Friday, March 21, 2014

Manusia Bukan Makhluk Paling Sempurna


Tiada perselisihan di kalangan ulama menyangkut kesempurnaan penciptaan manusia. Banyak sekali dalil keagamaan yang dapat dikemukakan untuk membuktikannya. Di antaranya adalah, Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (QS. at-Tîn [95]: 4). Diskusi akan lahir berkaitan dengan kesempurnaan manusia dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain dan makna kesempurnaan itu.

Menurut hemat penulis, kita tidak dapat mengklaim atas nama al-Qur’an bahwa manusia adalah makhluk yang paling sempurna berdasarkan firman Allah dalam ayat 4 surah at-Tîn di atas, karena ada juga ayat lain yang secara tegas menyatakan, (Allah) yang menciptakan segala sesuatu dengan sebaik-baik (sesempurna-sempurna) penciptaan dan Dia memulai ciptaan manusia dari tanah (QS. as-Sajdah [32]: 7). Tidak juga berdasarkan firman-Nya, Bila telah Kusempurnakan penciptaannya (manusia),… (QS. al-Hijr [15]: 29), karena dalam ayat 2 surah al-A‘lâ disebutkan: (Dia) yang menciptakan (segala sesuatu) dan menyempurnakan(QS. al-A‘lâ [87]: 2).

Kesempurnaan manusia dan makhluk lain ciptaan Allah harus dilihat dari segi fungsi dan tujuan penciptaannya. Misalnya, kesempurnaan benda tak bernyawa seperti pisau dikaitkan dengan tujuan pembuatannya, yakni memotong sehingga ia harus tajam dan dapat digunakan tanpa menimbulkan kesulitan. Kesempurnaan manusia terletak pada terpenuhinya dalam diri makhluk ini sifat-sifat fisik dan psikis sehingga mampu melaksanakan fungsinya sebagai khalifah dan hamba Allah.

Allah telah menciptakan manusia dengan potensi demikian, sehingga manusia adalah makhluk yang paling sempurna untuk tujuan ini, bahkan lebih sempurna dari malaikat. Akan tetapi, iblis yang diciptakan Allah untuk menggoda manusia adalah makhluk sempurna pula melebihi kesempurnaan manusia dan malaikat dalam bidang menggoda dan merayu. Demikianlah, masing-masing makhluk diciptakan sesuai dengan fitrah kejadiannya dalam bentuk sebaik-baiknya.

Fitrah adalah unsur-unsur dan sistem yang Allah anugerahkan kepada setiap makhluk. Fitrah manusia adalah apa yang diciptakan Allah dalam diri manusia. Ia adalah gabungan dari unsur tanah yang melahirkan jasmani dan unsur ruhani yang melahirkan akal dan jiwa. Manusia berjalan dengan kakinya adalah fitrah jasadnya. Upayanya untuk mengambil sesuatu dengan kakinya tidak sejalan dengan fitrah jasad ini. Mengambil kesimpulan dengan mengaitkan premis-premis adalah fitrah aqliahnya. Mengambil kesimpulan aqliah dengan premis-premis yang saling bertentangan, bertolak belakang dengan fitrah aqliah manusia.

Kecenderungan kepada lawan jenis adalah fitrah manusia. Ingin memiliki keturunan dan cinta anak adalah fitrah manusia, dan demikian seterusnya. Allah menciptakan manusia dengan fitrah yang digambarkan di atas. Penciptaan itu (selain Âdam, Hawâ, dan ‘Îsâ) semuanya hingga kini berlangsung melalui proses pertemuan sperma dan ovum.

Agaknya, menarik untuk dikemukakan bahwa ketika Allah menginformasikan penciptaan Âdam, Dia menggunakan redaksi “Aku ciptakan” (khalaqtu). Akan tetapi, ketika berbicara tentang reproduksi manusia, redaksi yang digunakan-Nya berbentuk pasif “Diciptakan” (khuliqa) atau “Kami ciptakan” (khalaqnâ). Kata “Kami” yang menunjuk kepada Tuhan biasanya digunakan untuk menginformasikan adanya keterlibatan selain Tuhan dalam kegiatan atau kerja yang dimaksud. Ini berarti bahwa ketika Allah menyatakan bahwa “Kami telah menciptakan manusia,” maka ini berarti bahwa ada keterlibatan selain-Nya, yaitu ibu dan bapak dalam proses kejadian itu. Keterlibatan ini tidak hanya sebatas pada upaya memilih jodoh atau mempertemukan sperma dan ovum, melainkan juga pada upaya menciptakan kondisi psikologis serta memilih makanan tertentu guna pertumbuhan dan perkembangan janin.

Dalam literatur keagamaan, sebagaimana halnya dalam kedokteran, ditemukan pesan-pesan kepada suami-istri untuk menciptakan suasana harmonis keagamaan saat berhubungan seks, misalnya dengan berdoa. Begitu pula, ditemukan anjuran-anjuran kepada ibu yang sedang mengandung untuk memakan makanan tertentu demi kesehatan dan pertumbuhan janinnya.

Dalam bukunya ath-Thifl bayan al-Warâtsah waat-Tarbiyah, Syaikh Taqiyuddîn Falsafî mengemukakan sekian banyak riwayat keagamaan itu. Di antaranya, “Berilah kurma untuk dimakan wanita pada bulan dia akan melahirkan, karena yang demikian akan menjadikan anaknya berlapang dada dan bertakwa.”

Demikian sebuah hadits yang dinisbatkan kepada Rasulullah saw. Terlepas dari sahih tidaknya hadits itu, ini menunjukkan bahwa makanan dapat membentuk sifat psikis janin. Yang cacat atau sengsara adalah yang cacat atau sengsara dalam perut ibunya. Dan yang bahagia atau sempurna adalah yang bahagia dan sempurna dalam perut ibunya. Riwayat terakhir ini menunjukkan bahwa kondisi kandungan ibu merupakan faktor utama kesempurnaan atau cacatnya janin.

Dari sini terlihat bahwa cacat fisik atau mental yang terjadi pada seorang boleh jadi adalah akibat ulah ayah dan atau ibunya sendiri, baik saat terjadinya pembuahan maupun ketika dalam kandungan. Dari sini dipahami pula mengapa al-Qur’an memilih kata “Kami” ketika menginformasikan reproduksi manusia.

[M. Quraish Shihab - Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur'an

Source : alifmagz.com

0 Comment:

Post a Comment