Monday, March 10, 2014

ISLAM MODERAT


Tanpa ada embel-embel kata “moderat” pun, ajaran Islam sebenarnya sudah moderat sejak dari sononya. Sebagian kalangan tidak mau menggunakan istilah “Islam moderat”, antara lain karena alasan itu, yaitu bahwa Islam sejak semula memang sudah moderat. Di samping itu, istilah “Islam moderat” mengesankan adanya Islam yang tidak moderat, padahal Islam hanya satu: moderat. Nah, oleh karena itu kemudian ada sejumlah pakar yang lebih memilih menggunakan kata “moderasi Islam” yang bisa berarti “kemoderatan Islam” daripada “Islam moderat”.

Kata “moderasi” itu kurang lebih adalah terjemahan dari kata wasathiyyah, bentuk mashdar shinâ‘iy dari kata wasath yang terdapat di dalam ayat 143 surah al-Baqarah: wa kadzâlika ja‘alnâkum ummatan wasathan (Dan demikianlah Kami menjadikan kamu umat yang pertengahan). Tidak hanya pada surah al-Baqarah, di beberapa ayat lain juga disebut kata yang seakar dengan kata wasath sebanyak lima kali dengan derivan yang berbeda-beda.

Dari segi tinjauan bahasa, kata wasath berarti ‘pertengahan’. Makna itu kemudian berkembang menjadi ‘adil’, karena orang yang bersifat adil biasanya mengambil posisi tengah, tidak memihak kepada siapa pun. Dalam bahasa Indonesia kita mengenal kata “wasit” yang diserap dari kata bahasa Arab wasîth, yaitu orang yang memimpin pertandingan yang tentu saja dituntut untuk bersikap adil dan tidak memihak kepada salah satu. Secara garis besar, cakupan arti kata wasath berkisar pada makna ‘adil’, ‘baik’, ‘tengah’, dan ‘seimbang’, seperti disebut oleh Ibnu Faris, seorang linguis Arab kenamaan dalam karyanya Mu‘jam Maqâyîs al-Lughah.

Yusuf Qaradhawi sudah cukup panjang membahas makna wasath dalam bukunya Fiqh al-Wasathiyyah al-Islâmiyyah wa at-Tajdîd: Ma‘âlim wa Manârât, terbitan Dâr asy-Syurûq, Kairo, 2010. Ia, misalnya, mengutip Mu‘jam Alfâzh al-Qur’ân al-Karîm terbitan Lembaga Bahasa Arab di Kairo, mengatakan bahwa wasath berarti ‘pertengahan dari dua sisi’.

Moderasi Islam juga berarti bahwa Islam tidak merestui sifat berlebihan. Sebaliknya, Islam justru mengajarkan prinsip keseimbangan (tawâzun): keseimbangan antara urusan dunia dan akhirat, keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat, keseimbangan antara jasmani dan rohani, keseimbangan antara idealisme dan realistisme, keseimbangan antara spiritualisme dan materialisme, dan sebagainya.

Di bidang akidah atau keimanan, keseimbangan (moderasi) Islam ini tampak, misalnya, pada posisi ajaran Islam yang berada di tengah-tengah antara mereka yang mempercayai khurafat dan mempercayai segala sesuatu walau tanpa dasar di satu sisi, dengan mereka yang mengingkari segala sesuatu yang berwujud metafisik di sisi lain. Selain mengajak umatnya untuk beriman kepada yang gaib (metafisik, tidak inderawi, bahkan kadang sulit dipahami akal), pada saat yang sama Islam juga mengajak akal manusia untuk membuktikan ajakannya secara rasional. Qul hâtû burhânakum in kuntum shâdiqîn (QS al-Baqarah [2]: 111). Sikap moderat Islam itu juga tampak bahwa keimanan yang diajarkan oleh Islam tidak sampai menjadikan rasul pembawa risalah sebagai Tuhan, seperti terjadi pada agama lain, dan tidak pula menyepelekannya sehingga dengan mudah dibunuh, seperti terjadi pula pada agama samawi lain.

Di bidang ibadah, moderasi Islam tampak pada pemberlakukan kewajiban yang tidak memberatkan tetapi tetap berpahala besar. Shalat bagi umat Islam hanya wajib lima kali sehari (bandingkan dengan umat terdahulu yang pernah diwajibkan melakukan shalat lima puluh kali sehari semalam!), puasa hanya satu kali dalam setahun, haji hanya sekali seumur hidup, itu pun bagi yang mampu. Selebihnya Allah memberi kebebasan kepada masing-masing hamba-Nya untuk aktif mencari nafkah dan memakmurkan bumi. Mau memperbanyak ibadah pun boleh dengan ritual-ritual sunah: puasa sunah, salat sunah, dan sebagainya.

Di bidang akhlak, manusia yang terdiri atas unsur ruh (roh, jiwa) dan jasad, ini juga harus bersikap seimbang. Kedua unsur itu harus dapat dipenuhi secara seimbang. Rasulullah saw., misalnya, melarang sahabat beliau yang berkeinginan untuk melakukan shalat malam sepanjang malam tanpa menyempatkan diri menyentuh istrinya. Beliau juga melarang sahabatnya yang ingin berpuasa sepanjang hari. Sebaliknya, beliau justru bersabda, “Berpuasalah dan berbukalah, bangun malam (untuk shalat) dan tidurlah. Sesungguhnya tubuhmu memiliki hak yang harus dipenuhi, matamu punya hak untuk dipejamkan, istrimu punya hak yang harus dipenuhi.” (HR Bukhari dari Abdullah bin Amr bin al-Ash).

Prinsip moderasi ini juga tampak pada ajaran Islam untuk tidak berprasangka buruk kepada orang lain. Boleh saja kita menganut dan memilih salah satu mazhab, misalnya, tetapi pada saat yang sama kita juga harus menghormati penganut mazhab lain selama masih berada dalam koridor yang disepakati ulama otoritatif. Dalam kaitan ini ada ungkapan ulama yang sangat terkenal bahwa ra’yuna shawâb yahtamil al-khatha’, wa ra’yu ghairinâ khatha’ yahtamil ash-shawâb (pendapat kita benar tetapi boleh jadi mengandung kesalahan, dan pendapat orang lain salah tetapi boleh jadi mengandung kebenaran).

Misalnya, jika ada orang tidak memegang tongkat ketika berkhutbah Jumat, atau tidak makan di lantai –kedua hal itu dilakukan oleh Rasulullah saw.– kita tidak perlu buru-buru mengatakan bahwa mereka tidak mengikuti sunah. Atau, apabila kita menemukan ada ulama yang berfatwa dalam hukum yang memberikan kemudahan, kita jangan buru-buru menuduhnya telah menggampangkan agama atau melakukan keteledoran. Prasangka baik harus tetap 
dikedepankan sebagai salah satu buah dari prinsip moderasi Islam.

Cukup panjang kalau kita mau berbicara agak lengkap tentang prinsip moderasi Islam atau Islam moderat ini. Anda dapat merujuk buku Moderasi Islam: Menangkal Radikalisme Berbasis Agama yang ditulis oleh Dr. Muchlis M Hanafi terbitan Ikatan Alumni Al-Azhar Internasional cabang Indonesia bekerja sama dengan Pusat Studi al-Qur’an (PSQ) tahun 2013, atau Moderasi Islam, salah satu rangkaian Tafsir Tematik yang diterbitkan oleh Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Bidang Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI tahun 2012. Anda juga dapat merujuk buku berbahasa Arab berjudul Fiqh al-Wasathiyyah al-Islâmiyyah wa at-Tajdîd: Ma‘âlim wa Manârât yang ditulis oleh Syaikh Yusuf Qaradhawi dan diterbitkan oleh Dâr asy-Syurûq, Kairo, tahun 2010.

Namun demikian, saya ingin menambahkan secara singkat beberapa ciri moderasi Islam yang kiranya perlu kita ketahui, yaitu:
 
1. Memahami realitas. Kehidupan manusia ini berkembang tanpa batas, sementara teks-teks keagamaan terbatas (jumlah ayat al-Qur’an hanya 6.236 ayat dan tidak akan bertambah, jumlah hadis Nabi juga tidak lebih dari 6.000-an hadis). Oleh karena itu, ada hal-hal yang bersifat tetap (tswâbit), ada pula yang bersifat berubah (mutaghayyirât). Yang tswâbit sangat sedikit (berupa prinsip-prinsip akidah, ibadah, muamalah, dan akhlak. Sedangkan yang mutaghayyirât amat banyak jumlahnya. Oleh karena itulah kita bisa mengerti mengapa fatwa ulama di negara A terkadang berbeda dengan ulama di negara B, atau fatwa ulama pada abad sekian berbeda dengan fatwa ulama kontemporer.

2. Memahami prioritas. Dalam perintah dan larangan, ada beberapa tingkatan. Ada mubah (boleh), sunnah (dianjurkan), sunnah mu’akkadah (sangat dianjurkan), wajib atau fardu. Yang wajib atau fardu ini pun ada yang bersifat ‘ain (individu) dan ada yang bersifat kifayah (kolektif) yang apabila sudah dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang maka orang lain tidak terkena lagi kewajiban itu. Untuk beragama secara moderat menuntut kita untuk pandai-pandai memahami mana yang harus kita dahulukan.

3. Memahami teks-teks keagamaan secara komprehensif. Ayat-ayat al-Qur’an saling terkait satu sama lain. Kita harus memamahinya secara utuh, karena ayat yang satu menjelaskan ayat yang lain dalam tema yang sama atau berkaitan. Ini yang kita kenal dengan istlah al-Qur’ân yufassiru ba‘dhuhu ba‘dhan. Sebagai contoh, dengan membaca seluruh ayat-ayat al-Qur’an terkait jihad, akan kita pahami bahwa kata “jihad” tidak selalu berarti perang atau angkat senjata. Tetapi jika kita hanya membaca satu dua ayat jihad yang terlepas dari konteksnya atau kaitannya dengan ayat yang lain, bisa saja kita akan mendapat kesan bahwa ajaran Islam itu keras, kejam, tidak toleran, dan sebagainya. Ini mirip dengan tahi lalat yang ada pada wajah seseorang yang membuatnya tampak menarik. Wajah orang itu akan menarik kalau dilihat secara utuh, tetapi akan sangat tidak menarik kalau yang dilihat hanya tahi lalatnya, meskipun tahi lalat itu adalah unsur penting yang membuatnya menarik!
Demikian saya kira, wallahu a’lam.

[M Arifin - Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur'an

Source : alifmagz.com

0 Comment:

Post a Comment