebab, kalau setiap orang boleh membunuh pelaku penghinaan, tentu yang terjadi adalah kekacauan. Itu satu.

Kedua, kembali ke perihal ketidaktahuan mereka. Jika si pelaku penghinaan melakukan hal itu karena memang info yang mereka terima selama ini tentang Nabi adalah info yang salah dan sudah mengalami distorsi, tentu tidak serta merta bisa dibunuh. Justru menjadi tantangan dan kewajiban kita untuk memberi informasi yang benar. Beberapa lembaga seperti Al-Azhar di Mesir sudah sering melakukan upaya untuk menyebarkan informasi yang benar mengenai Islam dan Nabi Muhammad saw., baik dengan mengirim dai-dai yang memiliki wawasan bahasa dan kebudayaan Eropa, melalui buku-buku yang dibagikan secara cuma-cuma, maupun melalui situs-situs web. Sejumlah lembaga keislaman di Timur Tengah yang lain juga banyak yang menyajikan infomasi keislaman berbahasa Inggris untuk konsumsi orang Barat. Syaikh Yusuf Qaradhawi dalam beberapa kali pernyataannya justru mengajak negara-negara Muslim untuk mendorong badan internasional seperti PBB untuk mengeluarkan ketentuan terkait hal ini. Ini saya kira langkah-langkah yang lebih strategis ketimbang seruan membunuh.

Jika kita marah dan tersinggung dengan penghinaan Nabi yang dilakukan sebagian orang Barat, itu mudah-mudahan merupakan salah satu tanda keimanan kita. Artinya, keimanan dan kecintaan yang ada dalam diri kita mendorong kita untuk membela Rasul saw. Tetapi jika kemarahan itu kita wujudkan dalam bentuk demo dengan merusak aset-aset yang tidak berhubungan langsung dengan si pelaku, apalagi sampai membunuh orang-orang yang sebenarnya tidak bersalah, itu saya kira bukan tindakan yang bijak.

Demikian, wallahu a’lam.

[M. Arifin - Dewan Pakar Pusat Studi Al-Qur'an]

Source : alifmagz.com

Syiat Sesat ?


Kata “syi’ah” berasal dari kata bahasa Arab syî‘ah (شِيعَة) yang mengandung arti ‘kelompok orang’ atau ‘golongan’. Bentuk jamaknya adalah syiya‘ (شِيَع). Di dalam al-Qur’an kita menemukan kata syiya‘ (شِيَع) ini antara lain pada surah al-An‘âm [6] ayat 159, surah al-Qashash [28] ayat 4, dan surah ar-Rûm [30] ayat 32, yang kesemuanya berarti ‘kelompok-kelompok’ atau ‘golongan-golongan’. Pada perkembangannya, kata itu kemudian digunakan untuk menunjuk orang-orang pengikut Ali bin Abi Thalib ra., khalifah keempat dari khulafa’ rasyidin dan menantu Rasulullah saw., dan keluarganya atau keturunannya.

Syi’ah pertama-tama muncul dalam bentuk adanya kecenderungan atau keinginan beberapa orang kepada Ali bin Abi Thalib ra. dan berharap agar beliau menjadi khalifah setelah wafatnya Rasulullah saw. Kecenderungan itu ada pada diri sebagian orang dari Banû Hâsyim (anak keturunan Hâsyim bin ‘Abdi Manaf, kakek Nabi Muhammad saw.) dan sejumlah sahabat Nabi saw. seperti Al-Miqdâd ibn al-Aswad, Salmân al-Fârisiy, dan Abû Dzarr al-Ghiffâriy.

Satu hal mendasar yang membedakan Syi’ah dari bukan saja Sunni tetapi juga kelompok-kelompok Islam yang lain adalah bahwa kecenderungan kepada Ali bin Abi Thalib itu membuat mereka mengatakan bahwa Ali ra. lebih baik dan lebih berhak menjadi khalifah dibandingkan dengan Abu Bakar, Umar, dan Utsman –ridhwânullâh ‘alayhim. Bahkan, menurut kelompok Syi’ah, penetapan Ali ra. (dan keturunannya) sebagai khalifah penerus Nabi saw. itu telah ditentukan oleh teks al-Qur’an, alias melalui wahyu Ilahi. Sementara, semua kelompok Islam yang lain sepakat bahwa penentuan seorang khalifah atau imam setelah Nabi saw. adalah melalui musyawarah, atau pemilihan, atau baiat dari umat atau wakil-wakil umat.

Persoalan imâmah (kepemimpinan umat setelah Rasul saw. wafat) oleh Syi’ah dianalogikan dengan nubuwwah (kenabian). Artinya, sebagaimana Nabi saw. merupakan manusia pilihan Tuhan, begitu juga seorang imam atau khalifah. Jadi, menurut Syi’ah, penentuan pemimpin melalui pemilihan atau musyawarah atau baiat adalah tidak benar. Oleh karena itu, menurut Syi’ah, kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dan Utsman –radhiyallâhu ‘anhum– adalah tidak sah.

Sebenarnya, dengan meneliti literatur-literatur yang membahas tentang konsep imâmah, terutama literatur-literatur Syi’ah sendiri, kita tidak menemukan pembahasan bahkan sekadar indikasi mengenai konsep ini. Konsep imâmah yang menjadi bagian dari ranah akidah menurut Syi’ah ini baru muncul pada masa imam Syi’ah yang keenam, yaitu Ash-Shâdiq Abû Abdillâh Ja‘far bin Muhammad (80-148 H/ 699-765 M). Bukan pada masa awal kemunculan Syi’ah, apalagi pada masa turunnya wahyu ketika Nabi saw. masih hidup.

Hal ini –yakni munculnya konsep imâmah melalui wahyu yang terjadi belakangan, bukan pada masa-masa awal kekhalifahan– didukung kuat oleh fakta sejarah. Setelah wafatnya Nabi saw., seperti maklum diketahui, terjadi sedikit perbedaan di antara umat Islam mengenai siapa yang bakal menggantikan Nabi saw. sebagai pemimpin umat. Tetapi, tidak seorang pun di antara orang-orang yang berbeda pendapat itu yang menyebut atau bahkan sekadar mengindikasikan adanya wahyu (nashsh, teks al-Qur’an maupun Hadis) yang menentukan siapa pengganti Nabi. Memang, Ali bin Abi Thalib ra. terlambat menyatakan baiatnya kepada Abu Bakar ra. Ali baru membaiat (menyatakan kesetiaan kepada) Abu Bakar ra. beberapa bulan kemudian. Tetapi tidak ditemukan riwayat yang bersumber dari Ali ra. ketika itu yang menyebutkan adanya alasan wahyu yang menentukan beliau sebagai khalifah penerus Nabi saw. sehingga beliau telat membaiat Abu Bakar. Apalagi, pada masa-masa berikutnya, Ali bersama umat Islam yang lain ikut membaiat Umar ra. dan Utsman ra. sebagai khalifah setelah Abu Bakar ra., tanpa pernah menyebut bahwa dirinya lebih berhak.

Ketika beliau dibaiat menjadi khalifah penerus Utsman bin Affan ra. pun, beliau menerima baiat itu. Seandainya benar klaim kelompok Syi’ah bahwa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib (dan keturunannya) setelah Nabi saw. telah ditetapkan melalui wahyu Ilahi, tentu ketika itu Ali akan mengatakan, “Aku tidak perlu dibaiat, karena sudah ada wahyu yang menetapkan aku sebagai khalifah.” Tetapi tidak pernah ditemukan riwayat bahwa Ali mengucapkan kata-kata itu. Sebaliknya, beliau bahkan menerima baiat umat Islam ketika itu. Bahkan, di dalam buku Nahj al-Balâghah yang merupakan kumpulan ucapan-ucapan Ali bin Abi Thalib ra. juga tidak kita temukan ucapan atau indikasi mengenai penentuan kepemimpinan beliau melalui wahyu.

Dalam perkembangan berikutnya, Syi’ah tumbuh menjadi beberapa sekte. Ada yang moderat, ada juga yang kelewat batas. Syi’ah Dua Belas (atau Asy-Syî‘ah al-Itsnâ ‘Asyariyyah) –sekte yang paling banyak dianut oleh Syi’ah kontemporer– mengatakan bahwa Ali ra. telah mewasiatkan kepemimpinan umat dari dirinya kepada putranya, yaitu Hasan. Hasan, pada gilirannya, mewasiatkannya kepada adiknya, Husain. Dan begitu seterusnya kepada anak-anak Ali dari perkawinannya dengan Fatimah binti Muhammad saw., hingga mencapai imam yang ke-12. Karena itulah sekte ini disebut Syi’ah Dua Belas, yakni dua belas imam.

Ada juga Syi’ah Zaidiyah, yakni pengikut Zaid bin Ali bin Husain (79 – 122 H/ 698 – 740 M). Sekte ini dinilai sebagai sekte Syi’ah yang paling moderat dan mendekati paham Ahlusunnah. Menurut mereka, konsep wahyu mengenai imâmah sebagai bagian dari akidah bukan tertuju kepada diri pribadi seorang imam, tetapi lebih kepada sifat-sifat seorang imam, siapa pun orangnya. Itu pun hanya terbatas pada tiga imam, yaitu Ali bin Abi Thalib dan kedua putranya. Begitu saya kira sedikit informasi yang bersumber dari Mawsû‘ah al-Mafâhîm al-Islâmiyyah terbitan Majelis Tinggi Urusan Agama Islam Kementerian Wakaf Mesir, mengenai Syi’ah.

Apakah mereka sesat? Seperti kita sebut di atas, di antara kelompok Syi’ah ada yang moderat dan ada juga yang melampaui batas. Yang melampaui batas, di mana letak melampaui batasnya? Itu, antara lain, ditunjukkan pada sikap mencela bahkan sebagian menganggap sesat sahabat-sahabat Nabi saw. bahwa istri Nabi saw., Aisyah binti Abu Bakar ra., yang memiliki kedudukan sangat tinggi sebagai umm al-mu’minîn (ibunda orang-orang mukmin). Yang melampaui batas ini tentu saja dianggap sesat.
 Demikian, wallahu a’lam.
 
[M Arifin - Dewan Pakar Pusat Studi Al-Qur'an]
 
Source : alifmagz.com

Bolehkah Mengucapkan Selamat Natal ?


Ada hadits—antara lain diriwayatkan oleh Imam Muslim—yang melarang seorang Muslim memulai mengucapkan salam kepada orang Yahudi dan Nasrani. Hadits tersebut menyatakan, “Janganlah memulai salam kepada orang Yahudi dan Nasrani. Jika kamu bertemu mereka di jalan, jadikanlah mereka terpaksa ke pinggir.”

Ulama berbeda paham tentang makna larangan tersebut. Dalam buku Subul as-Salâm karya Muhammad bin Isma’îl al-Kahlani (jil. IV, hlm. 155) antara lain dikemukakan bahwa sebagian ulama bermazhab Syâfi‘î tidak memahami larangan tersebut dalam arti haram, sehingga mereka membolehkan menyapa non-Muslim dengan ucapan salam. Pendapat ini merupakan juga pendapat sahabat Nabi, Ibnu ‘Abbâs. Qadhi ‘Iyadh dan sekelompok ulama lain membolehkan mengucapkan salam kepada mereka kalau ada kebutuhan. Pendapat ini dianut juga oleh ‘Alqamah dan al-Auza‘i.

Penulis cenderung menyetujui pendapat yang membolehkan itu, karena agaknya larangan tersebut timbul dari sikap bermusuhan orang-orang Yahudi dan Nasrani ketika itu kepada kaum Muslim. Bahkan dalam riwayat Bukhârî dijelaskan tentang sahabat Nabi, Ibnu ‘Umar, yang menyampaikan sabda Nabi bahwa orang Yahudi bila mengucapkan salam terhadap Muslim tidak berkata, “Assalâmu‘alaikum,” tetapi “Assâmu‘alaikum,” yang berarti “Kematian atau kecelakaan untuk Anda”.

Nah, jika demikian, wajarlah apabila Nabi melarang memulai salam untuk mereka dan menganjurkan untuk menjawab salam mereka dengan “‘Alaikum,” sehingga jika yang mereka maksud dengan ucapan itu adalah kecelakaan atau kematian, maka jawaban yang mereka terima adalah “Bagi Andalah (kecelakaan itu).”

Mengucapkan “Selamat Natal” masalahnya berbeda. Dalam masyarakat kita, banyak ulama yang melarang, tetapi tidak sedikit juga yang membenarkan dengan beberapa catatan khusus.
Sebenarnya, dalam al-Qur’an ada ucapan selamat atas kelahiran ‘Îsâ: Salam sejahtera (semoga) dilimpahkan kepadaku pada hari kelahiranku, hari aku wafat, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali. (QS. Maryam [19]: 33). Surah ini mengabadikan dan merestui ucapan selamat Natal pertama yang diucapkan oleh Nabi mulia itu. Akan tetapi persoalan ini jika dikaitkan dengan hukum agama tidak semudah yang diduga banyak orang, karena hukum agama tidak terlepas dari konteks, kondisi, situasi, dan pelaku.

Yang melarang ucapan “Selamat Natal” mengaitkan ucapan itu dengan kesan yang ditimbulkannya, serta makna populernya, yakni pengakuan Ketuhanan Yesus Kristus. Makna ini jelas bertentangan dengan akidah Islamiah, sehingga ucapan “Selamat Natal” paling tidak dapat menimbulkan kerancuan dan kekaburan.

Teks keagamaan Islam yang berkaitan dengan akidah sangat jelas. Itu semua untuk menghindari kerancuan dan kesalahpahaman. Bahkan al-Qur’an tidak menggunakan satu kata yang mungkin dapat menimbulkan kesalahpahaman, sampai dapat terjamin bahwa kata atau kalimat itu tidak disalahpahami. Kata “Allah”, misalnya, tidak digunakan ketika pengertian semantiknya di kalangan masyarakat belum sesuai dengan yang dikehendaki Islam. Kata yang digunakan sebagai ganti kata Allah ketika itu adalah Rabbuka (Tuhanmu, hai Muhammad). Demikian wahyu pertama hingga surah al-Ikhlâs.

Nabi sering menguji pemahaman umat tentang Tuhan. Beliau tidak sekali pun bertanya, “Di mana Tuhan?” Tertolak riwayat yang menggunakan redaksi seperti itu, karena ia menimbulkan kesan keberadaan Tuhan di satu tempat—suatu hal yang mustahil bagi-Nya dan mustahil pula diucapkan Nabi. Dengan alasan serupa, para ulama bangsa kita enggan menggunakan kata “ada” bagi Tuhan tetapi “wujud Tuhan”.

Ucapan selamat atas kelahiran ‘Îsâ (Natal), manusia agung lagi suci itu, memang ada di dalam al-Qur’an, tetapi kini perayaannya dikaitkan dengan ajaran agama Kristen yang keyakinannya terhadap ‘Îsâ al-Masîh berbeda dengan pandangan Islam. Nah, mengucapkan “Selamat Natal” atau menghadiri perayaannya dapat menimbulkan kesalahpahaman dan dapat mengantarkan kita kepada pengaburan akidah. Ini dapat dipahami sebagai pengakuan akan ketuhanan al-Masîh, satu keyakinan yang secara mutlak bertentangan dengan akidah Islam. Dengan alasan ini, lahirlah larangan dan fatwa haram untuk mengucapkan “Selamat Natal”, sampai-sampai ada yang beranggapan jangankan ucapan selamat, aktivitas apa pun yang berkaitan atau membantu terlaksananya upacara Natal tidak dibenarkan.

Di pihak lain, ada juga pandangan yang membolehkan ucapan “Selamat Natal”. Ketika mengabadikan ucapan selamat itu, al-Qur’an mengaitkannya dengan ucapan ‘Îsâ, “Sesungguhnya aku ini, hamba Allah. Dia memberiku al-Kitab dan Dia menjadikan aku seorang Nabi” (QS. Maryam [19]: 30).

Nah, salahkah bila ucapan “Selamat Natal” dibarengi dengan keyakinan itu? Bukankah al-Qur’an telah memberi contoh? Bukankah ada juga salam yang tertuju kepada Nûh, Ibrâhîm, Mûsâ, Hârûn, keluarga Ilyas, serta para nabi lain? Bukankah setiap Muslim wajib percaya kepada seluruh nabi sebagai hamba dan utusan Allah? Apa salahnya kita mohonkan curahan shalawat dan salam untuk ‘Îsâ as., sebagaimana kita mohonkan untuk seluruh nabi dan rasul? Tidak bolehkah kita merayakan hari lahir (natal) ‘Îsâ as.? Bukankah Nabi saw. juga merayakan hari keselamatan Mûsâ dari gangguan Fir‘aun dengan berpuasa ‘Âsyûra’, sambil bersabda kepada orang-orang Yahudi yang sedang berpuasa, seperti sabdanya, “Saya lebih wajar menyangkut Mûsâ (merayakan/mensyukuri keselamatannya) daripada kalian (orang-orang Yahudi),” maka Nabi pun berpuasa dan memerintahkan (umatnya) untuk berpuasa (HR. Bukhârî, Muslim, dan Abû Dâwûd, melalui Ibnu ‘Abbâs—lihat Majma’ al-Fawâ’id, hadits ke-2.981).

Bukankah “Para nabi,” sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw., “bersaudara, hanya ibunya yang berbeda?” Bukankah seluruh umat bersaudara? Apa salahnya kita bergembira dan menyambut kegembiraan saudara kita dalam batas-batas kemampuan kita, atau batas yang digariskan oleh anutan kita? Kalau demikian halnya, apa salahnya mengucapkan “Selamat Natal” selama akidah masih dapat dipelihara dan selama ucapan itu sejalan dengan apa yang dimaksud oleh al- Qur’an sendiri yang telah mengabadikan “Selamat Natal” itu?
Itulah, antara lain, alasan yang membenarkan seorang Muslim mengucapkan selamat atau menghadiri upacara Natal yang bukan ritual.

Seperti terlihat, larangan muncul dalam rangka upaya memelihara akidah, karena kekhawatiran kerancuan pemahaman. Oleh karena itu, agaknya larangan tersebut lebih banyak ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan kabur akidahnya. Nah, kalau demikian, jika seseorang ketika mengucapkannya tetap murni akidahnya atau mengucapkannya sesuai dengan kandungan “Selamat Natal” yang Qur’ani, kemudian mempertimbangkan kondisi dan situasi di mana ia diucapkan—sehingga tidak menimbulkan kerancuan akidah bagi dirinya dan Muslim yang lain—maka agaknya tidak beralasanlah larangan itu. Adakah yang berwewenang melarang seseorang membaca atau mengucapkan dan menghayati satu ayat al-Qur’an?

Dalam rangka interaksi sosial dan keharmonisan hubungan, al- Qur’an dan hadits Nabi memperkenalkan satu bentuk redaksi, di mana lawan bicara memahaminya sesuai dengan persepsinya, tetapi bukan seperti yang dimaksud oleh pengucapnya, karena si pengucap sendiri mengucapkan dan memahami redaksi itu sesuai dengan pandangan dan persepsinya pula.

Sahabat Nabi, Anas bin Mâlik, menyampaikan bahwa seorang anak Abû Thalhah sedang sakit ketika Abû Thalhah harus keluar rumah. Saat kepergiannya itu, sang anak meninggal dunia. Ketika Abû Thalhah kembali dia bertanya kepada istrinya tentang keadaan sang anak. Istrinya (yang rupanya enggan kepada suaminya dengan berita sedih yang sifatnya dadakan) menjawab, “Dia dalam keadaan yang setenang-tenangnya.”

Tenteramlah hati suami mendengar hal itu, karena dia menduga bahwa anaknya sedang tidur nyenyak, padahal ketenangan yang dimaksud sang ibu adalah kematian. Bukankah kematian bagi seorang anak yang sakit merupakan ketenangan? Ketika Abû Thalhah mengetahui keadaan sebenarnya, dia melaporkan kepada Nabi saw. Beliau bertanya, “Apakah semalam kalian berhubungan seks?”

Pertanyaan ini diiyakan oleh Abû Thalhah. Nabi pun lalu mendoakan suami-istri itu. Begitu diriwayatkan oleh Bukhârî dan Muslim (lihat Riyâdh ash-Shâlihîn karya an-Nawâwî, hadits ke-44). Terlihat di atas, bagaimana Nabi membenarkan atau tidak menegur istri Abû Thalhah yang menggunakan istilah yang dipahami berbeda oleh pembicara dan mitranya.

Al-Qur’an juga memperkenalkan yang demikian. Salah satu contohnya adalah dalam QS. Saba’ [34]: 25, Kamu tidak akan diminta mempertanggungjawabkan “dosa besar” yang telah kamu perbuat. Kami pun tidak mempertanggungjawabkan “apa yang kamu lakukan”. Dalam redaksi ini, “dosa besar”dipahami sebagaimana apa adanya oleh lawan bicara, tetapi yang dimaksud oleh pembicara adalah kekeliruan-kekeliruan kecil. Sedangkan “apa yang kamu lakukan” dipahami juga oleh lawan bicara dengan “dosa-dosa kecil”, tetapi maksudnya oleh pembicara adalah kekufuran, kedurhakaan, dan dosa-dosa besar.

Demikian pandangan pakar tafsir az-Zamakhsyari dan dikutip oleh al-Qasimi. Di sini, kalaupun non-Muslim memahami ucapan “Selamat Natal” sesuai dengan keyakinannya, maka biarlah demikian, karena Muslim yang memahami akidahnya mengucapkannya sesuai dengan penggarisan keyakinannya.

Tidak keliru, dalam kacamata ini, fatwa dan larangan mengucapkan “Selamat Natal”, bila larangan itu ditujukan kepada yang dikhawatirkan ternodai akidahnya. Akan tetapi, tidak juga salah yang membolehkannya selama pengucapnya arif bijaksana dan tetap terpelihara akidahnya, lebih-lebih jika hal tersebut merupakan tuntunan keharmonisan hubungan.

Boleh jadi, pendapat ini dapat didukung dengan menganalogikannya dengan pendapat yang dikemukakan oleh beberapa ulama yang menyatakan bahwa seorang Nasrani bila menyembelih binatang halal atas nama al-Masîh, maka sembelihan tersebut boleh dimakan Muslim, baik penyebutan tersebut diartikan sebagai permohonan shalawat dan salam untuk beliau maupun dengan arti apa pun. Demikian dikutip al- Biqâ‘i dalam tafsirnya ketika menjelaskan QS. al-An‘âm [6]: 121, dari kitab ar-Raudhah.
Memang, kearifan dibutuhkan dalam rangka interaksi sosial. Demikian, wallâhu a‘lam.

[M. Quraish Shihab - Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur'an

Source : alifmagz.com

Pandangan Islam Mengenai Hari Ibu


Dari sudut pandang Hari Ibu sebagai hari raya yang diciptakan masyarakat Barat, yang dilatarbelakangi oleh budaya dan kondisi masyarakat Barat yang berbeda dengan latar belakang budaya dan kondisi masyarakat Muslim di Timur, di mana di sana anak sudah melupakan bahkan tidak jarang menelantarkan ibunya, banyak ulama yang berpendapat bahwa memperingati Hari Ibu sama dengan meniru-niru atau menyerupai kebiasaan masyarakat lain, alias tasyabbuh. Syaikh Yusuf al-Qaradhawi, misalnya, mengatakan bahwa kita tidak perlu memperingati hari raya seperti itu. Menurut Qardhawi, bagi kita, umat Islam, “Hari Ibu” bahkan terjadi setiap saat. Dalam budaya masyarakat Muslim, setiap kali seorang anak keluar rumah selalu mencium tangan ibunya dan meminta didoakan. Nabi saw. mengajarkan bahwa kedudukan ibu begitu tinggi yang harus selalu dihormati.
Tetapi, tidak sedikit pula ulama yang membolehkan memperingati Hari Ibu dengan syarat bahwa penghormatan kita terhadap ibu tidak hanya kita batasi pada hari itu saja, juga tanpa harus menganggap hari itu sebagai sebuah hari raya (karena hari raya dalam Islam hanya dua: Idul Fitri dan Idul Adha), dan juga tanpa ada unsur meniru-niru kebiasaan masyarakat non-Muslim di Barat yang terlarang (misalnya: meminum minuman keras, dan lain-lain). Pendapat seperti ini antara lain dianut oleh Syaikh Faishal Maulawi, salah seorang ulama Muslim di Eropa.
Menurut dia, persoalan memperingati Hari Ibu terletak pada dua hal. Pertama, menjadikan hari itu sebagai hari raya dalam pengertian syariat Islam dan, kedua, mengkhususkan penghormatan dan pengabdian kepada ibu hanya pada hari itu saja. Maka, lanjutnya, jika kedua hal tersebut tidak ada, memperingati Hari Ibu boleh-boleh saja. Kalaupun itu dianggap sebagai meniru-niru (tasyabbuh) budaya Barat, menurut Maulawi, itu tasyabbuh yang dibolehkan. Karena tasyabbuh yang dilarang adalah tasyabbuh pada hal-hal yang memang spesifik ajaran agama dan/atau budaya mereka dan tidak ada akarnya atau dasarnya dalam budaya/ajaran Islam. Sedangkan menghormati ibu jelas sekali ada dasarnya dalam syariat Islam.

Ulama yang lain, Syaikh Abdul Fattah Asyur, salah seorang ulama Al-Azhar, Mesir, berpendapat bahwa sejauh ini umat Islam tidak memandang Hari Ibu sebagai sebuah hari raya yang bersifat keagamaan (dianggap sebagai ritual keagamaan, ‘îd dînî), tetapi lebih merupakan sebuah bentuk ekspresi rasa cinta, kasih, sayang, penghormatan, dan pengabdian anak kepada ibunya yang memang amat berjasa dalam hidupnya. Memperingati Hari Ibu dengan pemahaman seperti itu, menurutnya, bukan sebuah bentuk tasyabbuh terhadap budaya tertentu. Dalam memperingati Hari Ibu, kita tetap melaksanakan apa yang telah diperintahkan oleh Allah dan tidak melakukan apa-apa yang dilarang-Nya. Dengan begitu, ini 
bukan tasyabbuh, juga bukan meniru-niru agama lain.

Dari uraian di atas, hemat saya, selama kita tidak menjadikan Hari Ibu sebagai hari raya dalam pengertian syariat Islam (dalam Islam, antara lain, kita dilarang berpuasa pada hari raya), boleh-boleh saja kita melakukannya. Apalagi hal-hal seperti itu termasuk persoalan keduniaan di mana agama telah memberikan kita keleluasaan untuk menyikapinya dengan tidak melarang atau menganjurkan. Apalagi semangat dari Hari Ibu adalah penghormatan terhadap ibu yang jelas-jelas diajarkan oleh Islam. Ini tentu berbeda dengan memperingati Valentine Day yang dalam prakteknya sering kali menjurus pada praktek seks bebas. Yang ini tentu saja dilarang dalam Islam.

Demikian, wallahu a’lam.
[Muhammad Arifin, Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur'an]

Source : alifmagz.com

Pandangan Islam Mengenai Perayaan Tahun Baru Masehi


Tradisi merayakan tahun baru Masehi seperti yang berkembang saat ini –yang antara lain ditandai dengan meniup terompet, terutama pada detik-detik pergantian tahun– besar kemungkinan berasal dari tradisi Yahudi. Orang Yahudi, ketika merayakan tahun baru mereka yang dimulai pada tanggal 1 bulan Tishri dalam Kalender Ibrani, merayakannya dengan meniup terompet, di samping bentuk perayaan lainnya. Meniup terompet merupakan fenomena paling menonjol dalam perayaan pergantian tahun orang Yahudi.

Bukan cuma itu. Bagi orang Yahudi, meniup terompet pada tahun baru juga merupakan perintah Tuhan kepada Nabi Musa untuk menyambut datangnya tahun baru mereka. Dengan kata lain, meniup terompet adalah salah satu bentuk ibadah mereka. Di dalam Kitab Suci Yahudi disebutkan demikian: Katakanlah kepada orang Israel, begini: “Dalam bulan yang ketujuh, pada tanggal satu bulan itu, kamu harus mengadakan hari perhentian penuh yang diperingati dengan meniup sangkakala, yakni hari pertemuan kudus.” (Torat, Imamat 23: 24). “Pada bulan yang ketujuh, pada tanggal satu bulan itu, haruslah kamu mengadakan pertemuan yang kudus, maka tidak boleh kamu melakukan sesuatu pekerjaan berat; itulah hari peniupan sangkakala bagimu.” (Torat, Bilangan 29: 1).

Atas dasar itu, ada ulama yang mengharamkan perayaan tahun baru Masehi dengan alasan mengikuti ibadah atau ritual non-Muslim. (Di Arab Saudi terdapat fatwa resmi yang mengharamkan perayaan malam tahun baru. Syaikh Yusuf al-Qaradhawi dari Mesir juga berpendapat perayaan malam tahun baru haram). Apalagi kalau perayaan tahun baru itu diisi dengan maksiat seperti pesta minuman keras, pesta seks, dan lain-lain. Yang begini ini jelas terlarang. (Penjualan kondom menjelang akhir tahun sering sekali diberitakan melonjak. Selain itu, seusai perayaan tahun baru 2012 yang baru lalu, di sekitar kawasan Puncak banyak ditemukan sampah kondom!).

Dalil mereka yang mengharamkan, antara lain, adalah hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, al-Bayhaqi, dan lain-lain: Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dalam golongan kaum itu. Di samping, bahwa merayakan tahun baru pada umumnya bernuansa maksiat yang jelas-jelas dilarang.

Tetapi ada juga yang menganggap boleh-boleh saja merayakan tahun baru Masehi selama tidak diniatkan mengikuti ritual agama lain, dan selama diisi dengan kegiatan positif. Apakah kalau sekolah-sekolah Islam libur pada Hari Natal, Hari Nyepi, dan Hari Waisak, misalnya, berarti mereka mengikuti ritual agama lain? Apakah ketika sekolah atau lembaga-lembaga keislaman libur pada setiap hari Sabtu dan Ahad –yang merupakan “hari raya” agama tertentu– berarti mereka mengikuti ritual agama itu? Tidak serta merta.

Akan lebih boleh lagi kalau bentuk memperingatinya itu dilakukan dengan berzikir, berdoa, muhâsabah (menghitung-hitung keburukan dan kebaikan kita sebelum nanti dihitung oleh malaikat), dan kegiatan positif lainnya. Sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Tradisi yang dilakukan oleh Republika dengan Dzikir Nasional-nya setiap malam tahun baru, hemat saya, dapat dianggap sebagai salah satu bentuk positif dalam merayakan tahun baru.

Melakukan zikir, berdoa, dan ber-muhâsabah, paling tidak kita temukan pijakannya dalam hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dan ad-Dârimi. Dalam hadits itu disebutkan bahwa ketika melihat bulan sabit sebagai tanda masuknya bulan baru dalam Kalender Islam, Rasulullah saw. mengucapkan doa berikut: Allâhu Akbar. Allâhumma ahillahu ‘alaynâ bi al-amni wa al-îmân wa as-salâmati wa al-islâmi wa at-taufîqi limâ yuhibbu rabbunâ wa yardhâ. Rabunâ wa rabbukalâhu. Artinya: “Allah Maha Besar. Ya Allah, tampakkan hilal (bulan tanggal satu) itu kepada kami dengan membawa keamanan, keimanan, keselamatan, keislaman, dan taufik untuk menjalankan apa yang Engkau cintai dan Engkau ridhai. Tuhanku dan Tuhanmu (wahai bulan sabit) adalah Allah.
Demikian, wallahu a’lam.
[Muhammad Arifin, Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur'an ]

Source : alifmagz.com

Keseimbangan dalam Keberhasilan


Manusia memiliki bermacam keinginan dan kebutuhan dalam hidupnya. Kita mempunyai tujuan yang ingin dicapai, impian yang ingin diwujudkan, tempat yang hendak dikunjungi, hal-hal yang mau dicoba, dan apa saja yang yang dapat menjadikan hidup kita lebih berharga atau bahagia, dalam pandangan kita masing-masing.
Islam sendiri mengajarkan kita untuk memanfaatkan sumber daya yang dititipkan pada kita dengan sebaik-baiknya. Agar tak ada yang tersia-sia dan menimbulkan penyesalan pada akhirnya. Rasulullah saw. bersabda:
“Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara: 1) Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, 2) Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, 3) Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, 4) Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, 5) Hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR. Al Hakim).
Masa muda, kesehatan, kekayaan, waktu luang, sampai hidup itu sendiri merupakan peluang yang tak selalu kita hargai keberadaannya. Menggunakan semua kelebihan itu sebaik mungkin berarti dua hal: Untuk menghasilkan sesuatu yang baik dan dengan cara yang tepat.
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash dia berkata bahwa Rasulullah saw. telah bertanya (kepadaku): “Benarkah kamu selalu berpuasa di siang hari dan selalu berjaga di malam hari?” Aku pun menjawab: “Ya, (benar), ya Rasulullah.” Rasulullah saw. pun lalu bersabda: “Jangan kau lakukan semua itu. Berpuasalah dan berbukalah kamu, berjagalah dan tidurlah kamu, sesungguhnya badanmu mempunyai hak atas dirimu, matamu mempunyai hak atas dirimu, dan istrimu pun mempunyai hak atas dirimu.” (HR. Bukhari).
Saat kita menggunakan peluang kita untuk hal yang tidak berguna, lebih-lebih merugikan, maka syarat pertama gagal dipenuhi. Sementara, cara yang tepat berarti memenuhi hak-hak yang harus dipenuhi, termasuk hak diri kita sendiri, atau dengan kata lain menjaga keseimbangan. Keseimbangan antara kebutuhan jasmani dan rohani, kebutuhan untuk belajar dan bermain, bekerja dan beristirahat, karier dan keluarga, memanfaatkan dan melestarikan, beraktivitas dan menjaga kesehatan.
Keberhasilan kita dalam hidup barulah lengkap jika aspek keseimbangan tadi terpenuhi, ketika manfaat kita ciptakan tanpa menimbulkan kerusakan.
I believe that being successful means having a balance of success stories across the many areas of your life. You can’t truly be considered successful in your business life if your home life is in shambles. (Zig Ziglar). [aca]

Wallahu A'lam

Source : alifmagz.com

Tuesday, December 24, 2013

Ayat - ayat Motivasi

11 Ayat Motivasi Dari Al-Quran



Assalamualaikum WBT



Dalam entri kali ini saya ingin paparkan 11 maksud firman Allah swt yang boleh menjadikan diri kita kembali bangun dan terus bersemangat jika kita hayati pengertiannya.
11 Ayat Motivasi Dari Al-Quran ini boleh dijadikan panduan untuk kita semua.








Nikmat Allah SWT

       Seharusnya kita ingat bahawa nikmat Allah SWT terlalu banyak. Sekiranya kita hilang sesuatu nikmat yang Allah SWT pinjamkan ada banyak lagi nikmat Allah SWT di alam ini.



1.     “Dan apabila kamu menghitung ni’mat Allah, nescaya kamu tidak akan dapat menghitungnya” (Q.S. Ibrahim: 34)

      

Bersyukur

     Sebagai manusia kita perlu bersyukur akan nikmat yang kita kecapi selama ini dan akan datang kerana Allah SWT menjanjikan untuk menambahkan lagi nikmatNya. Namun, jika kufur, kita akan menerima azab yang pedih.



2.     “Apabila kamu bersyukur nescaya akan Aku tambahkan nikmat-Ku, dan apabila kamu kufur maka adzab-Ku sangat pedih” (Q.S. Ibrahim:7)

      

Tidak Putus Asa 

    Jangan kita mudah putus asa dalam melakukan sesuatu kebaikan kerana Allah SWT mengizinkan kita mengubah kehidupan jika kita terus berusaha.



3.     “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka mengubah diri mereka sendiri”(Q.S. Ar-Ra’d:11)



Kejadian Allah SWT Tidak Sia-Sia 

    Sesuatu perkara yang kita tidak suka atau tidak sanggup menanggungnya merupakan perkara yang terbaik  untuk kita kerana setiap perkara Allah SWT tentukan adalah tidak sia-sia.



4.     “Dan boleh jadi kamu membenci sesuatu tetapi ia baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu tetapi ia buruk bagimu, dan Allah mengetahui dan kamu tidak mengetahui “ (Q.S. Al-Baqarah:216)

    

Bersama Orang Beriman

    Selagi kita berada dalam kelempok orang yang beriman, maka kita tetap mendapat pengiktirafan yang tinggi daripada Allah SWT. Biarpun manusia memandang rendah kepada kita.



5.     “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah pula kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi derajatnya, jika kamu orang-orang yang beriman.” (Q.S. Al-Imran: 139)



Rahmat Allah SWT Sentiasa Ada

    Rahmat Allah SWT sentiasa ada di setiap masa  dan di mana sahaja untuk kita. Dia tidak suka kita berputus asa.



6.     “Dan janganlah kamu berputus asa daripada rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa daripada rahmat Allah melainkan orang-orang yang kufur.” (Q.S. Yusuf: 87)

    

Allah SWT Tahu  Kemampuan Kita

     Suatu perkara yang kita tanggung sebenarnya mengikut kemampuan kita. Allah SWT maha mengetahui kemampuan setiap hambaNya.



7.     “Allah tidak membebani seseorang itu melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Q.S. Al-Baqarah: 286)



Kesenangan Di sebalik Musibah

     Usahlah bimbang apabila ditimpa musibah kerana di sebalik musibah itu ada hikmah dan mungkin nikmat yang lebih banyak bakal kita kecapi.



8.     “Maka sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.” (Q.S. Al-Insyirah: 5-6)



Penawar Bagi Ujian

      Allah SWT menyukai orang yang sabar dan menjaga solatnya. Dua amalan ini merupakan perawat yang paling mujarab jika kita ditimpa ujian.



9.     “Wahai orang-orang yang beriman mintalah pertolongan melalui Sabar dan Shalat, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar. Dan benar-benar akan Kami uji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, dan kekurangan buah-buahan, dan berilah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar, (yaitu) yang apabila mereka tertimpa musibah mereka mengatakan “Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya kami kembali”(Q.S. Al-Baqarah: 155-156)



Taubat Segera

    Jika kita melakukan kesalahan, jangan ditunggu-tunggu lagi. Bersegeralah memohon ampun dan bertaubat kepada Allah SWT kerana Dia Maha Pengampun.



10.  “Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan yang hingga apabila datang ajal seseorang di antara mereka, barulah ia mengatakan: Sesungguhnya saya bertaubat sekarang. Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih.” (Q.S. An-Nisa: 17-18)



Takwa Adalah Penyelamat

      Dalam setiap perkara atau situasi yang kita alami hendaklah kita bertakwa kepada Allah SWT kerana ia akan menyelamatkan kita.


11.  “Barang siapa bertakwa kepada Allah maka Dia akan menjadikan jalan keluar baginya, dan memberinya rizki dari jalan yang tidak ia sangka, dan barang siapa yang bertawakkal kepada Allah maka cukuplah Allah baginya, Sesungguhnya Allah melaksanakan kehendak-Nya, Dia telah menjadikan untuk setiap sesuatu kadarnya” (Q.S. Ath-Thalaq: 2-3)

Semoga 11 Ayat Motivasi Dari Al-Quran ini dapat bermanfaat kepada kita semua. Wallahu A'lam.


Source : notamengajarbelajar.com

CERAH DAN MENCERAHKAN

Generasi cerah dan mencerahkan adalah generasi cerah dengan iman dan ilmu di hati, terwujud dalam  akhlaq al-karimah dan mencerahkan dengan amar ma'ruf nahi munkar bagaikan matahari yang tidak hanya bercahaya tetapi juga men"cahaya"kan bulan dan benda - benda langit lainnya termasuk bumi tempat manusia melangsungkan kehidupannya. Cahayanya menjadi sumber kehidupan seluruh makhluk yang dapat dimanfaatkan menjadi sumber energi yang sangat besar. Cahayanya menjadi kebutuhan pokok makhluk Allah lainnya. Kehadiran cahayanya menjadi penyeimbang agar bumi tidak menjadi beku akibat dinginnya malam yang tak ber"matahari". Alangkah indah menjadi generasi - generasi cerah yang kehadirannya adalah syarat kedamaian dan keselamatan bagi sesama manusia bahkan bagi seluruh makhluk (Rahmatan lil alamin). Semoga.
Wallahu A'lam.

Pidato "Kelebihan Pesantren Dibandingkan Sekolah Umum Lainnya"



Bapak guru yang saya hormati
Serta teman-teman para santri harapan bangsa yang saya cintai

Assalamu Alaikum Wr.Wb .
           
            Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kita hidayah, rahmat, serta segala nikmat yang telah beliau anugerahkan kepada kita semua, sehingga kita semua dapat berkumpul pada pagi hari yang cerah ini di kelas kita yang sederhana dan insya Allah senantiasa diberkahi oleh-Nya. Shalawat serta salam tak bosan-bosannya kita haturkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad saw beserta para keluarga dan sahabat-sahabatnya. Beliaulah sang revolusioner sejati yang telah membawa umat manusia dari alam kegelapan masa jahiliyah menuju ke alam yang terang benderang lantaran cahaya ilmu pengetahuan yang dibawa-Nya sebagaimana yang kita rasakan saat sekarang ini.

Bapak guru… serta teman-teman yang saya banggakan

            Pada kesempatan yang berbahagia ini, izinkanlah saya menyampaikan sebuah pidato yang berjudul “Kelebihan Pondok Pesantren dibandingkan dengan Sekolah Umum lainnya”

Bapak guru dan para santri sekalian….

            Kita sebagai seorang santri yang tinggal didalam sebuah pondok pesantren yang jauh dari orang-orang yang kita rindukan pasti pernah terlintas dipikiran kita bahwa sebenarnya kita menyiksa diri untuk tinggal ditempat ini. Mengapa...? karena ditempat ini kita lebih menderita dan lebih diawasi daripada siswa lain yang ada di luar sana dan memang itulah fakta yang terjadi di dalam pondok pesantren, penuh peraturan, tidak bebas, kurang pergaulan dengan mode yang sedang marak dan lain sebagainya, tapi justru itulah yang menjadi perbedaan pesantren dengan sekolah umum lainnya.

            Jika kita mengingat mulai dari saat pertama kali datang ke tempat ini sampai saat sekarang ini mungkin diantara kita ada yang bertanya, Mengapa saya berada di pondok pesantren ini bukan berada di sekolah umum yang ada di luar sana? Mungkin di antara kita ada yang menjawab, karena keinginan sendiri ataukah karena disuruh oleh orang tua. Maka timbullah suatu pertanyaan, mengapa orang tua kita menyekolahkan kita di tempat ini ? Yang jelas-jelas mereka mengetahui sendiri kondisi didalam pesantren itu. Apakah mereka sengaja ingin membuat kita hidup menderita ? Jawabannya pasti “TIDAK”. Karena tidak akan ada orangtua baik yang rela melihat anaknya hidup menderita.      

Bapak guru yang saya hormati serta teman-teman seperjuangan yang saya cintai…
           
Saya yakin bahwa orang tua kita semua ingin menyekolahkan anaknya di tempat yang paling baik, dan oleh karena itu dengan dimasukkannya kita di pesantren ini, secara tidak langsung orangtua kita menyatakan bahwa pondok pesantrenlah sekolah yang paling baik untuk sang buah hatinya. Mungkin kita semua heran, mengapa orang tua kita menganggap pondok pesantren sebagai sekolah yang paling baik untuk anaknya ? Jawaban pastinya hanyalah mereka sendiri yang mengetahuinya karena mereka lebih dahulu hidup daripada kita dan mereka lebih mengetahui yang mana baik dan yang mana buruk untuk masa depan anaknya.

Bapak guru yang saya hormati serta teman-teman yang saya banggakan…

Sesungguhnya, Ada banyak kelebihan yang dimiliki oleh pondok pesantren yang tidak dimiliki oleh sekolah umum lainnya meskipun faktanya kita lebih menderita daripada siswa lain yang ada diluar sana. Hal inilah yang kebanyakan dari kita tidak mengetahuinya sehingga kita tidak bersungguh-sungguh dalam belajar di pesantren. Seandainya kita mengetahui dan memahami kelebihan-kelebihan pesantren tersebut, maka pasti kita semua akan belajar bersungguh-sungguh untuk mencapai cita-cita kita melalui kelebihan-kelebihan pesantren tersebut. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini saya akan menyampaikan lima hal yang menjadi kelebihan pesantren yang tidak dimiliki oleh sekolah umum lainnya. Maka beruntunglah para hadirin sekalian karena saya yakin bahwa tidak semua santri mengetahui kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh sekolahnya sendiri.

Bapak guru yang saya hormati serta teman-teman seperjuangan yang saya cintai…

 Kelima hal yang menjadi kelebihan pesantren tersebut yaitu:

1.      Pesantren tidak hanya mendidik IQ (kecerdasan intelektual) santrinya saja tetapi juga mendidik EQ (kecerdasan emosional) dan SQ (kecerdasan spiritual) santrinya. Sehingga kelak ketika santrinya telah sukses, maka lulusannya itu tidak hanya cerdas dalam hal pemikirannya atau intelegensinya tetapi juga cerdas dalam bersosialisasi di tengah-tengah masyarakat sehingga mereka jauh lebih bisa diterima dan bermanfaat bagi orang sekitarnya. Hal ini terjadi, karena di pondok pesantren kita telah dilatih untuk mengembangkan kecerdasan emosional (EQ) kita. Salah satu caranya adalah dengan melatih kita untuk tampil berbicara didepan umum seperti yang sedang saya lakukan sekarang ini dan juga kita dilatih untuk berinteraksi dengan masyarakat luar sebagaimana saat kita diutus untuk berceramah di kampung orang lain pada bulan suci Ramadhan.

Kemudian, yang dididik dalam pondok pesantren juga adalah SQ (Kecerdasan Spiritualnya). Saat ini Sudah sering kita saksikan tentang pejabat tinggi Negara kita yang melakukan tindakan korupsi. Hal ini dikarenakan mereka tidak memiliki kecerdasan intelektual dan spiritual yang seimbang. Dan keseimbangan inilah yang sesungguhnya dididik didalam pondok pesantren dengan serangkaian peraturan tentang ibadah yang berlaku di pondokan dan pelajaran sekolah yang diterima di madrasah. Maka pantaslah saya mengatakan bahwa pondok pesantren sebagai ISTANA SUCI karena segala kegiatan yang dilakukan di dalamnya merupakan kegiatan-kegiatan yang diridhai oleh Allah sehingga rahmat dan berkah Allah senantiasa bersama kita selama berada di pondok pesantren yang mampu meningkatakan kecerdasan spiritual (SQ) kita.

 Bapak guru yang saya hormati serta teman-teman para generasi baru islam yang saya banggakan…

2.      Ilmu yang didapat di pesantren lebih berkah dibandingkan dengan ilmu yang didapat dari sekolah luar. Mengapa saya berkata demikian? Coba kita bandingkan sejarah munculnya sekolah umum dan pondok pesantren. Sekolah umum pada awalnya didirikan oleh para penjajah yang saat itu sedang menjajah kita dan menginjak-injak harkat dan mertabat Negara kita selama 350 tahun. Sedangkan pondok pesantren, pertama kali didirikan oleh para wali Allah yaitu orang-orang suci yang sangat dekat dengan Allah setelah para nabi dan rasul-Nya yang saat itu sedang menyebarkan agama Islam di Indonesia. Mereka mendirikan pesantren sabagai salah satu sarana menyebarkan agama Islam di tanah air. Dan oleh karena itulah pondok pesantren jauh lebih diberkahi daripada sekolah umum yang ada diluar sana.

Bapak guru dan para santri sekalian….

3.      Ikatan persaudaraan yang ada di pesantren jauh lebih erat dibandingkan dengan ikatan persaudaraan yang ada di sekolah luar. Contohnya, Muhammad Jawwad seorang santri yang berasal dari Desa Itterung dan Ferdiansyah seorang santri yang berasal dari Kelurahan Cellu. Mereka tidak saling kenal sebelumnya, tetapi setelah menjadi santri di pondok pesantren ini, hubungan persaudaraan diantara mereka akan mulai terjalin dan lama-kelamaan akan menjadi sangat erat. Sehingga, ketika tiba waktu perpisahan, sangat sulit bagi Jawwad dan Ferdi menghadapi perpisahan ini. Meskipun selama di pesantren ini, pernah terjadi masalah diantara mereka, namun hal itu sirna begitu saja karena kekuatan persaudaraan antara mereka yang begitu kuat. Berbeda dengan siswa yang ada di luar sana, mereka hanya bertemu beberapa jam dengan teman yang lain, itupun di sekolah dalam pelajaran formal. Setelah lepas dari jam formal itu, mereka mengerjakan aktifitas mereka masing-masing tanpa disertai kebersamaan.

Bapak guru yang saya hormati serta teman-teman yang saya banggakan…

4.      Di pondok pesantren, kita lebih bisa dikontrol dan terlindungi dari dampak negatif globalisasi yang terjadi ditengah-tengah masyarakat Indonesia sekarang ini. Mulai dari masalah narkoba, tawuran antar pelajar, free sex, dan lain-lainnya yang sedang menyerang masyarakat kita khususnya para remaja seperti kita semua. Sedangkan sekolah umum yang ada di luar belum tentu pengawasannya seketat didalam pondok pesantren. Jangankan di sekolah umum, didalam pesantren saja tidak ada yang bisa menjamin 100% bahwa kita dapat terhindar dari dampak negatif tersebut, apalagi di sekolah umum yang ada di luar sana yang peraturannya tidak seketat dengan peraturan yang diterapkan didalam pesantren. Sehingga bisa saja kita terjerumus dalam masalah dari dampak negatif era globalisasi yang dapat merusak masa depan kita dan nama baik keluarga kita.

Bapak guru yang saya hormati serta teman-teman seperjuangan yang saya cintai…

5.      Didalam pondok pesantren, selain mendapatkan ilmu formal di madrasah, kita sesungguhnya mendapatkan ilmu yang sangat berharga  yang tidak kita sadari sedang kita pelajari sekarang ini selama kita tinggal di dalam pondok pesantren. Ilmu inilah yang disebut sebagai ilmu dalam memahami makna hidup yang sesunggunhya. Dalam pondok pesantren kita dilatih untuk hidup mandiri dengan berpisah dengan orangtua dan untuk bertanggungjawab sendiri dengan kehidupan kita tanpa campur tangan orang lain termasuk orang yang paling dekat dengan diri kita yaitu orangtua kita sendiri. Kita dilatih untuk mencuci baju sendiri, memotivasi diri untuk belajar sendiri, bangun sendiri untuk shalat dan lain sebagainya yang serba mandiri. Hal itu semua bukanlah agar kita tersiksa dan tidak menikmati masa muda kita, akan tetapi agar kita terlatih untuk hidup mandiri yang tidak bergantung pada orangtua kita ataupun kepada orang lain untuk memudahkan kita dalam menggapai kesuksesan. Karena suata saat, cepat atau lambat pasti kita akan berpisah dengan orangtua kita. Oleh karena itu,  didalam pondok pesantren kita dilatih untuk hidup mandiri karena diri kita masing-masinglah yang bertanggung jawab 100% kepada diri kita sendiri dimasa yang akan datang.

Bapak guru yang saya hormati serta teman-teman para generasi baru islam yang saya banggakan…

            Setelah mengetahui kelebihan-kelebihan pesantren tersebut maka marilah kita bersyukur kepada Allah karena kita termasuk orang-orang yang menuntut ilmu di pondok pesantren. Meskipun kita lebih menderita hidup di pondok pesantren dengan berbagai aturan dan hukuman-hukumannya daripada di sekolah luar. Tapi yakinlah bahwa kita akan menggapai kesuksesan yang lebih daripada orang yang ada di sekolah umum  dimasa depan dengan syarat, kita tekun dan sungguh-sungguh dalam belajar serta sabar dalam menghadapi segala penderitaan yang ada di pondok pesantren. Sebagaimana yang dikatakan oleh Anregurutta Prof. DR. H. Nasaruddin Umar, MA:
  • Siapa yang manja/menikmati masa mudanya maka akan sulit di masa tuanya.
  • Siapa yang tidak berkeringat banyak di masa mudanya maka akan berkeringat banyak di masa tuanya.
  • Siapa yang penuh perjuangan di masa mudanya maka akan santai di masa tuanya.
  • Siapa yang berkeringat banyak di masa mudanya maka akan istirahat di masa tuanya.

Hadirin yang saya muliakan

            Akhirnya, sebagai kesimpulan, marilah kita semakin tekun dan bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu serta sabar dalam menghadapi kesulitan yang kita lalui dalam menuntut ilmu didalam pondok pesantren agar kita semua dapat meraih kesuksesan yang berkah dimasa depan maupun kesuksesan hidup di dunia dan di akhirat kelak, AMIN.
            Sekian yang dapat saya sampaikan,mudah-mudahan ada manfaatnya bagi kita semua terutama bagi pembicara sendiri, kurang lebihnya mohon dimaafkan.  
        
            Wallahul muwaffiq ilaa thariqil haq
            Wassalamu alaikum Wr. Wb.