Darul Ma'arif Asry

Amin.....Al-Fatihah..!

The Power of Affirmation

Imagine, Plan, and Action !!!

ANGKASA

Angkatan Sembilan Al-Ikhlas

IQTK 2013

Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Khusus Angkatan 2013

Islami is NOT classic

Islami = Modern Civilization based on Classic Civilizatin

Mohon Maaf Atas Segala Ketidaksempurnaan Blog ini

Dalam Proses Penyempurnaan....

Friday, March 21, 2014

Manusia Bukan Makhluk Paling Sempurna


Tiada perselisihan di kalangan ulama menyangkut kesempurnaan penciptaan manusia. Banyak sekali dalil keagamaan yang dapat dikemukakan untuk membuktikannya. Di antaranya adalah, Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (QS. at-Tîn [95]: 4). Diskusi akan lahir berkaitan dengan kesempurnaan manusia dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain dan makna kesempurnaan itu.

Menurut hemat penulis, kita tidak dapat mengklaim atas nama al-Qur’an bahwa manusia adalah makhluk yang paling sempurna berdasarkan firman Allah dalam ayat 4 surah at-Tîn di atas, karena ada juga ayat lain yang secara tegas menyatakan, (Allah) yang menciptakan segala sesuatu dengan sebaik-baik (sesempurna-sempurna) penciptaan dan Dia memulai ciptaan manusia dari tanah (QS. as-Sajdah [32]: 7). Tidak juga berdasarkan firman-Nya, Bila telah Kusempurnakan penciptaannya (manusia),… (QS. al-Hijr [15]: 29), karena dalam ayat 2 surah al-A‘lâ disebutkan: (Dia) yang menciptakan (segala sesuatu) dan menyempurnakan(QS. al-A‘lâ [87]: 2).

Kesempurnaan manusia dan makhluk lain ciptaan Allah harus dilihat dari segi fungsi dan tujuan penciptaannya. Misalnya, kesempurnaan benda tak bernyawa seperti pisau dikaitkan dengan tujuan pembuatannya, yakni memotong sehingga ia harus tajam dan dapat digunakan tanpa menimbulkan kesulitan. Kesempurnaan manusia terletak pada terpenuhinya dalam diri makhluk ini sifat-sifat fisik dan psikis sehingga mampu melaksanakan fungsinya sebagai khalifah dan hamba Allah.

Allah telah menciptakan manusia dengan potensi demikian, sehingga manusia adalah makhluk yang paling sempurna untuk tujuan ini, bahkan lebih sempurna dari malaikat. Akan tetapi, iblis yang diciptakan Allah untuk menggoda manusia adalah makhluk sempurna pula melebihi kesempurnaan manusia dan malaikat dalam bidang menggoda dan merayu. Demikianlah, masing-masing makhluk diciptakan sesuai dengan fitrah kejadiannya dalam bentuk sebaik-baiknya.

Fitrah adalah unsur-unsur dan sistem yang Allah anugerahkan kepada setiap makhluk. Fitrah manusia adalah apa yang diciptakan Allah dalam diri manusia. Ia adalah gabungan dari unsur tanah yang melahirkan jasmani dan unsur ruhani yang melahirkan akal dan jiwa. Manusia berjalan dengan kakinya adalah fitrah jasadnya. Upayanya untuk mengambil sesuatu dengan kakinya tidak sejalan dengan fitrah jasad ini. Mengambil kesimpulan dengan mengaitkan premis-premis adalah fitrah aqliahnya. Mengambil kesimpulan aqliah dengan premis-premis yang saling bertentangan, bertolak belakang dengan fitrah aqliah manusia.

Kecenderungan kepada lawan jenis adalah fitrah manusia. Ingin memiliki keturunan dan cinta anak adalah fitrah manusia, dan demikian seterusnya. Allah menciptakan manusia dengan fitrah yang digambarkan di atas. Penciptaan itu (selain Âdam, Hawâ, dan ‘Îsâ) semuanya hingga kini berlangsung melalui proses pertemuan sperma dan ovum.

Agaknya, menarik untuk dikemukakan bahwa ketika Allah menginformasikan penciptaan Âdam, Dia menggunakan redaksi “Aku ciptakan” (khalaqtu). Akan tetapi, ketika berbicara tentang reproduksi manusia, redaksi yang digunakan-Nya berbentuk pasif “Diciptakan” (khuliqa) atau “Kami ciptakan” (khalaqnâ). Kata “Kami” yang menunjuk kepada Tuhan biasanya digunakan untuk menginformasikan adanya keterlibatan selain Tuhan dalam kegiatan atau kerja yang dimaksud. Ini berarti bahwa ketika Allah menyatakan bahwa “Kami telah menciptakan manusia,” maka ini berarti bahwa ada keterlibatan selain-Nya, yaitu ibu dan bapak dalam proses kejadian itu. Keterlibatan ini tidak hanya sebatas pada upaya memilih jodoh atau mempertemukan sperma dan ovum, melainkan juga pada upaya menciptakan kondisi psikologis serta memilih makanan tertentu guna pertumbuhan dan perkembangan janin.

Dalam literatur keagamaan, sebagaimana halnya dalam kedokteran, ditemukan pesan-pesan kepada suami-istri untuk menciptakan suasana harmonis keagamaan saat berhubungan seks, misalnya dengan berdoa. Begitu pula, ditemukan anjuran-anjuran kepada ibu yang sedang mengandung untuk memakan makanan tertentu demi kesehatan dan pertumbuhan janinnya.

Dalam bukunya ath-Thifl bayan al-Warâtsah waat-Tarbiyah, Syaikh Taqiyuddîn Falsafî mengemukakan sekian banyak riwayat keagamaan itu. Di antaranya, “Berilah kurma untuk dimakan wanita pada bulan dia akan melahirkan, karena yang demikian akan menjadikan anaknya berlapang dada dan bertakwa.”

Demikian sebuah hadits yang dinisbatkan kepada Rasulullah saw. Terlepas dari sahih tidaknya hadits itu, ini menunjukkan bahwa makanan dapat membentuk sifat psikis janin. Yang cacat atau sengsara adalah yang cacat atau sengsara dalam perut ibunya. Dan yang bahagia atau sempurna adalah yang bahagia dan sempurna dalam perut ibunya. Riwayat terakhir ini menunjukkan bahwa kondisi kandungan ibu merupakan faktor utama kesempurnaan atau cacatnya janin.

Dari sini terlihat bahwa cacat fisik atau mental yang terjadi pada seorang boleh jadi adalah akibat ulah ayah dan atau ibunya sendiri, baik saat terjadinya pembuahan maupun ketika dalam kandungan. Dari sini dipahami pula mengapa al-Qur’an memilih kata “Kami” ketika menginformasikan reproduksi manusia.

[M. Quraish Shihab - Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur'an

Source : alifmagz.com

Monday, March 10, 2014

ISLAM MODERAT


Tanpa ada embel-embel kata “moderat” pun, ajaran Islam sebenarnya sudah moderat sejak dari sononya. Sebagian kalangan tidak mau menggunakan istilah “Islam moderat”, antara lain karena alasan itu, yaitu bahwa Islam sejak semula memang sudah moderat. Di samping itu, istilah “Islam moderat” mengesankan adanya Islam yang tidak moderat, padahal Islam hanya satu: moderat. Nah, oleh karena itu kemudian ada sejumlah pakar yang lebih memilih menggunakan kata “moderasi Islam” yang bisa berarti “kemoderatan Islam” daripada “Islam moderat”.

Kata “moderasi” itu kurang lebih adalah terjemahan dari kata wasathiyyah, bentuk mashdar shinâ‘iy dari kata wasath yang terdapat di dalam ayat 143 surah al-Baqarah: wa kadzâlika ja‘alnâkum ummatan wasathan (Dan demikianlah Kami menjadikan kamu umat yang pertengahan). Tidak hanya pada surah al-Baqarah, di beberapa ayat lain juga disebut kata yang seakar dengan kata wasath sebanyak lima kali dengan derivan yang berbeda-beda.

Dari segi tinjauan bahasa, kata wasath berarti ‘pertengahan’. Makna itu kemudian berkembang menjadi ‘adil’, karena orang yang bersifat adil biasanya mengambil posisi tengah, tidak memihak kepada siapa pun. Dalam bahasa Indonesia kita mengenal kata “wasit” yang diserap dari kata bahasa Arab wasîth, yaitu orang yang memimpin pertandingan yang tentu saja dituntut untuk bersikap adil dan tidak memihak kepada salah satu. Secara garis besar, cakupan arti kata wasath berkisar pada makna ‘adil’, ‘baik’, ‘tengah’, dan ‘seimbang’, seperti disebut oleh Ibnu Faris, seorang linguis Arab kenamaan dalam karyanya Mu‘jam Maqâyîs al-Lughah.

Yusuf Qaradhawi sudah cukup panjang membahas makna wasath dalam bukunya Fiqh al-Wasathiyyah al-Islâmiyyah wa at-Tajdîd: Ma‘âlim wa Manârât, terbitan Dâr asy-Syurûq, Kairo, 2010. Ia, misalnya, mengutip Mu‘jam Alfâzh al-Qur’ân al-Karîm terbitan Lembaga Bahasa Arab di Kairo, mengatakan bahwa wasath berarti ‘pertengahan dari dua sisi’.

Moderasi Islam juga berarti bahwa Islam tidak merestui sifat berlebihan. Sebaliknya, Islam justru mengajarkan prinsip keseimbangan (tawâzun): keseimbangan antara urusan dunia dan akhirat, keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat, keseimbangan antara jasmani dan rohani, keseimbangan antara idealisme dan realistisme, keseimbangan antara spiritualisme dan materialisme, dan sebagainya.

Di bidang akidah atau keimanan, keseimbangan (moderasi) Islam ini tampak, misalnya, pada posisi ajaran Islam yang berada di tengah-tengah antara mereka yang mempercayai khurafat dan mempercayai segala sesuatu walau tanpa dasar di satu sisi, dengan mereka yang mengingkari segala sesuatu yang berwujud metafisik di sisi lain. Selain mengajak umatnya untuk beriman kepada yang gaib (metafisik, tidak inderawi, bahkan kadang sulit dipahami akal), pada saat yang sama Islam juga mengajak akal manusia untuk membuktikan ajakannya secara rasional. Qul hâtû burhânakum in kuntum shâdiqîn (QS al-Baqarah [2]: 111). Sikap moderat Islam itu juga tampak bahwa keimanan yang diajarkan oleh Islam tidak sampai menjadikan rasul pembawa risalah sebagai Tuhan, seperti terjadi pada agama lain, dan tidak pula menyepelekannya sehingga dengan mudah dibunuh, seperti terjadi pula pada agama samawi lain.

Di bidang ibadah, moderasi Islam tampak pada pemberlakukan kewajiban yang tidak memberatkan tetapi tetap berpahala besar. Shalat bagi umat Islam hanya wajib lima kali sehari (bandingkan dengan umat terdahulu yang pernah diwajibkan melakukan shalat lima puluh kali sehari semalam!), puasa hanya satu kali dalam setahun, haji hanya sekali seumur hidup, itu pun bagi yang mampu. Selebihnya Allah memberi kebebasan kepada masing-masing hamba-Nya untuk aktif mencari nafkah dan memakmurkan bumi. Mau memperbanyak ibadah pun boleh dengan ritual-ritual sunah: puasa sunah, salat sunah, dan sebagainya.

Di bidang akhlak, manusia yang terdiri atas unsur ruh (roh, jiwa) dan jasad, ini juga harus bersikap seimbang. Kedua unsur itu harus dapat dipenuhi secara seimbang. Rasulullah saw., misalnya, melarang sahabat beliau yang berkeinginan untuk melakukan shalat malam sepanjang malam tanpa menyempatkan diri menyentuh istrinya. Beliau juga melarang sahabatnya yang ingin berpuasa sepanjang hari. Sebaliknya, beliau justru bersabda, “Berpuasalah dan berbukalah, bangun malam (untuk shalat) dan tidurlah. Sesungguhnya tubuhmu memiliki hak yang harus dipenuhi, matamu punya hak untuk dipejamkan, istrimu punya hak yang harus dipenuhi.” (HR Bukhari dari Abdullah bin Amr bin al-Ash).

Prinsip moderasi ini juga tampak pada ajaran Islam untuk tidak berprasangka buruk kepada orang lain. Boleh saja kita menganut dan memilih salah satu mazhab, misalnya, tetapi pada saat yang sama kita juga harus menghormati penganut mazhab lain selama masih berada dalam koridor yang disepakati ulama otoritatif. Dalam kaitan ini ada ungkapan ulama yang sangat terkenal bahwa ra’yuna shawâb yahtamil al-khatha’, wa ra’yu ghairinâ khatha’ yahtamil ash-shawâb (pendapat kita benar tetapi boleh jadi mengandung kesalahan, dan pendapat orang lain salah tetapi boleh jadi mengandung kebenaran).

Misalnya, jika ada orang tidak memegang tongkat ketika berkhutbah Jumat, atau tidak makan di lantai –kedua hal itu dilakukan oleh Rasulullah saw.– kita tidak perlu buru-buru mengatakan bahwa mereka tidak mengikuti sunah. Atau, apabila kita menemukan ada ulama yang berfatwa dalam hukum yang memberikan kemudahan, kita jangan buru-buru menuduhnya telah menggampangkan agama atau melakukan keteledoran. Prasangka baik harus tetap 
dikedepankan sebagai salah satu buah dari prinsip moderasi Islam.

Cukup panjang kalau kita mau berbicara agak lengkap tentang prinsip moderasi Islam atau Islam moderat ini. Anda dapat merujuk buku Moderasi Islam: Menangkal Radikalisme Berbasis Agama yang ditulis oleh Dr. Muchlis M Hanafi terbitan Ikatan Alumni Al-Azhar Internasional cabang Indonesia bekerja sama dengan Pusat Studi al-Qur’an (PSQ) tahun 2013, atau Moderasi Islam, salah satu rangkaian Tafsir Tematik yang diterbitkan oleh Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Bidang Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI tahun 2012. Anda juga dapat merujuk buku berbahasa Arab berjudul Fiqh al-Wasathiyyah al-Islâmiyyah wa at-Tajdîd: Ma‘âlim wa Manârât yang ditulis oleh Syaikh Yusuf Qaradhawi dan diterbitkan oleh Dâr asy-Syurûq, Kairo, tahun 2010.

Namun demikian, saya ingin menambahkan secara singkat beberapa ciri moderasi Islam yang kiranya perlu kita ketahui, yaitu:
 
1. Memahami realitas. Kehidupan manusia ini berkembang tanpa batas, sementara teks-teks keagamaan terbatas (jumlah ayat al-Qur’an hanya 6.236 ayat dan tidak akan bertambah, jumlah hadis Nabi juga tidak lebih dari 6.000-an hadis). Oleh karena itu, ada hal-hal yang bersifat tetap (tswâbit), ada pula yang bersifat berubah (mutaghayyirât). Yang tswâbit sangat sedikit (berupa prinsip-prinsip akidah, ibadah, muamalah, dan akhlak. Sedangkan yang mutaghayyirât amat banyak jumlahnya. Oleh karena itulah kita bisa mengerti mengapa fatwa ulama di negara A terkadang berbeda dengan ulama di negara B, atau fatwa ulama pada abad sekian berbeda dengan fatwa ulama kontemporer.

2. Memahami prioritas. Dalam perintah dan larangan, ada beberapa tingkatan. Ada mubah (boleh), sunnah (dianjurkan), sunnah mu’akkadah (sangat dianjurkan), wajib atau fardu. Yang wajib atau fardu ini pun ada yang bersifat ‘ain (individu) dan ada yang bersifat kifayah (kolektif) yang apabila sudah dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang maka orang lain tidak terkena lagi kewajiban itu. Untuk beragama secara moderat menuntut kita untuk pandai-pandai memahami mana yang harus kita dahulukan.

3. Memahami teks-teks keagamaan secara komprehensif. Ayat-ayat al-Qur’an saling terkait satu sama lain. Kita harus memamahinya secara utuh, karena ayat yang satu menjelaskan ayat yang lain dalam tema yang sama atau berkaitan. Ini yang kita kenal dengan istlah al-Qur’ân yufassiru ba‘dhuhu ba‘dhan. Sebagai contoh, dengan membaca seluruh ayat-ayat al-Qur’an terkait jihad, akan kita pahami bahwa kata “jihad” tidak selalu berarti perang atau angkat senjata. Tetapi jika kita hanya membaca satu dua ayat jihad yang terlepas dari konteksnya atau kaitannya dengan ayat yang lain, bisa saja kita akan mendapat kesan bahwa ajaran Islam itu keras, kejam, tidak toleran, dan sebagainya. Ini mirip dengan tahi lalat yang ada pada wajah seseorang yang membuatnya tampak menarik. Wajah orang itu akan menarik kalau dilihat secara utuh, tetapi akan sangat tidak menarik kalau yang dilihat hanya tahi lalatnya, meskipun tahi lalat itu adalah unsur penting yang membuatnya menarik!
Demikian saya kira, wallahu a’lam.

[M Arifin - Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur'an

Source : alifmagz.com

Ketika Sedang Salat, Bolehkah Mengucap Alhamdulillah Saat Bersin?


Imam Muslim meriwayatkan melalui sahabat Ibnu ‘Abbâs bahwa Nabi saw. bersabda, “Aku dilarang membaca al-Qur’an dalam keadaan rukuk atau sujud. Adapun rukuk, maka agungkanlah Allah, adapun sujud maka perbanyaklah berdoa. (Karena ketika itu) wajar (besar peluang) untuk diperkenankan Allah.

Ini berarti seseorang dapat saja berdoa ketika dia sujud. Di sisi lain, Rifa‘at bin Rafi‘ menceritakan bahwa dia shalat berjamaah bersama Nabi saw., lalu dia bersin, dia mengucapkan, “Alhamdulillah hamdan katsîran thayyiban mubârakan fîhi kamâ yuhibbu wa yardhâ.

Setelah Nabi saw. selesai shalat, beliau bertanya, “Siapa yang berbicara waktu shalat?” Tidak seorang pun menjawab, sampai Nabi saw. bertanya tiga kali. Ketika itu barulah Rafi‘ mengaku. 

Rasulullah saw. lalu bersabda, “Demi Allah yang jiwaku berada dalam genggaman tangan-Nya, tiga puluh sekian malaikat berpacu untuk mengantarnya (ucapan itu) ke langit.”

Hadits ini diriwayatkan oleh an-Nasâ’î dan at-Tirmidzî, dan ini yang dijadikan dasar oleh sementara ulama membolehkan mengucapkan doa atau pujian kepada Allah walaupun tidak diajarkan Rasulullah saw., selama doa dan zikir itu tidak bertentangan dengan apa yang beliau ajarkan.

Dengan demikian, mengucapkan alhamdu-lillâh dalam shalat ketika telah bersin tidak membatalkan shalat, apalagi terdapat anjuran untuk mengucapkannya bila bersin (bukan karena flu). Demikian, wallâhu a‘lam.

[M. Quraish Shihab - Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur'an

Source : alifmagz.com

Tuesday, March 4, 2014

BERBEDA tidak mesti BERPECAH



Berbeda-beda pendapat tidak sama dengan berfirqah-firqah (wa lâ tafarraqû: jangan bercerai-berai, jangan berpecah-belah). Sahabat-sahabat Nabi saw. dahulu ada yang berbeda pendapat satu sama lain, tetapi mereka tidak berpecah belah. Ulama-ulama fikih juga berbeda-beda pendapat, tetapi mereka tidak berfirqah-firqah. Satu sama lain saling memahami perbedaan masing-masing, dan bersedia mengikuti pendapat lain jika terbukti itu yang lebih benar. Ada ungkapan yang sangat terkenal: ra’yî shawâb yahtamil al-khatha’, wa ra’y ghayrî khatha’ yahtamil al-shawâb (pendapat saya benar tetapi bisa jadi mengandung kesalahan, dan pendapat selain saya salah tetapi bisa jadi mengandung kebenaran).

Ormas-ormas Islam yang ada dan berkembang di Indonesia pun tidak harus kita pandang sebagai firqah-firqah yang dilarang, tetapi lebih dipandang dalam kerangka perbedaan itu. Mungkin akan ada pertanyaan, mengapa perbedaan itu bisa terjadi, padahal sumber kita sama: al-Qur’an dan Hadits?

Di dalam al-Qur’an sendiri, ada kata-kata yang memang berpotensi menimbulkan perbedaan. Misalnya kata qurû’ yang terdapat dalam QS al-Baqarah (2): 228. Kata qurû’ yang merupakan bentuk jamak dari qur’ itu, dalam bahasa Arab memang mengandung dua makna yang saling berlawanan: (a) haid, dan (b) suci. Dengan demikian, frase tsalâtsata qurû’ dalam ayat itu bisa dipahami berarti “tiga masa suci”, bisa juga dipahami sebagai “tiga masa haid”.

Perbedaan pemahaman seperti itu tentu berdampak pada kesimpulan hukum yang diambil. Di sini kita jangan berkata bahwa al-Qur’an merupakan sumber perpecahan! Tidak! Justru di situ terdapat kelonggaran dan kemudahan bagi kita.

Begitu juga dengan kata ilâ (sampai, sampai dengan) dalam frase ilâ al-marâfiq (sampai ke siku, sampai dengan siku) yang terdapat di dalam QS al-Mâ’idah (5): 6. Dalam bahasa Arab, kata ilâ memang bisa berarti “ke” atau “sampai”, bisa juga berarti “sampai dengan”. Mereka yang memahami kata ilâ di situ berarti “sampai”, menyimpulkan bahwa dalam berwudhu kita membasuh tangan dari jari-jari sampai batas siku, artinya sikunya tidak harus dibasuh. Tetapi orang-orang yang memahami ilâ berarti “sampai dengan”, mereka menyimpulkan bahwa membasuh tangan dalam berwudhu harus sekalian dengan sikunya. Sikunya harus dibasuh juga. Apakah ini salah al-Qur’an? Tidak! Ini justru sebuah sebuah kemudahan.

Dalam menyikapi berbagai perbedaan di kalangan umat ini, ada ungkapan yang cukup bagus: Nata‘âwan fî mâ ittafaqnâ ‘alayh, wa ya‘dzuru ba’dhunâ ba‘dhan fî mâ ikhtalafnâ ‘alayh (kita saling bekerja sama dalam hal-hal yang kita sepakati, dan saling menoleransi dalam hal-hal di mana kita berbeda pendapat).
Demikian, wallahu a’lam.

[Muhammad Arifin - Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur'an]

Wednesday, February 26, 2014

Makna "Kun Fayakun"


Kata yakûn adalah kata kerja masa kini dan atau datang (mudhâri‘). benar bahwa ada proses dan rentang waktu dalam penciptaan alam, al-Qur’an menamainya enam hari. Kita tidak dapat memastikan apa yang dimaksud dengan enam hari itu. Yang jelas, kata hari tidak hanya digunakan dalam arti sehari semalam, atau 24 jam, tetapi bisa juga dalam arti periode. Berapa lama satu periode, ini pun tidak ada penjelasannya dalam al-Qur’an dan hadits. Boleh jadi, ilmuwan dapat memberi jawabannya, tetapi jawaban mereka ketika itu, bukan sesuatu yang harus dipercaya sebagai ajaran agama. Boleh-boleh saja setuju atau tidak. Demikian juga ketika berbicara tentang penciptaan ‘Îsâ as., al-Qur’an menyatakan bahwa beliau serupa dengan Âdam, Dia menciptakannya dari tanah, kemudian berkata kepadanya, “Jadilah,” maka jadilah dia (QS. Âli ‘Imrân [3]: 59). Ini bukan berarti bahwa ‘Îsâ as. lahir sedemikian cepat dan tanpa proses yang dialami oleh para ibu ketika melahirkan bayinya. Bacalah QS. Maryam [19]: 16-26 yang menjelaskan proses tersebut mulai kehamilan sampai detik-detik menjelang kelahiran putranya.
 
Kata kun dalam firman-Nya, Kun Fayakûn, digunakan untuk menggambarkan betapa mudah Allah swt. menciptakan sesuatu dan betapa cepat terciptanya sesuatu bila Dia menghendaki. Cepat dan mudahnya itu diibaratkan dengan mengucapkan kata kun walaupun sebenarnya Allah swt. tidak perlu mengucapkannya karena Dia tidak memerlukan suatu apa pun untuk mewujudkan apa yang dikehendaki-Nya. Sekali lagi, kata kun hanya melukiskan—bagi manusia—betapa Allah swt. tidak membutuhkan sesuatu untuk mewujudkan kehendak-Nya dan betapa cepat sesuatu dapat terwujud sama bahkan lebih cepat—jika Dia menghendaki—dari masa yang digunakan manusia mengucapkan kata kun. Anda harus menggarisbawahi bahwa hal tersebut demikian bila Dia menghendaki. Penciptaan alam tidak dikehendaki-Nya sedemikian cepat, tetapi melalui proses, antara lain agar manusia sadar bahwa proses itu bukanlah satu hal yang buruk karena Allah swt. sendiri yang kuasa menciptakan sesuatu tanpa proses, menciptakan alam raya dengan proses.

Kata lahu (kepadanya) dalam firman-Nya, Yaqûlu lahu, memberi kesan bahwa wujud sesuatu itu telah ada sebelum adanya kata “jadilah” karena Dia berkata kepadanya, yakni pada apa yang akan dijadikannya itu, “Jadilah.” Kesan ini pada tempatnya. Dari sisi lain, dapat juga dikatakan bahwa sesuatu yang diwujudkan itu, sebenarnya telah hadir dalam ilmu Tuhan sebelum kehadirannya dalam kenyataan atau dalam pengetahuan makhluk. Bukankah Dia mengetahui segala sesuatu sebelum, saat, dan sesudah wujudnya?  Demikian, wallâhu a‘lam.

[M. Quraish Shihab - Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur'an

Source : alifmagz.com

GENERASI MUDA YANG DIRINDUKAN BUMI PERTIWI


            Generasi muda adalah generasi harapan bangsa, di tangannyalah nasib Bangsa ini. Maju atau tidaknya bangsa tercinta ini bergantung pada kualitas generasi muda. Karena bagaimanapun para birokrat hari ini pasti akan digantikan oleh generasi muda seiring berjalannya waktu.

            Peran generasi muda untuk Bangsa ini sebenarnya telah terlihat mulai pada masa perjuangan. Pada saat itu kita mengetahui dalam sejarah bahwa Sang Proklamator diculik oleh para generasi muda yang kemudian “memaksa” mereka berdua untuk memanfaatkan kesempataan menyerahnya Jepang pada sekutu untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Berkat aksi “nekat” generasi muda itulah sehingga saat ini kita bisa menghirup udara bebas di tanah air tercinta ini tanpa perlu khawatir akan adanya suara tembakan, meriam, pesawat tempur, jeritan penyiksaan dan lain sebagainya sebagaimana yang dialamai oleh para pejuang kemerdekaan kita dahulu.

            Selain itu, generasi muda kembali memperlihatkan taringnya ketika jargon “kemerdekaan” hanya isapan jempol belaka. Di era orde baru, meskipun kita telah merdeka dari penjajah asing ternyata elit negeri ini justru mengkhianati makna kemerdekaan yang telah susah payah diraih oleh para pahlawan kita dengan kembali “menjajah” rakyat negeri sendiri. Korupsi, kolusi dan nepotisme merajalela, mulut rakyat dibungkam serapat mungkin dengan berbagai cara bahkan hingga menjatuhkan korban. Melihat keadaan itu, generasi muda di seluruh Nusantara dengan darah mudanya yang berapi-api bersatu padu mereformasi keadaan kelam itu dengan berbagai cara termasuk melakukan demonstrasi besar-besaran. Generasi muda saat itu tampil sebagai garda terdepan memperjuangkan harapan terpendam rakyat Indonesia yaitu terciptanya negara Indonesia yang merdeka seutuhnya. Sekali lagi, berkat generasi muda Bangsa ini berhasil melangkah menuju Indonesia yang lebih baik.

            Dua contoh yang penulis kemukakan tersebut telah menjadi bukti betapa peran generasi muda sangat menentukan nasib Bangsa tercinta ini. Namun, betapa sedih bumi pertiwi ketika menyaksikan generasi muda dewasa ini yang telah banyak diracuni oleh kelamnya dunia narkoba, minuman keras, pergaulan bebas, tawuran dan lain sebagainya. Dengan tenggelamnya generasi muda dalam dunia penuh kerusakan itu rasa khawatir dan penuh cemas menyelimuti bumi pertiwi. Bumi pertiwi mempertanyakan : “Generasi muda yang seperti inikah yang akan memegang kendali Bangsa ini ? Bagaimanakah rupa bangsa ini nantinya ?”. Perasaan cemas itu semakin menjadi-jadi ketika melihat media yang memberitakan para elit yang menggunakan narkoba, bermain perempuan dan tega melakukan korupsi serta memperkaya dirinya sendiri disaat rakyatnya susah payah mencari sesuap nasi. Jika saat ini saja para elit sedemikian bejatnya apatah lagi ketika generasi yang akan menggantikan mereka adalah generasi muda yang telah rusak dengan kerusakan-kerusakan sebagaimana yang penulis kemukakan sebelumnya.

            Sesekali bumi pertiwi tersenyum melihat kenyataan bahwa ternyata tidak sedikit pula generasi muda yang mengukir prestasi gemilang di berbagai bidang; olahraga, seni dan budaya, teknologi dan akademik yang bahkan hingga ke tingkat internasional. Prestasi-prestasi inilah yang seharusnya lebih ditonjolkan dan diapresiasi oleh negara agar semakin banyak generasi muda yang berprestasi sehingga pada akhirnya generasi muda tidak lagi berlomba-lomba untuk membuat kerusakan akan tetapi justru berlomba-lomba dalam mengukir prestasi di berbagai bidang. Generasi berprestasi seperti inilah yang dirindukan oleh bumi pertiwi yang mampu menjawab tantangan masa depan yang kian kompleks.

            Tentu menjadi pertanyaan besar bagi kita semua bagaimana mempersiapakan generasi muda yang cerah seperti itu ?. Jawabannya adalah tentu saja dengan pendidikan dan kesehatan. Tanpa pendidikan dan kesehatan yang baik, mustahil akan lahir generasi muda seperti yang dirindukan bumi pertiwi. Pendidikan yang dimaksud yaitu : yang pertama, pendidikan yang bisa dinikmati oleh semua lapisan masyarakat, kaya maupun miskin, yang kedua, pendidikan yang mampu melahirkan generasi yang berkarakter. Generasi berkarakter tentu saja dilahirkan dari pendidikan agama yang baik karena dengan pendidikan agamalah manusia mampu menjadi manusia seutuhnya sesuai dengan fitrahnya. Namun, kenyataannya pendidikan agama saat ini seakan hanya sebagai bumbu penyedap didalam kurikulum pendidikan kita. Padahal, pendidikan agama mengasah kecerdasan emosional dan spiritual siswa sehingga mampu mengimbangi kecerdasaan intelektualya. Pendidikan agama yang kurang justru akan melahirkan generasi yang cerdas dalam merusak Bangsa bukan cerdas dalam  memperbaiki apalagi memajukan bangsa. Sebagaimana contoh cerdas yang diperlihatkan koruptor dewasa ini.

            Setelah pendidikan yang baik, maka yang harus diperhatikan pula adalah kesehatan para generasi muda. Bagaimanapun berhasilnya dunia pendidikan melahirkan generasi berkualitas, jika tidak sehat maka akan mati sia-sia generasi gemilang tersebut sehingga Bangsa tetap akan seperti ini. Padahal tantangan di masa depan menuntut generasi muda yang cerdas, berkarakter dan sehat untuk meladeninya. Itulah dua hal urgen yang harus diperhatikan oleh negara untuk melahirkan generasi gemilang demi masa depan Bangsa yang besar ini.

            Sehingga kesimpulannya adalah generasi muda yang dirindukan Bumi Pertiwi adalah generasi muda yang cerdas, sehat, dan berkarakter serta gemilang dengan prestasi-prestasinya sehingga mampu menjawab tantangan masa depan atau bahkan lebih dari itu, generasi muda Bumi Pertiwi-lah yang justru akan menantang masa depan dan membawa Indonesia menjadi lebih baik. Semoga.



Sekian 




Sunday, February 23, 2014

Bagaimana Bila Orangtua Tidak Merestui Calon Pasangan Hidup?


Sering kali kita menghadapi keadaan yang tampaknya baik tetapi sebenarnya dia tidak baik buat kita. Atau sebaliknya, tampaknya tidak baik tapi sebenarnya baik buat kita. Perang, misalnya. Tampaknya ia buruk, dan jarang orang mau berperang. Tetapi Allah mewajibkan perang kepada umat Islam dalam keadaan tertentu. Kita lihat firman-Nya: Diwajibkan atas kamu berperang, padahal ia tidak kamu sukai. Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia baik bagi kamu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal ia buruk bagi kamu. Dan Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui (QS al-Baqarah [2]: 216).

Ayat yang lebih dekat maknanya dengan perkawinan adalah firman-Nya sebagai berikut:  

Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah), karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya. (QS an-Nisa [3]: 19). 

Pada ayat itu suami diingatkan untuk tetap berbuat makruf (layak, patut) kepada istrinya. Karena boleh jadi dia membenci sesuatu pada istrinya itu padahal ia baik bagi dirinya.

Begitu juga dalam hal memilih pasangan. Boleh jadi apa yang menjadi pilihan kita sebagai calon suami-istri tampak baik, kita suka sama suka, sudah ada kecocokan, tetapi sebenarnya calon pasangan itu tidak baik buat kita. Ada kalanya sulit untuk “menebak” apakah calon ini baik atau tidak baik buat kita. Oleh karena itu, ada shalat yang disunnahkan untuk meminta Allah menunjukkan pilihan-Nya yang terbaik buat kita atau agar kita mantap dalam pilihan kita. Yaitu shalat istikharah.

Anda sudah melakukan shalat istikharah? Kalau belum, cobalah lakukan. Rasulullah saw. bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian ingin melakukan sesuatu, sebaiknya ia melakukan shalat dua rakaat selain shalat yang wajib. Seusai shalat membaca doa: Ya Allah, sesungguhnya aku memohon pilihan terbaik-Mu berkat pengetahuan-Mu, memohon takdir-Mu dengan kekuasaan-Mu, dan aku memohon keutamaan-Mu yang amat besar. Karena sesungguhnya Engkau Mahakuasa, sedangkan aku tidak kuasa. Engkau Mahatahu, sedangkan aku tidak tahu. Engkau Maha Tahu hal-hal yang gaib. Ya Allah, jika dalam pengetahuan-Mu persoalan ini (di sini disebutkan apa yang menjadi keinginannya) baik bagiku dalam agamaku, kehidupanku, maupun masa depanku, maka takdirkanlah ia untukku dan mudahkanlah ia untukku, kemudian berkahilah aku padanya. Dan jika dalam pengetahuan-Mu persoalan ini buruk bagiku, bagi agamaku, duniaku, maupun akhiratku, maka palingkanlah ia dariku, dan palingkanlah aku darinya. Takdirkanlah untukku yang baik, di mana pun kebaikan itu adanya. Kemudian ridhailah aku.” (HR Muslim). Cobalah lakukan shalat istikharah beberapa kali. Insya Allah setelah shalat istikharah akan ada kemantapan.

Jika pilihan kita itu berseberangan dengan kriteria orang tua, kita lihat apakah kriteria itu masih dalam batas-batas yang ditoleransi agama atau tidak. Misalnya, jika orang tua lebih memlih A yang dari keturunan Bapak B yang dikenal baik, itu bisa dipertimbangkan untuk diterima. Sebab, soal keturunan (nasab) merupakan salah satu yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan pilihan. Tetapi kalau kriteria itu lebih kepada kriteria keduniaan (pangkat, partai politik, jabatan, dan lain-lain), itu bisa diabaikan. Dan jika kriteria orang tua itu justru mengandung unsur-unsur yang dapat membawa kepada kesyirikan, maka pada saat itu anak harus tidak mengikuti perintah atau keinginan orang tua, dengan tetap mempergaulinya secara patut. Saya ikut berdoa semoga ada kecocokan antara pilihan Anda dan kriteria orangtua Anda. Amin.
Demikian, wallahu a’lam.

[Muhammad Arifin - Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur'an

Source: alifmagz.com
===