Darul Ma'arif Asry

Amin.....Al-Fatihah..!

The Power of Affirmation

Imagine, Plan, and Action !!!

ANGKASA

Angkatan Sembilan Al-Ikhlas

IQTK 2013

Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Khusus Angkatan 2013

Islami is NOT classic

Islami = Modern Civilization based on Classic Civilizatin

Mohon Maaf Atas Segala Ketidaksempurnaan Blog ini

Dalam Proses Penyempurnaan....

Wednesday, February 26, 2014

Makna "Kun Fayakun"


Kata yakûn adalah kata kerja masa kini dan atau datang (mudhâri‘). benar bahwa ada proses dan rentang waktu dalam penciptaan alam, al-Qur’an menamainya enam hari. Kita tidak dapat memastikan apa yang dimaksud dengan enam hari itu. Yang jelas, kata hari tidak hanya digunakan dalam arti sehari semalam, atau 24 jam, tetapi bisa juga dalam arti periode. Berapa lama satu periode, ini pun tidak ada penjelasannya dalam al-Qur’an dan hadits. Boleh jadi, ilmuwan dapat memberi jawabannya, tetapi jawaban mereka ketika itu, bukan sesuatu yang harus dipercaya sebagai ajaran agama. Boleh-boleh saja setuju atau tidak. Demikian juga ketika berbicara tentang penciptaan ‘Îsâ as., al-Qur’an menyatakan bahwa beliau serupa dengan Âdam, Dia menciptakannya dari tanah, kemudian berkata kepadanya, “Jadilah,” maka jadilah dia (QS. Âli ‘Imrân [3]: 59). Ini bukan berarti bahwa ‘Îsâ as. lahir sedemikian cepat dan tanpa proses yang dialami oleh para ibu ketika melahirkan bayinya. Bacalah QS. Maryam [19]: 16-26 yang menjelaskan proses tersebut mulai kehamilan sampai detik-detik menjelang kelahiran putranya.
 
Kata kun dalam firman-Nya, Kun Fayakûn, digunakan untuk menggambarkan betapa mudah Allah swt. menciptakan sesuatu dan betapa cepat terciptanya sesuatu bila Dia menghendaki. Cepat dan mudahnya itu diibaratkan dengan mengucapkan kata kun walaupun sebenarnya Allah swt. tidak perlu mengucapkannya karena Dia tidak memerlukan suatu apa pun untuk mewujudkan apa yang dikehendaki-Nya. Sekali lagi, kata kun hanya melukiskan—bagi manusia—betapa Allah swt. tidak membutuhkan sesuatu untuk mewujudkan kehendak-Nya dan betapa cepat sesuatu dapat terwujud sama bahkan lebih cepat—jika Dia menghendaki—dari masa yang digunakan manusia mengucapkan kata kun. Anda harus menggarisbawahi bahwa hal tersebut demikian bila Dia menghendaki. Penciptaan alam tidak dikehendaki-Nya sedemikian cepat, tetapi melalui proses, antara lain agar manusia sadar bahwa proses itu bukanlah satu hal yang buruk karena Allah swt. sendiri yang kuasa menciptakan sesuatu tanpa proses, menciptakan alam raya dengan proses.

Kata lahu (kepadanya) dalam firman-Nya, Yaqûlu lahu, memberi kesan bahwa wujud sesuatu itu telah ada sebelum adanya kata “jadilah” karena Dia berkata kepadanya, yakni pada apa yang akan dijadikannya itu, “Jadilah.” Kesan ini pada tempatnya. Dari sisi lain, dapat juga dikatakan bahwa sesuatu yang diwujudkan itu, sebenarnya telah hadir dalam ilmu Tuhan sebelum kehadirannya dalam kenyataan atau dalam pengetahuan makhluk. Bukankah Dia mengetahui segala sesuatu sebelum, saat, dan sesudah wujudnya?  Demikian, wallâhu a‘lam.

[M. Quraish Shihab - Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur'an

Source : alifmagz.com

GENERASI MUDA YANG DIRINDUKAN BUMI PERTIWI


            Generasi muda adalah generasi harapan bangsa, di tangannyalah nasib Bangsa ini. Maju atau tidaknya bangsa tercinta ini bergantung pada kualitas generasi muda. Karena bagaimanapun para birokrat hari ini pasti akan digantikan oleh generasi muda seiring berjalannya waktu.

            Peran generasi muda untuk Bangsa ini sebenarnya telah terlihat mulai pada masa perjuangan. Pada saat itu kita mengetahui dalam sejarah bahwa Sang Proklamator diculik oleh para generasi muda yang kemudian “memaksa” mereka berdua untuk memanfaatkan kesempataan menyerahnya Jepang pada sekutu untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Berkat aksi “nekat” generasi muda itulah sehingga saat ini kita bisa menghirup udara bebas di tanah air tercinta ini tanpa perlu khawatir akan adanya suara tembakan, meriam, pesawat tempur, jeritan penyiksaan dan lain sebagainya sebagaimana yang dialamai oleh para pejuang kemerdekaan kita dahulu.

            Selain itu, generasi muda kembali memperlihatkan taringnya ketika jargon “kemerdekaan” hanya isapan jempol belaka. Di era orde baru, meskipun kita telah merdeka dari penjajah asing ternyata elit negeri ini justru mengkhianati makna kemerdekaan yang telah susah payah diraih oleh para pahlawan kita dengan kembali “menjajah” rakyat negeri sendiri. Korupsi, kolusi dan nepotisme merajalela, mulut rakyat dibungkam serapat mungkin dengan berbagai cara bahkan hingga menjatuhkan korban. Melihat keadaan itu, generasi muda di seluruh Nusantara dengan darah mudanya yang berapi-api bersatu padu mereformasi keadaan kelam itu dengan berbagai cara termasuk melakukan demonstrasi besar-besaran. Generasi muda saat itu tampil sebagai garda terdepan memperjuangkan harapan terpendam rakyat Indonesia yaitu terciptanya negara Indonesia yang merdeka seutuhnya. Sekali lagi, berkat generasi muda Bangsa ini berhasil melangkah menuju Indonesia yang lebih baik.

            Dua contoh yang penulis kemukakan tersebut telah menjadi bukti betapa peran generasi muda sangat menentukan nasib Bangsa tercinta ini. Namun, betapa sedih bumi pertiwi ketika menyaksikan generasi muda dewasa ini yang telah banyak diracuni oleh kelamnya dunia narkoba, minuman keras, pergaulan bebas, tawuran dan lain sebagainya. Dengan tenggelamnya generasi muda dalam dunia penuh kerusakan itu rasa khawatir dan penuh cemas menyelimuti bumi pertiwi. Bumi pertiwi mempertanyakan : “Generasi muda yang seperti inikah yang akan memegang kendali Bangsa ini ? Bagaimanakah rupa bangsa ini nantinya ?”. Perasaan cemas itu semakin menjadi-jadi ketika melihat media yang memberitakan para elit yang menggunakan narkoba, bermain perempuan dan tega melakukan korupsi serta memperkaya dirinya sendiri disaat rakyatnya susah payah mencari sesuap nasi. Jika saat ini saja para elit sedemikian bejatnya apatah lagi ketika generasi yang akan menggantikan mereka adalah generasi muda yang telah rusak dengan kerusakan-kerusakan sebagaimana yang penulis kemukakan sebelumnya.

            Sesekali bumi pertiwi tersenyum melihat kenyataan bahwa ternyata tidak sedikit pula generasi muda yang mengukir prestasi gemilang di berbagai bidang; olahraga, seni dan budaya, teknologi dan akademik yang bahkan hingga ke tingkat internasional. Prestasi-prestasi inilah yang seharusnya lebih ditonjolkan dan diapresiasi oleh negara agar semakin banyak generasi muda yang berprestasi sehingga pada akhirnya generasi muda tidak lagi berlomba-lomba untuk membuat kerusakan akan tetapi justru berlomba-lomba dalam mengukir prestasi di berbagai bidang. Generasi berprestasi seperti inilah yang dirindukan oleh bumi pertiwi yang mampu menjawab tantangan masa depan yang kian kompleks.

            Tentu menjadi pertanyaan besar bagi kita semua bagaimana mempersiapakan generasi muda yang cerah seperti itu ?. Jawabannya adalah tentu saja dengan pendidikan dan kesehatan. Tanpa pendidikan dan kesehatan yang baik, mustahil akan lahir generasi muda seperti yang dirindukan bumi pertiwi. Pendidikan yang dimaksud yaitu : yang pertama, pendidikan yang bisa dinikmati oleh semua lapisan masyarakat, kaya maupun miskin, yang kedua, pendidikan yang mampu melahirkan generasi yang berkarakter. Generasi berkarakter tentu saja dilahirkan dari pendidikan agama yang baik karena dengan pendidikan agamalah manusia mampu menjadi manusia seutuhnya sesuai dengan fitrahnya. Namun, kenyataannya pendidikan agama saat ini seakan hanya sebagai bumbu penyedap didalam kurikulum pendidikan kita. Padahal, pendidikan agama mengasah kecerdasan emosional dan spiritual siswa sehingga mampu mengimbangi kecerdasaan intelektualya. Pendidikan agama yang kurang justru akan melahirkan generasi yang cerdas dalam merusak Bangsa bukan cerdas dalam  memperbaiki apalagi memajukan bangsa. Sebagaimana contoh cerdas yang diperlihatkan koruptor dewasa ini.

            Setelah pendidikan yang baik, maka yang harus diperhatikan pula adalah kesehatan para generasi muda. Bagaimanapun berhasilnya dunia pendidikan melahirkan generasi berkualitas, jika tidak sehat maka akan mati sia-sia generasi gemilang tersebut sehingga Bangsa tetap akan seperti ini. Padahal tantangan di masa depan menuntut generasi muda yang cerdas, berkarakter dan sehat untuk meladeninya. Itulah dua hal urgen yang harus diperhatikan oleh negara untuk melahirkan generasi gemilang demi masa depan Bangsa yang besar ini.

            Sehingga kesimpulannya adalah generasi muda yang dirindukan Bumi Pertiwi adalah generasi muda yang cerdas, sehat, dan berkarakter serta gemilang dengan prestasi-prestasinya sehingga mampu menjawab tantangan masa depan atau bahkan lebih dari itu, generasi muda Bumi Pertiwi-lah yang justru akan menantang masa depan dan membawa Indonesia menjadi lebih baik. Semoga.



Sekian 




Sunday, February 23, 2014

Bagaimana Bila Orangtua Tidak Merestui Calon Pasangan Hidup?


Sering kali kita menghadapi keadaan yang tampaknya baik tetapi sebenarnya dia tidak baik buat kita. Atau sebaliknya, tampaknya tidak baik tapi sebenarnya baik buat kita. Perang, misalnya. Tampaknya ia buruk, dan jarang orang mau berperang. Tetapi Allah mewajibkan perang kepada umat Islam dalam keadaan tertentu. Kita lihat firman-Nya: Diwajibkan atas kamu berperang, padahal ia tidak kamu sukai. Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia baik bagi kamu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal ia buruk bagi kamu. Dan Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui (QS al-Baqarah [2]: 216).

Ayat yang lebih dekat maknanya dengan perkawinan adalah firman-Nya sebagai berikut:  

Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah), karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya. (QS an-Nisa [3]: 19). 

Pada ayat itu suami diingatkan untuk tetap berbuat makruf (layak, patut) kepada istrinya. Karena boleh jadi dia membenci sesuatu pada istrinya itu padahal ia baik bagi dirinya.

Begitu juga dalam hal memilih pasangan. Boleh jadi apa yang menjadi pilihan kita sebagai calon suami-istri tampak baik, kita suka sama suka, sudah ada kecocokan, tetapi sebenarnya calon pasangan itu tidak baik buat kita. Ada kalanya sulit untuk “menebak” apakah calon ini baik atau tidak baik buat kita. Oleh karena itu, ada shalat yang disunnahkan untuk meminta Allah menunjukkan pilihan-Nya yang terbaik buat kita atau agar kita mantap dalam pilihan kita. Yaitu shalat istikharah.

Anda sudah melakukan shalat istikharah? Kalau belum, cobalah lakukan. Rasulullah saw. bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian ingin melakukan sesuatu, sebaiknya ia melakukan shalat dua rakaat selain shalat yang wajib. Seusai shalat membaca doa: Ya Allah, sesungguhnya aku memohon pilihan terbaik-Mu berkat pengetahuan-Mu, memohon takdir-Mu dengan kekuasaan-Mu, dan aku memohon keutamaan-Mu yang amat besar. Karena sesungguhnya Engkau Mahakuasa, sedangkan aku tidak kuasa. Engkau Mahatahu, sedangkan aku tidak tahu. Engkau Maha Tahu hal-hal yang gaib. Ya Allah, jika dalam pengetahuan-Mu persoalan ini (di sini disebutkan apa yang menjadi keinginannya) baik bagiku dalam agamaku, kehidupanku, maupun masa depanku, maka takdirkanlah ia untukku dan mudahkanlah ia untukku, kemudian berkahilah aku padanya. Dan jika dalam pengetahuan-Mu persoalan ini buruk bagiku, bagi agamaku, duniaku, maupun akhiratku, maka palingkanlah ia dariku, dan palingkanlah aku darinya. Takdirkanlah untukku yang baik, di mana pun kebaikan itu adanya. Kemudian ridhailah aku.” (HR Muslim). Cobalah lakukan shalat istikharah beberapa kali. Insya Allah setelah shalat istikharah akan ada kemantapan.

Jika pilihan kita itu berseberangan dengan kriteria orang tua, kita lihat apakah kriteria itu masih dalam batas-batas yang ditoleransi agama atau tidak. Misalnya, jika orang tua lebih memlih A yang dari keturunan Bapak B yang dikenal baik, itu bisa dipertimbangkan untuk diterima. Sebab, soal keturunan (nasab) merupakan salah satu yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan pilihan. Tetapi kalau kriteria itu lebih kepada kriteria keduniaan (pangkat, partai politik, jabatan, dan lain-lain), itu bisa diabaikan. Dan jika kriteria orang tua itu justru mengandung unsur-unsur yang dapat membawa kepada kesyirikan, maka pada saat itu anak harus tidak mengikuti perintah atau keinginan orang tua, dengan tetap mempergaulinya secara patut. Saya ikut berdoa semoga ada kecocokan antara pilihan Anda dan kriteria orangtua Anda. Amin.
Demikian, wallahu a’lam.

[Muhammad Arifin - Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur'an

Source: alifmagz.com
===

Monday, February 17, 2014

"Batas" Kekuasaan Tuhan


Kata al-qadîr terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf q-d-r (qâf-dâl-râ’). Kata-kata yang terbentuk dari huruf-huruf itu mengandung arti “akhir dari sesuatu dan substansinya.” Demikian penjelasan IbnuFaris, seorang pakar bahasa al-Qur’an. Dalam kitab Mu‘jam Maqâyîs al-Lughah, dia menulis, “Jika Anda berkata qadr (takdir), maka maknanya adalah ‘ketetapan Allah atas segala sesuatu sesuai dengan batas akhir yang dikehendaki-Nya.’”
 
Ada qadar(kadar) bagi segala sesuatu yang Tuhan anugerahkan kepadanya (baca QS. ath-Thalâq [65]: 3). Misalnya saja, manusia tidak mampu terbang. Ikan tidak mampu hidup di darat. Kaum lelaki dan perempuan memunyai kodratnya sendiri. Begitu pula halnya dengan masing-masing pribadi. Karena semuanya diberi kodrat, maka semuanya diberi batas akhir kemampuan yang tidak dapat dilampauinya. Walaupun semua memilikinya, toh tetap ada batasnya. Allah juga memiliki qudrah, sehingga Dia pun qadîr. Tetapi, karena kemampuan-Nya melebihi segala makhluk-Nya, maka kita menamakan Tuhan Maha “Kuasa”. Jika demikian, tidak keliru dan bukan pula kemusyrikan bila Anda dan saya percaya bahwa ada yang berkuasa selain Allah, selama kita percaya bahwa kekuasaan kita amat-amat terbatas dibandingkan dengan kekuasaan Allah. Di sisi lain, kita harus percaya bahwa kekuasaan yang kita miliki itu bersumber dari Allah swt. Kita sendiri tidak memiliki kemampuan untuk mendatangkan manfaat dan atau menolak mudharat kecuali yang bersumber dari pemberi kemampuan (qudrah) itu, yakni Allah. Itulah makna Lâ hawlâ wa lâ quwwata illâ billâh. Al-Qur’an mengisyaratkan hal ini, dan bahkan lebih jauh dari itu. Perhatikanlah firman-Nya: … 

Dan sesungguhnya Allah adalah sebaik-baik pemberi rezeki (QS. al-Hajj [22]: 58) atau firman-Nya yang lain:

… Maka Maha Sucilah Allah, sebaik-baik pencipta (QS. al-Mu’minûn [23]: 14).

Kini, mari kita bertanya: Adakah pemberi rezeki atau pencipta selain Allah? Kedua penggalan ayat di atas mengiyakan. Akan tetapi, Allah sajalah pencipta dan pemberi rezeki sebaik-baiknya. Sementara itu, yang selain Allah adalah juga “pencipta” dan “pemberi rezeki”. Hanya saja, mereka ini adalah perantara; ciptaan dan rezeki yang mereka berikan bersumber dari Allah.

Boleh jadi Anda bertanya: Jika makna qudrah adalah batas akhir dari sesuatu dan substansinya sehingga mengandung pembatasan, maka apakah qudrah Allah juga memunyai batas? Kalau begitu, apa makna ucapan kita “Tuhan Mahakuasa”? Pertanyaan ini wajar karena memang selama ini ada yang menduga bahwa Tuhan mampu melakukan segala sesuatu tanpa batas.

Kita harus mengetahui bahwa Tuhan berkuasa menciptakan apa saja dengan syarat bahwa sesuatu itu tak mengandung pertentangan dengan dirinya sendiri. Kita harus percaya bahwa Tuhan tidak mungkin menciptakan sesuatu yang ada dan tidak ada dalam saat yang bersamaan. Allah tidak memiliki qudrah untuk menciptakan sesuatu yang mustahil. Menciptakan Tuhan seperti diri-Nya mustahil. Itulah “batas”  qudrah-Nya. Hal ini telah diakui oleh pakar-pakar agama, walaupun boleh jadi terdengar janggal. Untuk lebih jelasnya, bacalah—antara lain—buku Filsafat Agama, karya Prof. Dr. H. M. Rasyidi.

[M. Quraish Shihab - Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur'an]

Source : alifmagz.com

Adakah Hari Naas atau Hari Mujur ?


Kata “naas” terambil dari akar kata bahasa Arab nahs yang biasa diterjemahkan sial. Kata ini ditemukan dua kali dalam al-Qur’an. Yang pertama berbentuk tunggal dalam kata “hari sial” (yawm nahs) dalam ayat 19 surah al-Qamar (QS. al-Qamar [54]: 19) dan yang kedua berbentuk jamak dalam kata “hari-hari sial” (ayyâm nahisât) dalam ayat 16 surah Fushshilat (QS. Fushshilat [41]: 16).

Kedua ayat itu (“hari sial” dan “hari-hari sial”) diungkapkan al-Qur’an dalam konteks penjelasannya tentang siksaan yang melanda kaum ‘Ad yang durhaka kepada Allah. Dalam ayat 7 surah al-Hâqqah dijelaskan bahwa hari-hari itu berlangung selama tujuh hari dan delapan malam.

Beberapa kitab tafsir meriwayatkan bahwa hari sial itu adalah hari Rabu, sementara hari-hari sial yang tujuh hari itu bermula dari hari Rabu. Ada juga yang menyatakan bahwa hari sial bermula dari hari Jumat. Pendapat yang dikutip dalam kitab-kitab tafsir ini tidak bersumber dari kitab-kitab hadits standar. Misalnya, Ibnu Katsîr, seorang pakar al-Qur’an dan hadits, sekadar mengutip dan menyatakan bahwa pendapat itu diriwayatkan oleh Al-Baghâwî. Tokoh al-Baghâwî ini dikenal oleh para kritikus kitab tafsir sebagai amat gandrung mengutip pendapat-pendapat aneh, kisah-kisah, dan pendapat yang bersumber dari budaya Yahudi dan Nasrani atau yang dikenal dengan istilah Israiliyat.

Memang, ada beberapa riwayat yang menginformasikan bahwa ada hari-hari sial. Akan tetapi, nilai riwayat-riwayat itu lemah. Riwayat yang paling kuat bernilai mursal dalam arti bahwa ia dinisbahkan kepada Nabi Muhammad saw. tanpa melalui sahabatnya. Nilai hadits semacam ini tidak dapat dijadikan argumentasi keagamaan.

Jika Anda mengamati ayat-ayat al-Qur’an di atas, maka Anda melihat bahwa hari-hari sial bukan hanya satu hari, tetapi tujuh hari secara berturut-turut. Perhatikan kembali ayat 16 surah Fushshilat dan ayat 7 surah al-Hâqqah yang dikutip di atas. Ini berarti bukan hanya hari Rabu, tetapi seluruh hari dan malam dalam seminggu. Namun, di sisi lain, al-Qur’an juga secara tegas menyatakan bahwa ada malam yang penuh berkah (QS. ad-Dukhân [44]: 3). Ada juga Malam Kemuliaan (Laylah al-Qadr), dan ini berarti bahwa malam-malam itu bukanlah malam-malam sial.

Dengan demikian, kedua ayat yang berbicara tentang hari sial itu tidak boleh dipahami sebagai adanya hari-hari tertentu yang sial. Ia harus dipahami dalam arti bahwa ada kejadian-kejadian yang tidak menyenangkan seseorang yang terjadi di siang atau malam hari. Kemudian, saat-saat itu dinamai hari-hari atau malam-malam sial. Memang bahasa sering kali menisbahkan sesuatu kepada tempat, waktu, atau keadaan. Al-Qur’an, misalnya menyatakan makr al-layl (QS. Saba’ [34]: 33) yang diterjemahkan secara harfiah sebagai “tipu daya malam”, tetapi maksudnya adalah tipu daya yang terjadi di malam hari. Was’al alqaryah (QS. Yûsuf [12]: 82)—yang bila diterjemahkan secara harfiah sebagai “Dan tanyalah desa”, tapi ia berarti tanyailah penduduk yang bertempat tinggal di desa.

Rasulullah saw. mengingatkan dalam sabdanya, “Janganlah mencerca masa, karena Allah adalah (yang mengatur) masa.” Dengan demikian, tidak dibenarkan menjatuhkan kesalahan atau keburukan kepada waktu tertentu, dengan menyatakan hari sial atau hari mujur. Sebagian ulama—antara lain, Syaikh Muhammad ‘Abduh—berpendapat bahwa sebab turunnya surah al-‘Ashr adalah bahwa ketika itu sebagian orang yang gagal dalam usahanya mengeluh di waktu asar bahwa harinya adalah hari sial. Karenanya, surah itu menguraikan bahwa kegagalan dan sukses bukanlah disebabkan oleh waktu, tetapi—antara lain—oleh usaha manusia. Oleh sebab itu, rugilah mereka yang tidak beriman dan beramal, serta tidak saling berwasiat tentang kebenaran dan ketabahan.

Kita harus yakin bahwa hanya Allah sajalah Yang Maha Kuasa. Dialah Pengatur siang dan malam dan Dialah juga yang menguasainya. Mempercayai adanya penguasa selain Allah atau mempercayai bahwa hari dan malam dapat mempengaruhi keadaan mujur atau sial tanpa keterlibatan Allah dapat mengantarkan kepada kemusyrikan atau menyekutukan-Nya dengan sesuatu.

[M. Quraish Shihab - Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur'an

Source : alifmagz.com
 

Monday, February 10, 2014

Apakah Pahala Mengaji Sampai ke Arwah ?




Berdoa untuk kaum Muslim yang hidup atau yang sudah wafat adalah anjuran agama. Membaca al-Qur’an juga merupakan salah satu bentuk ibadah yang dianjurkan. Hanya saja, terdapat perbedaan paham di kalangan para ulama ihwal bermanfaat atau tidaknya bacaan itu bagi orang yang telah wafat. Memang, dalam kitab-kitab hadits standar, ditemukan hadits-hadits yang menganjurkan pembacaan al-Qur’an bagi orang yang akan atau telah wafat. Misalnya, Abû Dâwûd meriwayatkan bahwa sahabat Nabi, Ma‘qil bin Yasâr, menyatakan bahwa Nabi saw. bersabda, “Bacalah surah Yâsîn untuk orang-orang yang (akan atau sudah) mati (dari kaum Muslim).”

Nilai kesahihan hadits ini dan semacamnya diperselisihkan. Namun, di kalangan para ulama hadits, dikenal kaidah yang menyatakan bahwa hadits-hadits yang tidak terlalu lemah dapat diamalkan, khususnya dalam bidang berbagai keutamaan (fadhâ’il). Dalam konteks pertanyaan Anda, sebagian ulama menyatakan bahwa membaca al-Qur’an, pada dasarnya, dibenarkan, kapan dan di mana pun. Sekalipun hadits di atas lemah, atau bahkan tidak ada sama sekali, tidak ada halangan untuk membaca ayat-ayat al-Qur’an bagi orang yang akan atau sudah wafat.



Yang diperselisihkan oleh para ulama adalah apakah ganjaran bacaan itu dapat diperoleh oleh almarhum atau tidak. Dalam bukunya berjudul Yas’alûnaka, Syaikh Muhammad asy-Syarabashi mengutip pendapat al-Qarâfî dalam kitab al-Furûq bahwa kebajikan yang dilakukan seseorang kepada orang lain yang telah wafat mencakup tiga kategori: Pertama, disepakati tidak bermanfaat, seperti keimanan seseorang yang ingin diberikan ganjarannya kepada orang lain; kedua, disepakati bermanfaat seperti sedekah; dan ketiga, diperselisihkan apakah bermanfaat atau tidak, seperti menghajikan, berpuasa, dan membaca al-Qur’an untuknya.


Pada dasarnya, mazhab Imam Syâfi‘î menilai bahwa pahalanya tidak bermanfaat bagi orang yang telah wafat, sementara mazhab Abû Hanîfah dan Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa pahalanya dapat diterima oleh orang yang telah wafat. Imam al-Qarâfî yang bermazhab Mâlikî ini menutup keterangannya dengan mengatakan, “Persoalan ini, walaupun diperselisihkan, tidak wajar untuk ditinggalkan dalam hal pengamalannya. Sebab, siapa tahu, hal itu benar-benar dapat diterima oleh orang yang telah wafat, karena yang demikian itu berada di luar jangkauan pengetahuan kita. Perbedaan pendapat terjadi bukan pada hukum boleh-tidaknya, melainkan pada kenyataan sampai-tidaknya pahala bacaan itu kepada orang yang wafat. Demikian, wallâhu a‘lam.

[M Quraish Shihab - Dewan Pakar Pusat Studi Al-Qur'an]

Source : alifmagz.com