Darul Ma'arif Asry

Amin.....Al-Fatihah..!

The Power of Affirmation

Imagine, Plan, and Action !!!

ANGKASA

Angkatan Sembilan Al-Ikhlas

IQTK 2013

Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Khusus Angkatan 2013

Islami is NOT classic

Islami = Modern Civilization based on Classic Civilizatin

Mohon Maaf Atas Segala Ketidaksempurnaan Blog ini

Dalam Proses Penyempurnaan....

Thursday, April 24, 2014

Jika Rasul Selamat dari Godaan Setan,Mengapa Beliau Selalu Meminta Perlindungan Allah?



Rasul saw. sebagai manusia, tentu saja dapat marah jika kejahilan orang-orang musyrik telah mencapai puncaknya. Apalagi setan yang merupakan musuh abadi manusia, selalu enggan melihat siapa pun berbudi pekerti luhur. Karena itu Nabi saw. dan umatnya diingatkan dengan menggunakan redaksi yang mengandung penekanan-penekanan bahwa : Dan jika engkau benar-benar dibisikan, yakni dirayu dengan halus dan ditipu oleh setan dengan satu bisikan untuk meninggalkan apa yang dianjurkan kepadamu, misalnya mendorong secara halus untuk marah, maka mohonkanlah perlindungan kepada Allah.
 
Dengan demikian, Allah akan mengusir bisikan dan godaan itu serta melindungimu karena sesungguhnya Dia Maha Mendengar termasuk mendengar permohonanmu lagi Maha Mengetahui apa yang engkau dambakan dan apa yang direncanakan oleh setan.

Bahwa jin beliau memang masuk Islam, tetapi masih ada setan-setan lain yang berusaha mengganggu. Dalam sebuah hadits, Rasul saw. menyampaikan kepada para sahabat beliau bahwa:”Semalam tiba-tiba muncul dihadapanku jin ‘Ifrit untuk membatalkan sholatku. Maka Allah menganugerahkan aku kemampuan menangkapnya dan aku bermaksud mengikatnya pada salah satu tiang masjid hingga kalian semua di pagi hari dapat melihatnya. Tetapi aku mengingat ucapan (permohonan) saudaraku (Nabi) Sulaiman: “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang jua pun sesudahku” (QS. Shad[38]:35). Berkata perawi hadits ini : “Maka Nabi saw. mengusir (tidak mengikatnya) dalam keadaan hina terkutuk.” Ini menunjukan bahwa setan berupaya mengganggu beliau.

Ayat ini dan semacamnya, hemat kami menunjukan bahwa setan selalu berupaya menggoda dan mencari peluang dari semua manusia, siapa tahu ia tergelincir sehingga dapat mengurangi keberhasilan manusia termasuk para nabi. Keterpeliharaan para nabi dari melakukan pelanggaran terhadap Allah, tidak mengurungkan niat setan untuk merayu dan menggodanya, walaupun selalu gagal,karena pertahanan mereka sangat ampuh.

[M. Quraish Shihab - Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur’an]

Source : alifmagz.com

Thursday, April 17, 2014

Berdakwah dengan Bijaksana


Persoalan besar umat dewasa ini, saya kira, adalah persoalan persaudaraan dan persatuan. Oleh karena itu, apa pun yang dapat mencederai persaudaraan dan persatuan umat harus dihindari dan dilawan. Langkah-langkah untuk menjunjung tinggi dan mempertahankan persatuan, harus lebih diutamakan. Itu artinya, perbedaan-perbedaan kecil yang bukan prinsip yang terjadi di tengah-tengah umat tidak harus menyedot perhatian kita terlalu besar sehingga berakibat melemahkan persatuan itu sendiri.

Nah, di sini seorang da’i memang dituntut untuk benar-benar bisa bersikap arif dan bijak dalam melihat apakah suatu perbedaan yang terjadi di masyarakat adalah perbedaan prinsip (ushûl) atau bukan (furû‘). Selama bukan pokok, dan selama ada landasan hukumnya di dalam al-Qur’an dan Sunnah –walaupun bersifat umum, walaupun tidak secara langsung– perbedaan itu harus dapat ditoleransi. Jika itu yang ditempuh, maka akan lahir sikap toleran, baik pada diri sang da’i maupun pada umat.

Jika masyarakat telah mendapat pengajaran dari ustadnya bahwa peringatan maulid itu tidak ada dasar praktiknya pada zaman Rasul saw., misalnya, silakan saja mereka berpendapat seperti itu, asal tidak menyalahkan pihak lain yang melakukan peringatan maulid karena menilai ada dasarnya. Sebab, kalau kita lihat lebih dalam lagi, kedua-duanya memiliki motivasi yang sama: kecintaan kepada Rasulullah saw. Yang melarang peringatan maulid didorong oleh kecintaan kepada Rasul SAW, karena cinta lalu ingin “memurnikan” agama dari hal-hal yang tidak dicontohkan oleh Rasul SAW; sementara yang membolehkan peringatan maulid pun didorong oleh rasa cinta kepada Rasul SAW, karena cinta mereka lalu memuliakan dan mengagungkan beliau dengan cara peringatan maulid. Jadi kedua-duanya sama saja, mengapa harus diperuncing?

Selain itu, seroang da’i juga perlu mengetahui isu-isu apa saja yang sering diangkat oleh orang-orang yang sering disebut sebagai kelompok mutasyaddidûn itu. Setidaknya ada tujuh belas persoalan yang sering menjadi poros diskursus mereka, yaitu:

1)      Penyifatan Allah berada di tempat.
2)      Merendahkan kelompok Asy’ari.
3)      Menolak ikut dan aklid kepada mazhab.
4)      Mengeluarkan fatwa tanpa didukung kemampuan dan aturan.
5)      Memperluas konsep bid’ah, sehingga membid’ahkan sebagian besar kaum Muslimin.
6)      Mengharamkan tawassul kepada Nabi SAW dan menganggapnya sebagai syirik.
7)      Mengharamkan shalat di masjid-masjid yang ada kuburannya dan secara tegas mewajibkan untuk merobohkan masjid-masjid semacam itu.
8)      Menganggap berharap berkah (tabarruk) dari peninggalan-peninggalan Nabi SAW sebagai syirik.
9)      Mengharamkan peringatan maulid Nabi SAW dan menganggapnya sebagai bid’ah yang sesat.
10)  Mengharamkan bepergian untuk mengunjungi kuburan Nabi SAW, nabi-nabi lain, dan orang-orang saleh.
11)  Menuduh orang yang menguatkan perkataannya dengan ungkapan ‘demi Nabi’ telah melakukan syirik kecil.
12)  Menetapkan bahwa kedua orangtua Nabi SAW masuk neraka pada hari Kiamat kelak.
13)  Mengingkari pengetahuan orang mati terhadap orang yang menziarahinya.
14)  Menganggap salah memperbanyak zikir dan wirid.
15)  Menggunakan tasbih adalah bid’ah menurut kebanyakan mereka.
16)  Berpegang pada hal-hal lahir dan beribadah dengan pakaian.
17)  Beraksi sebelum berilmu dan mencampuradukkan antara tablig dan ilmu.

Isu-isu di atas secara sangat baik telah dibahas oleh Syaikh Ali Jum’ah, mantan Mufti Mesir dan guru besar Universitas Al-Azhar, dalam bukunya yang berjudul Al-Mutasyaddidûn: Manhajuhum wa Munâqasyat Ahamm Qadhâyâhum. Buku itu telah tersedia dalam edisi Bahasa Indonesia dengan judul Bukan Bid‘ah: Menimbang Jalan Pikiran Orang-orang yang Bersikap Keras dalam Beragama, yang diterbitkan atas kerja sama antara Ikatan Alumni Al-Azhar Internasional (IAAI) Cabang Indonesia, Pusat Studi al-Qur’an (PSQ), dan Lentera Hati. Saya kira buku itu cukup baik untuk dibaca oleh seorang da’i agar bisa bersikap lebih bijak dalam menyikapi perbedaan, terutama terkait dengan kelompok yang dinilai keras dan kaku.

Sebelum saya akhiri, saya ingin mengingatkan kita apa yang pernah diungkapkan oleh sahabat Ali bin Abi Thalib RA: An-nâsu a‘dâ’u mâ jahilû, yaitu bahwa orang cenderung memusuhi sesuatu karena ketidaktahuannya. Antarsesama umat sering saling menyalahkan karena ketidaktahuan. Dari situ, musuh bersama kita sebenarnya adalah kebodohan.
Demikian, wallahu a’lam.

[M. Arifin - Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur’an]

Source : alifmagz.com

Mengapa Rasulullah Menikahi Aisyah yang Masih di bawah Umur?



Bagi kita, umat Islam, beragama bukan semata-mata untuk mencari kepuasan. Beragama adalah berserah diri, sesuai makna asal kata “islam” itu sendiri. Selain itu, “agama” dalam bahasa Arab disebut dîn (دِين), seakar dengan kata dain (دَيْن) yang salah satu artinya adalah ‘utang’ atau ‘pembalasan’. Karena Allah sudah memberikan teramat banyak karunia kepada kita sehingga kita tidak mungkin membayar pemberian-pemberian (‘utang’) itu dengan apa pun, maka sebagai bentuk pembayarannya kita serahkan diri kita sepenuhnya kepada Dia. Itulah antara lain makna beragama.
 
Kalau kita tidak bisa mengerti mengapa dalam ibadah haji ada ritual mengelilingi Kakbah sebanyak tujuh kali, misalnya, itu tidak menjadi alasan untuk tidak melaksanakan haji. Kalau kita tidak mengerti mengapa laki-laki boleh beristri empat sedangkan perempuan tidak boleh bersuami kecuali satu, itu tidak menjadi alasan kita untuk tidak taat kepada agama. Kalau kita tidak bisa memahami bagaimana mungkin Nabi saw. bisa bolak-balik ke sidratul muntaha di langit ketujuh kemudian kembali lagi ke bumi dalam waktu hanya beberapa saat pada suatu malam, itu tidak menjadi alasan untuk tidak percaya pada peristiwa Isra’ Mikraj.

Mengenai pertanyaan yang dilontarkan oleh sebagian orang non-Muslim tentang pernikahan Nabi Muhammad saw. dengan Aisyah ra. yang dianggap masih di bawah umur, itu pun termasuk persoalan yang terkadang sulit kita pahami. Tetapi, yang cukup mengherankan, pertanyaan serupa tidak pernah terdengar dari musuh-musuh Nabi saw. pada masa beliau masih hidup. Ini artinya apa? Artinya, pernikahan Nabi saw. dengan Aisyah ra. itu bukan suatu persoalan pada masa itu! Kritik orang terhadap pernikahan Nabi saw. dengan Aisyah ra. yang dinilai masih di bawah umur, itu pada umumnya karena orang-orang itu menggunakan standar zaman sekarang untuk menilai sesuatu yang terjadi 14 abad yang lalu.

M. Quraish Shihab dalam bukunya Membaca Sirah Nabi saw. dalam Sorotan al-Qur’an dan Hadits-hadits Shahih (Cet. I, Juni 2011), mengemukakan “keheranan”-nya terkait kritik orang-orang terhadap pernikahan Nabi saw. dengan Aisyah ra. Katanya, “Ada kritik yang ditujukan kepada Nabi saw. oleh sementara orang yang hidup ratusan tahun setelah pernikahan tersebut, namun tidak terdengar kritik apa pun, apalagi cemoohan, dari mereka yang semasa dengan Nabi saw. walau dari lawan-lawan beliau yang selalu berusaha mendiskreditkan beliau.” (hlm 530). Lebih lanjut, Quraish mengatakan, “Ini karena pada masa lampau, sebelum dan pada masa Rasul, bahkan beberapa generasi sesudahnya, menikahi perempuan yang seusia dengan anak kandung merupakan sesuatu yang lumrah dalam masyarakat umat manusia. Terbaca dalam uraian yang lalu tentang perkawinan ayah Nabi, Abdullah, bagaimana ayahnya, yakni Abdu Muththalib, menikahi juga perempuan yang sebaya dengan istri anaknya, yakni Halah, anak paman Aminah.” (hlm 530).

Di halaman yang sama buku itu, Prof. Quraish Shihab juga memaparkan fakta sejarah bahwa Umar bin Khaththab ra. menawarkan anaknya yang muda belia, Hafshah, yang sebaya dengan Aisyah, untuk dinikahi Utsman ra. Juga Umar bin al-Khaththab menikahi putri Ali bin Abi Thalib yang dapat dinilai sebagai semacam pernikahan antara “kakek dengan cucu”. Demikian juga halnya pernikahan Zaid ibn Haritsah, bekas anak angkat Rasul saw., dengan Ummu Aiman yang mengasuh Nabi sewaktu kecil. Ini serupa juga dengan pernikahan “nenek” dengan cucunya. Demikian kurang lebih uraian Quraish Shihab.

Jadi, dapat kita katakan bahwa pernikahan seorang lelaki tua dengan perempuan yang relatif masih sangat muda adalah hal yang biasa pada masyarakat masa itu. Bukan sesuatu yang aneh, apalagi aib. Dan itu bukan hanya terjadi pada masyarakat Arab, tetapi juga pada masyarakat lain.

Raja Hendri Kelima, leluhur Ratu Elizabeth, Ratu Inggris, sekitar 500 tahun yang lalu menikah dengan enam orang gadis yang muda-muda. Bahkan hingga beberapa tahun yang lalu di Spanyol dan Portugis, juga di beberapa pegunungan di Amerika Serikat, perkawinan dengan gadis-gadis muda masih berlaku. Sastrawan dan filosof Mesir kontemporer, Anis Manshur (lahir Agustus 1924), dalam bukunya Min Awwal Nazhrah, mengutip uraian Nena Beton dalam bukunya yang menguraikan “Cinta dan Orang-orang Spanyol”, bahwa telah menjadi kebiasaan pada abad ke-12 dan ke-13 bahwa masyarakat mengawinkan anak-anak lelaki mereka pada usia sangat muda. Ini disebabkan karena para tuan tanah merampas anak-anak kecil dan mempekerjakan mereka tanpa imbalan. Demikian Anis Mansur yang dikutip oleh Quraish Shihab.

Agaknya, seperti disimpulkan oleh Quraish Shihab dari uraian di atas, kebiasaan masyarakat Arab masa lalu itu untuk mengawinkan putri-putri mereka yang masih kecil disebabkan karena khawatir anak perempuannya terlantar atau diperkosa akibat perang antar-suku. Dengan mengawinkan mereka sejak kecil, maka akan bertambah perlindungan atas mereka dari suami dan suku suaminya.

Di sisi lain, perempuan yang tinggal di daerah tropis sering kali lebih cepat dewasa dibandingkan dengan mereka yang bermukim di daerah-daerah dingin. Tidak jarang dalam usia delapan tahun gadis-gadis di sana telah mengalami menstruasi. Dalam kasus Aisyah, “kesiapannya untuk dinikahi” ini dapat dibuktikan dengan telah dilamarnya ia –sebelum dilamar Nabi saw.– oleh Jubair bin Muth’im bin ‘Adi. Tetapi proses pernikahan mereka tertunda-tunda karena kedua orangtua Jubair khawatir jangan sampai anaknya memeluk agama Islam. Karena berlarutnya penangguhan itu, maka Abu Bakar ra., ayah kandung Aisyah ra., secara baik-baik mendatangi keluarga Jubair, lalu mereka sepakat membatalkan lamaran tersebut.

Itulah standar nilai yang berlaku pada masa itu. Kita tentu tidak ingin dinilai oleh generasi masa lalu dengan standar nilai yang mereka anut. Oleh karenanya, kita pun semestinya tidak menilai mereka yang hidup pada masa lalu itu dengan standar nilai yang kita anut.

Kesimpulan ini juga menggiring kita untuk tidak menjadikan semua pengalaman Nabi saw., dalam bidang non-ibadah murni (bukan ibadah mahdhah), sebagai sesuatu yang baik untuk diteladani. Bukan saja karena beliau adalah nabi yang memiliki hak dan kewajiban yang berbeda dengan kita, tetapi juga karena adanya perkembangan masyarakat yang menjadikan masa kita tidak sepenuhnya sama dengan masa Nabi saw. Ada nilai-nilai yang bergeser.

Secara sedikit “vulgar” dapat kita katakan bahwa menikahi anak perempuan usia 9 tahun pada masa kita sekarang bukanlah suatu sikap meneladani Rasul saw. walaupun beliau menikahi Aisyah ra. ketika ia berusia 9 tahun.
Demikian, wallahu a’lam.

[M. Arifin-Dewan Pakar Pusat Studi Al-Qur'an]

Source : alifmagz.com

Tuesday, April 1, 2014

Benarkah Quraish Shihab Syi'ah ?


Tudingan Syiah terhadap Quraish Shihab bukan hal baru. Dari dulu sampai sekarang tudingannya sama, hanya pemicunya yang berbeda. Jika pada tahun 1997 dilatari oleh faktorpolitik, setelah beliau diangkat sebagai Menag di Kabinet Soeharto, saat ini tudingan itu muncul kembali dengan dilatari semakin meningkatnya potensi konflik Sunnah-Syiah di Indonesia, terutama Sunnah yang cenderung ekstrim. Ke depan, potensi itu akan semakin membesar, jika tidak diiringi dengan kesadaran masyarakat tentang keniscayaan perbedaan dan pentingnya persatuan. Kedua kelompok tersebut, dengan dukungan dari negara tertentu, akhir-akhir ini semakin gencar memperluas pengaruh dan dakwahnya di tengah masyarakat Indonesia.
Tulisan ini bukan sebagai pembelaan. Quraish Shihab tidak perlu dibela, karena sosok beliau dengan karya-karya dan pemikirannya sudah membela dirinya sendiri. Tidak ada pernyataannya dalam karya-karya tersebut yang menunjukkan beliau seorang pengikut Syiah. Dalam kesempatan wawancara harian Republika, 16 Februari 2014, bertepatan dengan hari ulang tahunnya yang ke-70, Quraish menyatakan dirinya bukan seorang penganut Syiah, dan meminta kepada siapa pun yang menuduhnya untuk mendatangkan bukti. Silakan baca karya-karyanya, tidak ditemukan ungkapan yang menunjukkan dirinya penganut Syiah. Tidak seorang pun berhak membedah dada orang lain untuk mengetahui isi hatinya. Benar atau tidaknya pengakuan tersebut urusan Quraish dengan Tuhan. Bertahun-tahun mendampingi Quraish Shihab bekerja dengannya, penulis tidak menemukan hal yang aneh dalam keyakinan dan tata cara peribadatan beliau yang berbeda dengan tradisi kebanyakan Ahlussunnah.
Quraish Shihab tidak merasa cemas dan khawatir dengan tudingan miring apa pun terhadap dirinya. Baginya pujian tidak akan membuatnya besar, dan cacian tidak akan membuatnya rendah dan hina. Dari segi dunia, puncak karier dalam berbagai bidang; ilmiah dan profesi, sudah diperoleh. Rezeki pun cukup memadai. Sikapnya terhadap Syiah dan ‘keberaniannya’ untuk mengajak Sunnah dan Syiah bergandengan tangan semata-mata karena tuntutan amanah ilmiah untuk menyampaikan kebenaran dan panggilan jiwa untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan.
Keniscayaan Perbedaan, Keharusan Persatuan
Dalam buku Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Quraish menegaskan bahwa perbedaan pandangan keagamaan tidak bisa dihindarkan, bahkan menjadi keniscayaan. Keragaman pandangan merupakan cermin bagi dinamika intelektualitas dan rasionalitas Islam sebagai agama yang bersifat universal dan responsif terhadap berbagai perkembangan. Keberadaan mazhab-mazhab itu juga memperkaya khazanah peradaban Islam dengan berbagai alternative pemikiran yang dapat memberikan kemudahan dan pilihan bagi umat dalam beragama. Dalam konteks ini perbedaan dapat menjadi rahmat. Tetapi ketika perbedaan itu dibawa ke ranah yang sempit dengan balutan fanatisme yang berlebihan, sehingga melahirkan sikap saling mem-bid`ah-kan, merasa paling benar, dan mengkafirkan, sejarah pemikiran Islam diwarnai dengan pertumpahan darah yang mencabik persatuan umat.

Source :alifmagz.com