Friday, January 10, 2014

Peringatan Maulid : Sejarah dan Kontroversi


Perayaan maulid diperkenalkan oleh Dinasti Fathimiyin abad keempat Hijriah di Mesir dan lain-lain. Ada yang berpendapat bahwa yang pertama melakukannya di Mushil Irak adalah Syaikh ‘Umar bin Muhammad al-Mala’. Kemudian ditiru oleh al-Malik al-Muzhaffar Abu Sa’id di kota Irbil, ketika itu dibacakan satu buku kisah Maulid Nabi SAW yang bernama “at-Tanwir fi Maulid al-Bayir an-Nadzir”. Al-Malik al-Muzhaffar menghadiahkan kepada pengarang buku itu seribu dinar. Sejak itulah perayaan maulid dilakukan dengan memperdengarkan kisah perjuangan dan budi pekerti Nabi SAW, sambil memperbanyak sedekah dan menampakkan kegembiraan.


Bid‘ah dari segi bahasa adalah sesuatu yang baru, belum ada yang sama sebelumnya. Tentu saja, dalam kehidupan ini banyak hal baru yang bukan saja bersifat material, melainkan juga immaterial dan bukan saja dalam adat kebiasaan, tetapi juga dalam praktik-praktik yang berkaitan dengan agama. Hal yang baru itu boleh jadi baik dan boleh jadi juga buruk. Jika demikian, pastilah ada bid‘ah yang baik dan buruk. Agama ada yang berkaitan dengan ibadah murni (mahdhah) dan ada juga yang bukan ibadah murni (ghair mahdhah). Bid‘ah dalam hal-hal yang bukan ibadah murni dapat dibenarkan selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar agama. Katakanlah penggunaan telepon dan teleks untuk menggantikan pertemuan langsung dan ucapan dalam ijab dan kabul pada transaksi perdagangan bahkan pernikahan.


Di sisi lain, banyak ulama yang menganalisis sebab-sebab Rasul saw. tidak mengerjakan sesuatu. Ada yang tidak beliau kerjakan karena sejak semula itu terlarang dan ada juga yang tidak beliau kerjakan karena ketika itu belum ada alasan atau dorongan mengerjakannya. Nah, bila kemudian ada alasan yang mendorong dan dapat dibenarkan, bid‘ah dalam hal ini dapat dibenarkan, seperti menulis dan membukukan al-Qur’an dalam satu mushaf pada masa Abû Bakar ra. Kita semua tahu bahwa pada masa Rasul saw., al-Qur’an belum dibukukan bukan saja karena ayat-ayat masih silih berganti turun selama hidup Rasul saw., melainkan juga karena kebutuhan untuk membukukannya belum dirasakan. Ini berbeda setelah beliau wafat. Ada lagi yang tidak dikerjakan Rasul saw. karena ketika itu ada dorongan atau sebab untuk tidak mengerjakan.


Shalat Tarawih berjamaah pada mulanya beliau lakukan di masjid dengan delapan rakaat dan banyak sahabat mengikutinya. Dari malam ke malam semakin banyak. Ketika itu, beliau khawatir jangan sampai ada yang menduga shalat itu wajib, maka beliau hentikan dan shalat di rumah sendirian. Ketika beliau wafat dan kekhawatiran telah sirna, Sayyidina ‘Umar menganjurkan shalat Tarawih dilaksanakan di masjid dan berjamaah dengan dua puluh rakaat plus witir. Sayyidina ‘Utsmân ra. juga melakukan apa yang tidak dilakukan Rasul saw. Ketika kota Madinah telah melebar dan penduduknya bertambah, pada hari Jumat, beliau azan dua kali padahal pada masa Nabi saw. hanya sekali.


Demikianlah bid‘ah—dalam ibadah pun—tidak semuanya terlarang jika dasar pokoknya ada. Memang, pada dasarnya, dalam hal ibadah murni, segalanya tidak boleh kecuali apa yang dikerjakan Rasul saw., sedangkan dalam soal muamalat, segalanya boleh kecuali yang dilarang. Akan tetapi, ulama pun menegaskan bahwa apa yang ditinggalkan Rasul saw. hendaknya dikaji mengapa ketika Nabi saw. hidup, beliau tidak mengerjakannya. Kalau memang suatu ibadah atau pekerjaan ada alasan untuk mengerjakannya dan diketahui bahwa Rasul saw. tidak mengerjakannya, karena enggan, kemudian ada sesudah beliau yang mengada-ada, itulah bid‘ah yang sesat. Itulah yang tidak diterima Allah swt. dan itu yang dimaksud dengan setiap bid‘ah dhalâlah (sesat) dan semua dhalâlah di neraka. Dalam konteks ini, ulama berbeda pendapat tentang tahlil, maulid, dan sebagainya. 

Demikian, wallâhu a‘lam.
[M. Quraish Shihab - Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur'an] 

Source : alifmagz.com

0 Comment:

Post a Comment