Tiada perselisihan di kalangan ulama menyangkut kesempurnaan
penciptaan manusia. Banyak sekali dalil keagamaan yang dapat dikemukakan
untuk membuktikannya. Di antaranya adalah, Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya
(QS. at-Tîn [95]: 4). Diskusi akan lahir berkaitan dengan kesempurnaan
manusia dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain dan makna kesempurnaan
itu.
Menurut hemat penulis, kita tidak dapat mengklaim atas nama al-Qur’an
bahwa manusia adalah makhluk yang paling sempurna berdasarkan firman
Allah dalam ayat 4 surah at-Tîn di atas, karena ada juga ayat lain yang
secara tegas menyatakan, (Allah) yang menciptakan segala sesuatu dengan sebaik-baik (sesempurna-sempurna) penciptaan dan Dia memulai ciptaan manusia dari tanah (QS. as-Sajdah [32]: 7). Tidak juga berdasarkan firman-Nya, Bila telah Kusempurnakan penciptaannya (manusia),… (QS. al-Hijr [15]: 29), karena dalam ayat 2 surah al-A‘lâ disebutkan: (Dia) yang menciptakan (segala sesuatu) dan menyempurnakan(QS. al-A‘lâ [87]: 2).
Kesempurnaan manusia dan makhluk lain ciptaan Allah harus dilihat
dari segi fungsi dan tujuan penciptaannya. Misalnya, kesempurnaan benda
tak bernyawa seperti pisau dikaitkan dengan tujuan pembuatannya, yakni
memotong sehingga ia harus tajam dan dapat digunakan tanpa menimbulkan
kesulitan. Kesempurnaan manusia terletak pada terpenuhinya dalam diri
makhluk ini sifat-sifat fisik dan psikis sehingga mampu melaksanakan fungsinya sebagai khalifah dan hamba Allah.
Allah telah menciptakan manusia dengan potensi demikian, sehingga
manusia adalah makhluk yang paling sempurna untuk tujuan ini, bahkan
lebih sempurna dari malaikat. Akan tetapi, iblis yang diciptakan Allah
untuk menggoda manusia adalah makhluk sempurna pula melebihi
kesempurnaan manusia dan malaikat dalam bidang menggoda dan merayu.
Demikianlah, masing-masing makhluk diciptakan sesuai dengan fitrah
kejadiannya dalam bentuk sebaik-baiknya.
Fitrah adalah unsur-unsur dan sistem
yang Allah anugerahkan kepada setiap makhluk. Fitrah manusia adalah apa
yang diciptakan Allah dalam diri manusia. Ia adalah gabungan dari unsur
tanah yang melahirkan jasmani dan unsur ruhani yang melahirkan akal dan
jiwa. Manusia berjalan dengan kakinya adalah fitrah jasadnya. Upayanya
untuk mengambil sesuatu dengan kakinya tidak sejalan dengan fitrah jasad
ini. Mengambil kesimpulan dengan mengaitkan premis-premis adalah fitrah
aqliahnya. Mengambil kesimpulan aqliah dengan premis-premis yang saling bertentangan, bertolak belakang dengan fitrah aqliah manusia.
Kecenderungan kepada lawan jenis adalah fitrah manusia. Ingin memiliki keturunan dan cinta
anak adalah fitrah manusia, dan demikian seterusnya. Allah menciptakan
manusia dengan fitrah yang digambarkan di atas. Penciptaan itu (selain
Âdam, Hawâ, dan ‘Îsâ) semuanya hingga kini berlangsung melalui proses
pertemuan sperma dan ovum.
Agaknya, menarik untuk dikemukakan bahwa ketika Allah menginformasikan penciptaan Âdam, Dia menggunakan redaksi “Aku ciptakan” (khalaqtu). Akan tetapi, ketika berbicara tentang reproduksi manusia, redaksi yang digunakan-Nya berbentuk pasif “Diciptakan” (khuliqa) atau “Kami ciptakan” (khalaqnâ).
Kata “Kami” yang menunjuk kepada Tuhan biasanya digunakan untuk
menginformasikan adanya keterlibatan selain Tuhan dalam kegiatan atau
kerja yang dimaksud. Ini berarti bahwa ketika Allah menyatakan bahwa
“Kami telah menciptakan manusia,” maka ini berarti bahwa ada
keterlibatan selain-Nya, yaitu ibu dan bapak dalam proses kejadian itu.
Keterlibatan ini tidak hanya sebatas pada upaya memilih jodoh atau
mempertemukan sperma
dan ovum, melainkan juga pada upaya menciptakan kondisi psikologis
serta memilih makanan tertentu guna pertumbuhan dan perkembangan janin.
Dalam literatur keagamaan, sebagaimana halnya dalam kedokteran,
ditemukan pesan-pesan kepada suami-istri untuk menciptakan suasana
harmonis keagamaan saat berhubungan seks, misalnya dengan berdoa. Begitu
pula, ditemukan anjuran-anjuran kepada ibu yang sedang mengandung untuk
memakan makanan tertentu demi kesehatan dan pertumbuhan janinnya.
Dalam bukunya ath-Thifl bayan al-Warâtsah waat-Tarbiyah, Syaikh Taqiyuddîn Falsafî mengemukakan sekian banyak riwayat keagamaan itu. Di antaranya, “Berilah
kurma untuk dimakan wanita pada bulan dia akan melahirkan, karena yang
demikian akan menjadikan anaknya berlapang dada dan bertakwa.”
Demikian sebuah hadits yang dinisbatkan kepada Rasulullah saw.
Terlepas dari sahih tidaknya hadits itu, ini menunjukkan bahwa makanan
dapat membentuk sifat psikis janin. Yang cacat atau sengsara adalah yang
cacat atau sengsara dalam perut ibunya. Dan yang bahagia atau sempurna
adalah yang bahagia dan sempurna dalam perut ibunya. Riwayat terakhir
ini menunjukkan bahwa kondisi kandungan ibu merupakan faktor utama
kesempurnaan atau cacatnya janin.
Dari sini terlihat bahwa cacat fisik atau mental yang terjadi pada
seorang boleh jadi adalah akibat ulah ayah dan atau ibunya sendiri, baik
saat terjadinya pembuahan maupun ketika dalam kandungan. Dari sini
dipahami pula mengapa al-Qur’an memilih kata “Kami” ketika
menginformasikan reproduksi manusia.
[M. Quraish Shihab - Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur'an]
Source : alifmagz.com