Darul Ma'arif Asry

Amin.....Al-Fatihah..!

The Power of Affirmation

Imagine, Plan, and Action !!!

ANGKASA

Angkatan Sembilan Al-Ikhlas

IQTK 2013

Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Khusus Angkatan 2013

Islami is NOT classic

Islami = Modern Civilization based on Classic Civilizatin

Mohon Maaf Atas Segala Ketidaksempurnaan Blog ini

Dalam Proses Penyempurnaan....

Friday, March 21, 2014

Manusia Bukan Makhluk Paling Sempurna


Tiada perselisihan di kalangan ulama menyangkut kesempurnaan penciptaan manusia. Banyak sekali dalil keagamaan yang dapat dikemukakan untuk membuktikannya. Di antaranya adalah, Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (QS. at-Tîn [95]: 4). Diskusi akan lahir berkaitan dengan kesempurnaan manusia dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain dan makna kesempurnaan itu.

Menurut hemat penulis, kita tidak dapat mengklaim atas nama al-Qur’an bahwa manusia adalah makhluk yang paling sempurna berdasarkan firman Allah dalam ayat 4 surah at-Tîn di atas, karena ada juga ayat lain yang secara tegas menyatakan, (Allah) yang menciptakan segala sesuatu dengan sebaik-baik (sesempurna-sempurna) penciptaan dan Dia memulai ciptaan manusia dari tanah (QS. as-Sajdah [32]: 7). Tidak juga berdasarkan firman-Nya, Bila telah Kusempurnakan penciptaannya (manusia),… (QS. al-Hijr [15]: 29), karena dalam ayat 2 surah al-A‘lâ disebutkan: (Dia) yang menciptakan (segala sesuatu) dan menyempurnakan(QS. al-A‘lâ [87]: 2).

Kesempurnaan manusia dan makhluk lain ciptaan Allah harus dilihat dari segi fungsi dan tujuan penciptaannya. Misalnya, kesempurnaan benda tak bernyawa seperti pisau dikaitkan dengan tujuan pembuatannya, yakni memotong sehingga ia harus tajam dan dapat digunakan tanpa menimbulkan kesulitan. Kesempurnaan manusia terletak pada terpenuhinya dalam diri makhluk ini sifat-sifat fisik dan psikis sehingga mampu melaksanakan fungsinya sebagai khalifah dan hamba Allah.

Allah telah menciptakan manusia dengan potensi demikian, sehingga manusia adalah makhluk yang paling sempurna untuk tujuan ini, bahkan lebih sempurna dari malaikat. Akan tetapi, iblis yang diciptakan Allah untuk menggoda manusia adalah makhluk sempurna pula melebihi kesempurnaan manusia dan malaikat dalam bidang menggoda dan merayu. Demikianlah, masing-masing makhluk diciptakan sesuai dengan fitrah kejadiannya dalam bentuk sebaik-baiknya.

Fitrah adalah unsur-unsur dan sistem yang Allah anugerahkan kepada setiap makhluk. Fitrah manusia adalah apa yang diciptakan Allah dalam diri manusia. Ia adalah gabungan dari unsur tanah yang melahirkan jasmani dan unsur ruhani yang melahirkan akal dan jiwa. Manusia berjalan dengan kakinya adalah fitrah jasadnya. Upayanya untuk mengambil sesuatu dengan kakinya tidak sejalan dengan fitrah jasad ini. Mengambil kesimpulan dengan mengaitkan premis-premis adalah fitrah aqliahnya. Mengambil kesimpulan aqliah dengan premis-premis yang saling bertentangan, bertolak belakang dengan fitrah aqliah manusia.

Kecenderungan kepada lawan jenis adalah fitrah manusia. Ingin memiliki keturunan dan cinta anak adalah fitrah manusia, dan demikian seterusnya. Allah menciptakan manusia dengan fitrah yang digambarkan di atas. Penciptaan itu (selain Âdam, Hawâ, dan ‘Îsâ) semuanya hingga kini berlangsung melalui proses pertemuan sperma dan ovum.

Agaknya, menarik untuk dikemukakan bahwa ketika Allah menginformasikan penciptaan Âdam, Dia menggunakan redaksi “Aku ciptakan” (khalaqtu). Akan tetapi, ketika berbicara tentang reproduksi manusia, redaksi yang digunakan-Nya berbentuk pasif “Diciptakan” (khuliqa) atau “Kami ciptakan” (khalaqnâ). Kata “Kami” yang menunjuk kepada Tuhan biasanya digunakan untuk menginformasikan adanya keterlibatan selain Tuhan dalam kegiatan atau kerja yang dimaksud. Ini berarti bahwa ketika Allah menyatakan bahwa “Kami telah menciptakan manusia,” maka ini berarti bahwa ada keterlibatan selain-Nya, yaitu ibu dan bapak dalam proses kejadian itu. Keterlibatan ini tidak hanya sebatas pada upaya memilih jodoh atau mempertemukan sperma dan ovum, melainkan juga pada upaya menciptakan kondisi psikologis serta memilih makanan tertentu guna pertumbuhan dan perkembangan janin.

Dalam literatur keagamaan, sebagaimana halnya dalam kedokteran, ditemukan pesan-pesan kepada suami-istri untuk menciptakan suasana harmonis keagamaan saat berhubungan seks, misalnya dengan berdoa. Begitu pula, ditemukan anjuran-anjuran kepada ibu yang sedang mengandung untuk memakan makanan tertentu demi kesehatan dan pertumbuhan janinnya.

Dalam bukunya ath-Thifl bayan al-Warâtsah waat-Tarbiyah, Syaikh Taqiyuddîn Falsafî mengemukakan sekian banyak riwayat keagamaan itu. Di antaranya, “Berilah kurma untuk dimakan wanita pada bulan dia akan melahirkan, karena yang demikian akan menjadikan anaknya berlapang dada dan bertakwa.”

Demikian sebuah hadits yang dinisbatkan kepada Rasulullah saw. Terlepas dari sahih tidaknya hadits itu, ini menunjukkan bahwa makanan dapat membentuk sifat psikis janin. Yang cacat atau sengsara adalah yang cacat atau sengsara dalam perut ibunya. Dan yang bahagia atau sempurna adalah yang bahagia dan sempurna dalam perut ibunya. Riwayat terakhir ini menunjukkan bahwa kondisi kandungan ibu merupakan faktor utama kesempurnaan atau cacatnya janin.

Dari sini terlihat bahwa cacat fisik atau mental yang terjadi pada seorang boleh jadi adalah akibat ulah ayah dan atau ibunya sendiri, baik saat terjadinya pembuahan maupun ketika dalam kandungan. Dari sini dipahami pula mengapa al-Qur’an memilih kata “Kami” ketika menginformasikan reproduksi manusia.

[M. Quraish Shihab - Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur'an

Source : alifmagz.com

Monday, March 10, 2014

ISLAM MODERAT


Tanpa ada embel-embel kata “moderat” pun, ajaran Islam sebenarnya sudah moderat sejak dari sononya. Sebagian kalangan tidak mau menggunakan istilah “Islam moderat”, antara lain karena alasan itu, yaitu bahwa Islam sejak semula memang sudah moderat. Di samping itu, istilah “Islam moderat” mengesankan adanya Islam yang tidak moderat, padahal Islam hanya satu: moderat. Nah, oleh karena itu kemudian ada sejumlah pakar yang lebih memilih menggunakan kata “moderasi Islam” yang bisa berarti “kemoderatan Islam” daripada “Islam moderat”.

Kata “moderasi” itu kurang lebih adalah terjemahan dari kata wasathiyyah, bentuk mashdar shinâ‘iy dari kata wasath yang terdapat di dalam ayat 143 surah al-Baqarah: wa kadzâlika ja‘alnâkum ummatan wasathan (Dan demikianlah Kami menjadikan kamu umat yang pertengahan). Tidak hanya pada surah al-Baqarah, di beberapa ayat lain juga disebut kata yang seakar dengan kata wasath sebanyak lima kali dengan derivan yang berbeda-beda.

Dari segi tinjauan bahasa, kata wasath berarti ‘pertengahan’. Makna itu kemudian berkembang menjadi ‘adil’, karena orang yang bersifat adil biasanya mengambil posisi tengah, tidak memihak kepada siapa pun. Dalam bahasa Indonesia kita mengenal kata “wasit” yang diserap dari kata bahasa Arab wasîth, yaitu orang yang memimpin pertandingan yang tentu saja dituntut untuk bersikap adil dan tidak memihak kepada salah satu. Secara garis besar, cakupan arti kata wasath berkisar pada makna ‘adil’, ‘baik’, ‘tengah’, dan ‘seimbang’, seperti disebut oleh Ibnu Faris, seorang linguis Arab kenamaan dalam karyanya Mu‘jam Maqâyîs al-Lughah.

Yusuf Qaradhawi sudah cukup panjang membahas makna wasath dalam bukunya Fiqh al-Wasathiyyah al-Islâmiyyah wa at-Tajdîd: Ma‘âlim wa Manârât, terbitan Dâr asy-Syurûq, Kairo, 2010. Ia, misalnya, mengutip Mu‘jam Alfâzh al-Qur’ân al-Karîm terbitan Lembaga Bahasa Arab di Kairo, mengatakan bahwa wasath berarti ‘pertengahan dari dua sisi’.

Moderasi Islam juga berarti bahwa Islam tidak merestui sifat berlebihan. Sebaliknya, Islam justru mengajarkan prinsip keseimbangan (tawâzun): keseimbangan antara urusan dunia dan akhirat, keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat, keseimbangan antara jasmani dan rohani, keseimbangan antara idealisme dan realistisme, keseimbangan antara spiritualisme dan materialisme, dan sebagainya.

Di bidang akidah atau keimanan, keseimbangan (moderasi) Islam ini tampak, misalnya, pada posisi ajaran Islam yang berada di tengah-tengah antara mereka yang mempercayai khurafat dan mempercayai segala sesuatu walau tanpa dasar di satu sisi, dengan mereka yang mengingkari segala sesuatu yang berwujud metafisik di sisi lain. Selain mengajak umatnya untuk beriman kepada yang gaib (metafisik, tidak inderawi, bahkan kadang sulit dipahami akal), pada saat yang sama Islam juga mengajak akal manusia untuk membuktikan ajakannya secara rasional. Qul hâtû burhânakum in kuntum shâdiqîn (QS al-Baqarah [2]: 111). Sikap moderat Islam itu juga tampak bahwa keimanan yang diajarkan oleh Islam tidak sampai menjadikan rasul pembawa risalah sebagai Tuhan, seperti terjadi pada agama lain, dan tidak pula menyepelekannya sehingga dengan mudah dibunuh, seperti terjadi pula pada agama samawi lain.

Di bidang ibadah, moderasi Islam tampak pada pemberlakukan kewajiban yang tidak memberatkan tetapi tetap berpahala besar. Shalat bagi umat Islam hanya wajib lima kali sehari (bandingkan dengan umat terdahulu yang pernah diwajibkan melakukan shalat lima puluh kali sehari semalam!), puasa hanya satu kali dalam setahun, haji hanya sekali seumur hidup, itu pun bagi yang mampu. Selebihnya Allah memberi kebebasan kepada masing-masing hamba-Nya untuk aktif mencari nafkah dan memakmurkan bumi. Mau memperbanyak ibadah pun boleh dengan ritual-ritual sunah: puasa sunah, salat sunah, dan sebagainya.

Di bidang akhlak, manusia yang terdiri atas unsur ruh (roh, jiwa) dan jasad, ini juga harus bersikap seimbang. Kedua unsur itu harus dapat dipenuhi secara seimbang. Rasulullah saw., misalnya, melarang sahabat beliau yang berkeinginan untuk melakukan shalat malam sepanjang malam tanpa menyempatkan diri menyentuh istrinya. Beliau juga melarang sahabatnya yang ingin berpuasa sepanjang hari. Sebaliknya, beliau justru bersabda, “Berpuasalah dan berbukalah, bangun malam (untuk shalat) dan tidurlah. Sesungguhnya tubuhmu memiliki hak yang harus dipenuhi, matamu punya hak untuk dipejamkan, istrimu punya hak yang harus dipenuhi.” (HR Bukhari dari Abdullah bin Amr bin al-Ash).

Prinsip moderasi ini juga tampak pada ajaran Islam untuk tidak berprasangka buruk kepada orang lain. Boleh saja kita menganut dan memilih salah satu mazhab, misalnya, tetapi pada saat yang sama kita juga harus menghormati penganut mazhab lain selama masih berada dalam koridor yang disepakati ulama otoritatif. Dalam kaitan ini ada ungkapan ulama yang sangat terkenal bahwa ra’yuna shawâb yahtamil al-khatha’, wa ra’yu ghairinâ khatha’ yahtamil ash-shawâb (pendapat kita benar tetapi boleh jadi mengandung kesalahan, dan pendapat orang lain salah tetapi boleh jadi mengandung kebenaran).

Misalnya, jika ada orang tidak memegang tongkat ketika berkhutbah Jumat, atau tidak makan di lantai –kedua hal itu dilakukan oleh Rasulullah saw.– kita tidak perlu buru-buru mengatakan bahwa mereka tidak mengikuti sunah. Atau, apabila kita menemukan ada ulama yang berfatwa dalam hukum yang memberikan kemudahan, kita jangan buru-buru menuduhnya telah menggampangkan agama atau melakukan keteledoran. Prasangka baik harus tetap 
dikedepankan sebagai salah satu buah dari prinsip moderasi Islam.

Cukup panjang kalau kita mau berbicara agak lengkap tentang prinsip moderasi Islam atau Islam moderat ini. Anda dapat merujuk buku Moderasi Islam: Menangkal Radikalisme Berbasis Agama yang ditulis oleh Dr. Muchlis M Hanafi terbitan Ikatan Alumni Al-Azhar Internasional cabang Indonesia bekerja sama dengan Pusat Studi al-Qur’an (PSQ) tahun 2013, atau Moderasi Islam, salah satu rangkaian Tafsir Tematik yang diterbitkan oleh Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Bidang Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI tahun 2012. Anda juga dapat merujuk buku berbahasa Arab berjudul Fiqh al-Wasathiyyah al-Islâmiyyah wa at-Tajdîd: Ma‘âlim wa Manârât yang ditulis oleh Syaikh Yusuf Qaradhawi dan diterbitkan oleh Dâr asy-Syurûq, Kairo, tahun 2010.

Namun demikian, saya ingin menambahkan secara singkat beberapa ciri moderasi Islam yang kiranya perlu kita ketahui, yaitu:
 
1. Memahami realitas. Kehidupan manusia ini berkembang tanpa batas, sementara teks-teks keagamaan terbatas (jumlah ayat al-Qur’an hanya 6.236 ayat dan tidak akan bertambah, jumlah hadis Nabi juga tidak lebih dari 6.000-an hadis). Oleh karena itu, ada hal-hal yang bersifat tetap (tswâbit), ada pula yang bersifat berubah (mutaghayyirât). Yang tswâbit sangat sedikit (berupa prinsip-prinsip akidah, ibadah, muamalah, dan akhlak. Sedangkan yang mutaghayyirât amat banyak jumlahnya. Oleh karena itulah kita bisa mengerti mengapa fatwa ulama di negara A terkadang berbeda dengan ulama di negara B, atau fatwa ulama pada abad sekian berbeda dengan fatwa ulama kontemporer.

2. Memahami prioritas. Dalam perintah dan larangan, ada beberapa tingkatan. Ada mubah (boleh), sunnah (dianjurkan), sunnah mu’akkadah (sangat dianjurkan), wajib atau fardu. Yang wajib atau fardu ini pun ada yang bersifat ‘ain (individu) dan ada yang bersifat kifayah (kolektif) yang apabila sudah dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang maka orang lain tidak terkena lagi kewajiban itu. Untuk beragama secara moderat menuntut kita untuk pandai-pandai memahami mana yang harus kita dahulukan.

3. Memahami teks-teks keagamaan secara komprehensif. Ayat-ayat al-Qur’an saling terkait satu sama lain. Kita harus memamahinya secara utuh, karena ayat yang satu menjelaskan ayat yang lain dalam tema yang sama atau berkaitan. Ini yang kita kenal dengan istlah al-Qur’ân yufassiru ba‘dhuhu ba‘dhan. Sebagai contoh, dengan membaca seluruh ayat-ayat al-Qur’an terkait jihad, akan kita pahami bahwa kata “jihad” tidak selalu berarti perang atau angkat senjata. Tetapi jika kita hanya membaca satu dua ayat jihad yang terlepas dari konteksnya atau kaitannya dengan ayat yang lain, bisa saja kita akan mendapat kesan bahwa ajaran Islam itu keras, kejam, tidak toleran, dan sebagainya. Ini mirip dengan tahi lalat yang ada pada wajah seseorang yang membuatnya tampak menarik. Wajah orang itu akan menarik kalau dilihat secara utuh, tetapi akan sangat tidak menarik kalau yang dilihat hanya tahi lalatnya, meskipun tahi lalat itu adalah unsur penting yang membuatnya menarik!
Demikian saya kira, wallahu a’lam.

[M Arifin - Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur'an

Source : alifmagz.com

Ketika Sedang Salat, Bolehkah Mengucap Alhamdulillah Saat Bersin?


Imam Muslim meriwayatkan melalui sahabat Ibnu ‘Abbâs bahwa Nabi saw. bersabda, “Aku dilarang membaca al-Qur’an dalam keadaan rukuk atau sujud. Adapun rukuk, maka agungkanlah Allah, adapun sujud maka perbanyaklah berdoa. (Karena ketika itu) wajar (besar peluang) untuk diperkenankan Allah.

Ini berarti seseorang dapat saja berdoa ketika dia sujud. Di sisi lain, Rifa‘at bin Rafi‘ menceritakan bahwa dia shalat berjamaah bersama Nabi saw., lalu dia bersin, dia mengucapkan, “Alhamdulillah hamdan katsîran thayyiban mubârakan fîhi kamâ yuhibbu wa yardhâ.

Setelah Nabi saw. selesai shalat, beliau bertanya, “Siapa yang berbicara waktu shalat?” Tidak seorang pun menjawab, sampai Nabi saw. bertanya tiga kali. Ketika itu barulah Rafi‘ mengaku. 

Rasulullah saw. lalu bersabda, “Demi Allah yang jiwaku berada dalam genggaman tangan-Nya, tiga puluh sekian malaikat berpacu untuk mengantarnya (ucapan itu) ke langit.”

Hadits ini diriwayatkan oleh an-Nasâ’î dan at-Tirmidzî, dan ini yang dijadikan dasar oleh sementara ulama membolehkan mengucapkan doa atau pujian kepada Allah walaupun tidak diajarkan Rasulullah saw., selama doa dan zikir itu tidak bertentangan dengan apa yang beliau ajarkan.

Dengan demikian, mengucapkan alhamdu-lillâh dalam shalat ketika telah bersin tidak membatalkan shalat, apalagi terdapat anjuran untuk mengucapkannya bila bersin (bukan karena flu). Demikian, wallâhu a‘lam.

[M. Quraish Shihab - Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur'an

Source : alifmagz.com

Tuesday, March 4, 2014

BERBEDA tidak mesti BERPECAH



Berbeda-beda pendapat tidak sama dengan berfirqah-firqah (wa lâ tafarraqû: jangan bercerai-berai, jangan berpecah-belah). Sahabat-sahabat Nabi saw. dahulu ada yang berbeda pendapat satu sama lain, tetapi mereka tidak berpecah belah. Ulama-ulama fikih juga berbeda-beda pendapat, tetapi mereka tidak berfirqah-firqah. Satu sama lain saling memahami perbedaan masing-masing, dan bersedia mengikuti pendapat lain jika terbukti itu yang lebih benar. Ada ungkapan yang sangat terkenal: ra’yî shawâb yahtamil al-khatha’, wa ra’y ghayrî khatha’ yahtamil al-shawâb (pendapat saya benar tetapi bisa jadi mengandung kesalahan, dan pendapat selain saya salah tetapi bisa jadi mengandung kebenaran).

Ormas-ormas Islam yang ada dan berkembang di Indonesia pun tidak harus kita pandang sebagai firqah-firqah yang dilarang, tetapi lebih dipandang dalam kerangka perbedaan itu. Mungkin akan ada pertanyaan, mengapa perbedaan itu bisa terjadi, padahal sumber kita sama: al-Qur’an dan Hadits?

Di dalam al-Qur’an sendiri, ada kata-kata yang memang berpotensi menimbulkan perbedaan. Misalnya kata qurû’ yang terdapat dalam QS al-Baqarah (2): 228. Kata qurû’ yang merupakan bentuk jamak dari qur’ itu, dalam bahasa Arab memang mengandung dua makna yang saling berlawanan: (a) haid, dan (b) suci. Dengan demikian, frase tsalâtsata qurû’ dalam ayat itu bisa dipahami berarti “tiga masa suci”, bisa juga dipahami sebagai “tiga masa haid”.

Perbedaan pemahaman seperti itu tentu berdampak pada kesimpulan hukum yang diambil. Di sini kita jangan berkata bahwa al-Qur’an merupakan sumber perpecahan! Tidak! Justru di situ terdapat kelonggaran dan kemudahan bagi kita.

Begitu juga dengan kata ilâ (sampai, sampai dengan) dalam frase ilâ al-marâfiq (sampai ke siku, sampai dengan siku) yang terdapat di dalam QS al-Mâ’idah (5): 6. Dalam bahasa Arab, kata ilâ memang bisa berarti “ke” atau “sampai”, bisa juga berarti “sampai dengan”. Mereka yang memahami kata ilâ di situ berarti “sampai”, menyimpulkan bahwa dalam berwudhu kita membasuh tangan dari jari-jari sampai batas siku, artinya sikunya tidak harus dibasuh. Tetapi orang-orang yang memahami ilâ berarti “sampai dengan”, mereka menyimpulkan bahwa membasuh tangan dalam berwudhu harus sekalian dengan sikunya. Sikunya harus dibasuh juga. Apakah ini salah al-Qur’an? Tidak! Ini justru sebuah sebuah kemudahan.

Dalam menyikapi berbagai perbedaan di kalangan umat ini, ada ungkapan yang cukup bagus: Nata‘âwan fî mâ ittafaqnâ ‘alayh, wa ya‘dzuru ba’dhunâ ba‘dhan fî mâ ikhtalafnâ ‘alayh (kita saling bekerja sama dalam hal-hal yang kita sepakati, dan saling menoleransi dalam hal-hal di mana kita berbeda pendapat).
Demikian, wallahu a’lam.

[Muhammad Arifin - Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur'an]