Perayaan maulid diperkenalkan oleh Dinasti Fathimiyin abad keempat Hijriah di Mesir dan lain-lain. Ada yang berpendapat bahwa yang pertama melakukannya di Mushil Irak
adalah Syaikh ‘Umar bin Muhammad al-Mala’. Kemudian ditiru oleh
al-Malik al-Muzhaffar Abu Sa’id di kota Irbil, ketika itu dibacakan satu
buku kisah Maulid Nabi SAW yang bernama “at-Tanwir fi Maulid al-Bayir
an-Nadzir”. Al-Malik al-Muzhaffar menghadiahkan kepada pengarang buku
itu seribu dinar. Sejak itulah perayaan maulid dilakukan dengan
memperdengarkan kisah perjuangan dan budi pekerti Nabi SAW, sambil
memperbanyak sedekah dan menampakkan kegembiraan.
Bid‘ah dari segi bahasa adalah sesuatu yang baru, belum ada yang sama
sebelumnya. Tentu saja, dalam kehidupan ini banyak hal baru yang bukan
saja bersifat material, melainkan juga immaterial dan bukan saja dalam
adat kebiasaan, tetapi juga dalam praktik-praktik yang berkaitan dengan
agama. Hal yang baru itu boleh jadi baik dan boleh jadi juga buruk. Jika
demikian, pastilah ada bid‘ah yang baik dan buruk. Agama ada yang
berkaitan dengan ibadah murni (mahdhah) dan ada juga yang bukan ibadah
murni (ghair mahdhah). Bid‘ah dalam hal-hal yang bukan ibadah murni
dapat dibenarkan selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar
agama. Katakanlah penggunaan telepon dan teleks untuk menggantikan
pertemuan langsung dan ucapan dalam ijab dan kabul pada transaksi
perdagangan bahkan pernikahan.
Di sisi lain, banyak ulama yang menganalisis sebab-sebab Rasul saw.
tidak mengerjakan sesuatu. Ada yang tidak beliau kerjakan karena sejak
semula itu terlarang dan ada juga yang tidak beliau kerjakan karena
ketika itu belum ada alasan atau dorongan mengerjakannya. Nah, bila
kemudian ada alasan yang mendorong dan dapat dibenarkan, bid‘ah dalam
hal ini dapat dibenarkan, seperti menulis dan membukukan al-Qur’an dalam
satu mushaf pada masa Abû Bakar ra. Kita semua tahu bahwa pada masa
Rasul saw., al-Qur’an belum dibukukan bukan saja karena ayat-ayat masih
silih berganti turun selama hidup Rasul saw., melainkan juga karena
kebutuhan untuk membukukannya belum dirasakan. Ini berbeda setelah
beliau wafat. Ada lagi yang tidak dikerjakan Rasul saw. karena ketika
itu ada dorongan atau sebab untuk tidak mengerjakan.
Shalat Tarawih berjamaah pada mulanya beliau lakukan di masjid dengan
delapan rakaat dan banyak sahabat mengikutinya. Dari malam ke malam
semakin banyak. Ketika itu, beliau khawatir jangan sampai ada yang
menduga shalat itu wajib, maka beliau hentikan dan shalat di rumah
sendirian. Ketika beliau wafat dan kekhawatiran telah sirna, Sayyidina
‘Umar menganjurkan shalat Tarawih dilaksanakan di masjid dan berjamaah
dengan dua puluh rakaat plus witir. Sayyidina ‘Utsmân ra. juga melakukan
apa yang tidak dilakukan Rasul saw. Ketika kota Madinah telah melebar
dan penduduknya bertambah, pada hari Jumat, beliau azan dua kali padahal
pada masa Nabi saw. hanya sekali.
Demikianlah bid‘ah—dalam ibadah pun—tidak semuanya terlarang jika
dasar pokoknya ada. Memang, pada dasarnya, dalam hal ibadah murni,
segalanya tidak boleh kecuali apa yang dikerjakan Rasul saw., sedangkan
dalam soal muamalat, segalanya boleh kecuali yang dilarang. Akan tetapi,
ulama pun menegaskan bahwa apa yang ditinggalkan Rasul saw. hendaknya
dikaji mengapa ketika Nabi saw. hidup, beliau tidak mengerjakannya.
Kalau memang suatu ibadah atau pekerjaan ada alasan untuk mengerjakannya
dan diketahui bahwa Rasul saw. tidak mengerjakannya, karena enggan,
kemudian ada sesudah beliau yang mengada-ada, itulah bid‘ah yang sesat.
Itulah yang tidak diterima Allah swt. dan itu yang dimaksud dengan
setiap bid‘ah dhalâlah (sesat) dan semua dhalâlah di neraka. Dalam
konteks ini, ulama berbeda pendapat tentang tahlil, maulid, dan
sebagainya.
Demikian, wallâhu a‘lam.
[M. Quraish Shihab - Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur'an]
Source : alifmagz.com
0 Comment:
Post a Comment