Tanpa ada embel-embel kata “moderat” pun, ajaran Islam sebenarnya sudah moderat sejak dari sononya. Sebagian kalangan tidak mau menggunakan istilah “Islam moderat”, antara
lain karena alasan itu, yaitu bahwa Islam sejak semula memang sudah
moderat. Di samping itu, istilah “Islam moderat” mengesankan adanya
Islam yang tidak moderat, padahal Islam hanya satu: moderat. Nah,
oleh karena itu kemudian ada sejumlah pakar yang lebih memilih
menggunakan kata “moderasi Islam” yang bisa berarti “kemoderatan Islam”
daripada “Islam moderat”.
Kata “moderasi” itu kurang lebih adalah terjemahan dari kata wasathiyyah, bentuk mashdar shinâ‘iy dari kata wasath yang terdapat di dalam ayat 143 surah al-Baqarah: wa kadzâlika ja‘alnâkum ummatan wasathan
(Dan demikianlah Kami menjadikan kamu umat yang pertengahan). Tidak
hanya pada surah al-Baqarah, di beberapa ayat lain juga disebut kata
yang seakar dengan kata wasath sebanyak lima kali dengan derivan yang berbeda-beda.
Dari segi tinjauan bahasa, kata wasath berarti
‘pertengahan’. Makna itu kemudian berkembang menjadi ‘adil’, karena
orang yang bersifat adil biasanya mengambil posisi tengah, tidak memihak
kepada siapa pun. Dalam bahasa Indonesia kita mengenal kata “wasit” yang diserap dari kata bahasa Arab wasîth,
yaitu orang yang memimpin pertandingan yang tentu saja dituntut untuk
bersikap adil dan tidak memihak kepada salah satu. Secara garis besar,
cakupan arti kata wasath berkisar pada makna ‘adil’, ‘baik’,
‘tengah’, dan ‘seimbang’, seperti disebut oleh Ibnu Faris, seorang
linguis Arab kenamaan dalam karyanya Mu‘jam Maqâyîs al-Lughah.
Yusuf Qaradhawi sudah cukup panjang membahas makna wasath dalam bukunya Fiqh al-Wasathiyyah al-Islâmiyyah wa at-Tajdîd: Ma‘âlim wa Manârât, terbitan Dâr asy-Syurûq, Kairo, 2010. Ia, misalnya, mengutip Mu‘jam Alfâzh al-Qur’ân al-Karîm terbitan Lembaga Bahasa Arab di Kairo, mengatakan bahwa wasath berarti ‘pertengahan dari dua sisi’.
Moderasi Islam juga berarti bahwa Islam tidak merestui sifat
berlebihan. Sebaliknya, Islam justru mengajarkan prinsip keseimbangan (tawâzun):
keseimbangan antara urusan dunia dan akhirat, keseimbangan antara
kepentingan individu dan masyarakat, keseimbangan antara jasmani dan
rohani, keseimbangan antara idealisme dan realistisme, keseimbangan
antara spiritualisme dan materialisme, dan sebagainya.
Di bidang akidah atau keimanan, keseimbangan (moderasi) Islam ini
tampak, misalnya, pada posisi ajaran Islam yang berada di tengah-tengah
antara mereka yang mempercayai khurafat dan mempercayai segala sesuatu
walau tanpa dasar di satu sisi, dengan mereka yang mengingkari segala
sesuatu yang berwujud metafisik di sisi lain. Selain mengajak umatnya
untuk beriman kepada yang gaib (metafisik, tidak inderawi, bahkan kadang
sulit dipahami akal), pada saat yang sama Islam juga mengajak akal
manusia untuk membuktikan ajakannya secara rasional. Qul hâtû burhânakum in kuntum shâdiqîn
(QS al-Baqarah [2]: 111). Sikap moderat Islam itu juga tampak bahwa
keimanan yang diajarkan oleh Islam tidak sampai menjadikan rasul pembawa
risalah sebagai Tuhan, seperti terjadi pada agama lain, dan tidak pula
menyepelekannya sehingga dengan mudah dibunuh, seperti terjadi pula pada
agama samawi lain.
Di bidang ibadah, moderasi Islam tampak pada pemberlakukan kewajiban
yang tidak memberatkan tetapi tetap berpahala besar. Shalat bagi umat
Islam hanya wajib lima kali sehari (bandingkan dengan umat terdahulu
yang pernah diwajibkan melakukan shalat lima puluh kali sehari
semalam!), puasa hanya satu kali dalam setahun, haji hanya sekali seumur
hidup, itu pun bagi yang mampu. Selebihnya Allah memberi kebebasan
kepada masing-masing hamba-Nya untuk aktif mencari nafkah dan
memakmurkan bumi. Mau memperbanyak ibadah pun boleh dengan ritual-ritual
sunah: puasa sunah, salat sunah, dan sebagainya.
Di bidang akhlak, manusia yang terdiri atas unsur ruh (roh, jiwa) dan
jasad, ini juga harus bersikap seimbang. Kedua unsur itu harus dapat
dipenuhi secara seimbang. Rasulullah saw., misalnya, melarang sahabat
beliau yang berkeinginan untuk melakukan shalat malam sepanjang malam
tanpa menyempatkan diri menyentuh istrinya. Beliau juga melarang
sahabatnya yang ingin berpuasa sepanjang hari. Sebaliknya, beliau justru
bersabda, “Berpuasalah dan berbukalah, bangun malam (untuk shalat) dan
tidurlah. Sesungguhnya tubuhmu memiliki hak yang harus dipenuhi, matamu
punya hak untuk dipejamkan, istrimu punya hak yang harus dipenuhi.” (HR
Bukhari dari Abdullah bin Amr bin al-Ash).
Prinsip moderasi ini juga tampak pada ajaran Islam untuk tidak
berprasangka buruk kepada orang lain. Boleh saja kita menganut dan
memilih salah satu mazhab, misalnya, tetapi pada saat yang sama kita
juga harus menghormati penganut mazhab lain selama masih berada dalam
koridor yang disepakati ulama otoritatif. Dalam kaitan ini ada ungkapan
ulama yang sangat terkenal bahwa ra’yuna shawâb yahtamil al-khatha’, wa ra’yu ghairinâ khatha’ yahtamil ash-shawâb
(pendapat kita benar tetapi boleh jadi mengandung kesalahan, dan
pendapat orang lain salah tetapi boleh jadi mengandung kebenaran).
Misalnya, jika ada orang tidak memegang tongkat ketika berkhutbah
Jumat, atau tidak makan di lantai –kedua hal itu dilakukan oleh
Rasulullah saw.– kita tidak perlu buru-buru mengatakan bahwa mereka
tidak mengikuti sunah. Atau, apabila kita menemukan ada ulama yang
berfatwa dalam hukum yang memberikan kemudahan, kita jangan buru-buru
menuduhnya telah menggampangkan agama atau melakukan keteledoran.
Prasangka baik harus tetap
dikedepankan sebagai salah satu buah dari
prinsip moderasi Islam.
Cukup panjang kalau kita mau berbicara agak lengkap tentang prinsip
moderasi Islam atau Islam moderat ini. Anda dapat merujuk buku Moderasi Islam: Menangkal Radikalisme Berbasis Agama yang ditulis oleh Dr. Muchlis M Hanafi terbitan Ikatan Alumni Al-Azhar Internasional cabang Indonesia bekerja sama dengan Pusat Studi al-Qur’an (PSQ) tahun 2013, atau Moderasi Islam, salah satu rangkaian Tafsir Tematik
yang diterbitkan oleh Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Bidang
Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI tahun 2012. Anda juga dapat
merujuk buku berbahasa Arab berjudul Fiqh al-Wasathiyyah al-Islâmiyyah wa at-Tajdîd: Ma‘âlim wa Manârât yang ditulis oleh Syaikh Yusuf Qaradhawi dan diterbitkan oleh Dâr asy-Syurûq, Kairo, tahun 2010.
Namun demikian, saya ingin menambahkan secara singkat beberapa ciri moderasi Islam yang kiranya perlu kita ketahui, yaitu:
1. Memahami realitas. Kehidupan manusia ini berkembang
tanpa batas, sementara teks-teks keagamaan terbatas (jumlah ayat
al-Qur’an hanya 6.236 ayat dan tidak akan bertambah, jumlah hadis Nabi
juga tidak lebih dari 6.000-an hadis). Oleh karena itu, ada hal-hal yang
bersifat tetap (tswâbit), ada pula yang bersifat berubah (mutaghayyirât). Yang tswâbit sangat sedikit (berupa prinsip-prinsip akidah, ibadah, muamalah, dan akhlak. Sedangkan yang mutaghayyirât
amat banyak jumlahnya. Oleh karena itulah kita bisa mengerti mengapa
fatwa ulama di negara A terkadang berbeda dengan ulama di negara B, atau
fatwa ulama pada abad sekian berbeda dengan fatwa ulama kontemporer.
2. Memahami prioritas. Dalam perintah dan larangan,
ada beberapa tingkatan. Ada mubah (boleh), sunnah (dianjurkan), sunnah
mu’akkadah (sangat dianjurkan), wajib atau fardu. Yang wajib atau fardu
ini pun ada yang bersifat ‘ain (individu) dan ada yang bersifat kifayah
(kolektif) yang apabila sudah dilakukan oleh seseorang atau sekelompok
orang maka orang lain tidak terkena lagi kewajiban itu. Untuk beragama
secara moderat menuntut kita untuk pandai-pandai memahami mana yang
harus kita dahulukan.
3. Memahami teks-teks keagamaan secara komprehensif.
Ayat-ayat al-Qur’an saling terkait satu sama lain. Kita harus
memamahinya secara utuh, karena ayat yang satu menjelaskan ayat yang
lain dalam tema yang sama atau berkaitan. Ini yang kita kenal dengan
istlah al-Qur’ân yufassiru ba‘dhuhu ba‘dhan. Sebagai contoh,
dengan membaca seluruh ayat-ayat al-Qur’an terkait jihad, akan kita
pahami bahwa kata “jihad” tidak selalu berarti perang atau angkat
senjata. Tetapi jika kita hanya membaca satu dua ayat jihad yang
terlepas dari konteksnya atau kaitannya dengan ayat yang lain, bisa saja
kita akan mendapat kesan bahwa ajaran Islam itu keras, kejam, tidak
toleran, dan sebagainya. Ini mirip dengan tahi lalat yang ada pada wajah
seseorang yang membuatnya tampak menarik. Wajah orang itu akan menarik
kalau dilihat secara utuh, tetapi akan sangat tidak menarik kalau yang
dilihat hanya tahi lalatnya, meskipun tahi lalat itu adalah unsur
penting yang membuatnya menarik!
Demikian saya kira, wallahu a’lam.
[M Arifin - Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur'an]
Source : alifmagz.com
0 Comment:
Post a Comment