Darul Ma'arif Asry

Amin.....Al-Fatihah..!

The Power of Affirmation

Imagine, Plan, and Action !!!

ANGKASA

Angkatan Sembilan Al-Ikhlas

IQTK 2013

Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Khusus Angkatan 2013

Islami is NOT classic

Islami = Modern Civilization based on Classic Civilizatin

Mohon Maaf Atas Segala Ketidaksempurnaan Blog ini

Dalam Proses Penyempurnaan....

Sunday, January 26, 2014

SENI YANG BERTASBIH


Salah satu fitrah manusia adalah kemampuan untuk menangkap, merasakan, dan mengolah keindahan. Itulah antara lain fungsi indra-indra yang dititipkan Allah kepadanya. Dengan demikian, manusia bisa merenungi keagungan dan kebesaran Sang Pencipta serta menghayati setiap lekuk keindahan ciptaan-Nya.

Jiwa manusia, sesuai dengan fitrahnya, cenderung kepada keindahan, peka terhadap sentuhan pergerakan semesta dan apa yang terjadi di dalamnya. Tanpanya, akan sulit bagi manusia untuk memahami hikmah yang tersebar atau tergerak untuk menghasilkan kebaikan.

Apa yang diterima oleh jiwa, pada akhirnya akan diekspresikan oleh jiwa. Jiwa yang merasakan keindahan akan tergerak untuk mengekspresikan keindahan itu dengan berbagai cara yang diketahuinya. Berbagai emosi, interaksi, perubahan alam, peristiwa kehidupan, yang ditangkap olehnya, dapat disalurkan menjadi bentuk keindahan selanjutnya.

Maka dari itu, kepekaan jiwa ini harus dijaga. Kelembutan hati dalam merasakan kasih sayang dan kebersihannya sehingga mudah menerima kebenaran juga berkaitan dengan kesehatan 
jiwa manusianya.

Islam adalah agama yang sejalan dengan fitrah manusia. Maka ia tidak menolak keindahan atau ekspresi akan keindahan itu sendiri. Rasulullah saw. pun bersabda, “Sesungguhnya Allah itu indah, mencintai keindahan, kesombongan adalah menolak kebenaran dan membenci manusia.” (HR. Muslim). Hasil karya manusia yang bernilai dan bercita rasa tinggi atau biasa disebut sebagai karya seni merupakan ekspresi keindahan itu. Seni menjadi sarana ekspresi dan komunikasi, yang menghibur sekaligus menyentuh nilai terdalam dalam diri manusia.

Saat ‘Aisyah binti Abu Bakar menikahkan seorang wanita dengan laki-laki Anshar, Rasulullah saw.bersabda, “Wahai ‘Aisyah, tidak adakah kalian mempunyai hiburan (nyanyian). Sesungguhnya orang-orang Anshar menyukai hiburan (nyanyian).” (HR. Bukhari dan Muslim).

Sebagai muslim, patutlah seni yang kita hasilkan beriringan dengan nilai-nilai Islam. Yaitu seni yang memelihara fitrah sekaligus menguatkan hakikat manusia, yang mengarahkan pada kesadaran akan keagungan Ilahi, yang menyentuh hati manusia untuk mendekat kepada-Nya.

Pertemuan antara keindahan dengan pemeliharaan jiwa yang mengarah pada Mahapencipta segala keindahan adalah muara seni Islami. Seni yang menjunjung kebenaran, bukan yang melalaikan dan merendahkan martabat manusia. Seni yang merupakan bagian dari tasbih kita sebagai manusia kepada-Nya, sebagaimana tasbih seluruh alam.

Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun. (QS. Al-Isra’: 44). [aca]

 Source : alifmagz.com

Thursday, January 23, 2014

Bagaimana mengetahui seseorang adalah jodoh kita ?


Ketika berkenalan dengan seseorang dan timbul keinginan untuk menikahinya, hati kita terkadang sedemikian yakin bahwa orang ini adalah jodoh kita namun terkadang pula timbul keraguan akan hal itu.

Keyakinan itu lahir dari pengetahuan. Pengetahuan itu bisa datang sendiri (sering disebut ilham, intuisi), bisa juga kita cari lalu kita dapatkan. Kedua-duanya tidak lepas dari peran besar Allah Yang Mahaluas ilmu-Nya.

Kalau masih dalam status pacaran, sangat boleh jadi orang itu bukan jodoh Anda. Lamanya masa pacaran, kemudian adanya kecocokan selama masa pacaran, terbukti tidak menjamin bahwa hubungan itu akan berlangsung baik setelah perkawinan. Cukup banyak orang yang menghabiskan waktu pacara lima-enam tahun, selama masa itu mereka “merasa” telah menemukan kecocokan, lalu menikah, ternyata belum satu tahun mereka bercerai. Ini apa artinya? Pasti ada yang salah dalam persepsi kedua orang itu mengenai makna “kecocokan”.
Salah satu patokan untuk mengukur kecocokan adalah niat tulus setulus-tulusnya bahwa menjalin hubungan semata-mata demi untuk mencapai keridhaan Allah. Implikasinya, Anda berdua tidak akan melakukan apa-apa yang terlarang sebelum bersumpah setia di hadapan Allah: menikah. Karena perkawinan memang merupakan ikatan yang suci.

Nah, kalau Anda sudah merasa memiliki orientasi yang benar dalam menjalin hubungan ini, lalu calon Anda meninggalkan Anda, boleh jadi dia punya orientasi lain yang lebih bersifat kenikmatan dunia saja. Atau malah sebaliknya. Kalau sudah begitu, sangat boleh jadi tidak ada kecocokan.

Wallahu a’lam.
[Muhammad Arifin - Dewan Pakar Pusat Studi Al-Qur'an]

Source : alifmagz.com

Friday, January 10, 2014

Peringatan Maulid : Sejarah dan Kontroversi


Perayaan maulid diperkenalkan oleh Dinasti Fathimiyin abad keempat Hijriah di Mesir dan lain-lain. Ada yang berpendapat bahwa yang pertama melakukannya di Mushil Irak adalah Syaikh ‘Umar bin Muhammad al-Mala’. Kemudian ditiru oleh al-Malik al-Muzhaffar Abu Sa’id di kota Irbil, ketika itu dibacakan satu buku kisah Maulid Nabi SAW yang bernama “at-Tanwir fi Maulid al-Bayir an-Nadzir”. Al-Malik al-Muzhaffar menghadiahkan kepada pengarang buku itu seribu dinar. Sejak itulah perayaan maulid dilakukan dengan memperdengarkan kisah perjuangan dan budi pekerti Nabi SAW, sambil memperbanyak sedekah dan menampakkan kegembiraan.


Bid‘ah dari segi bahasa adalah sesuatu yang baru, belum ada yang sama sebelumnya. Tentu saja, dalam kehidupan ini banyak hal baru yang bukan saja bersifat material, melainkan juga immaterial dan bukan saja dalam adat kebiasaan, tetapi juga dalam praktik-praktik yang berkaitan dengan agama. Hal yang baru itu boleh jadi baik dan boleh jadi juga buruk. Jika demikian, pastilah ada bid‘ah yang baik dan buruk. Agama ada yang berkaitan dengan ibadah murni (mahdhah) dan ada juga yang bukan ibadah murni (ghair mahdhah). Bid‘ah dalam hal-hal yang bukan ibadah murni dapat dibenarkan selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar agama. Katakanlah penggunaan telepon dan teleks untuk menggantikan pertemuan langsung dan ucapan dalam ijab dan kabul pada transaksi perdagangan bahkan pernikahan.


Di sisi lain, banyak ulama yang menganalisis sebab-sebab Rasul saw. tidak mengerjakan sesuatu. Ada yang tidak beliau kerjakan karena sejak semula itu terlarang dan ada juga yang tidak beliau kerjakan karena ketika itu belum ada alasan atau dorongan mengerjakannya. Nah, bila kemudian ada alasan yang mendorong dan dapat dibenarkan, bid‘ah dalam hal ini dapat dibenarkan, seperti menulis dan membukukan al-Qur’an dalam satu mushaf pada masa Abû Bakar ra. Kita semua tahu bahwa pada masa Rasul saw., al-Qur’an belum dibukukan bukan saja karena ayat-ayat masih silih berganti turun selama hidup Rasul saw., melainkan juga karena kebutuhan untuk membukukannya belum dirasakan. Ini berbeda setelah beliau wafat. Ada lagi yang tidak dikerjakan Rasul saw. karena ketika itu ada dorongan atau sebab untuk tidak mengerjakan.


Shalat Tarawih berjamaah pada mulanya beliau lakukan di masjid dengan delapan rakaat dan banyak sahabat mengikutinya. Dari malam ke malam semakin banyak. Ketika itu, beliau khawatir jangan sampai ada yang menduga shalat itu wajib, maka beliau hentikan dan shalat di rumah sendirian. Ketika beliau wafat dan kekhawatiran telah sirna, Sayyidina ‘Umar menganjurkan shalat Tarawih dilaksanakan di masjid dan berjamaah dengan dua puluh rakaat plus witir. Sayyidina ‘Utsmân ra. juga melakukan apa yang tidak dilakukan Rasul saw. Ketika kota Madinah telah melebar dan penduduknya bertambah, pada hari Jumat, beliau azan dua kali padahal pada masa Nabi saw. hanya sekali.


Demikianlah bid‘ah—dalam ibadah pun—tidak semuanya terlarang jika dasar pokoknya ada. Memang, pada dasarnya, dalam hal ibadah murni, segalanya tidak boleh kecuali apa yang dikerjakan Rasul saw., sedangkan dalam soal muamalat, segalanya boleh kecuali yang dilarang. Akan tetapi, ulama pun menegaskan bahwa apa yang ditinggalkan Rasul saw. hendaknya dikaji mengapa ketika Nabi saw. hidup, beliau tidak mengerjakannya. Kalau memang suatu ibadah atau pekerjaan ada alasan untuk mengerjakannya dan diketahui bahwa Rasul saw. tidak mengerjakannya, karena enggan, kemudian ada sesudah beliau yang mengada-ada, itulah bid‘ah yang sesat. Itulah yang tidak diterima Allah swt. dan itu yang dimaksud dengan setiap bid‘ah dhalâlah (sesat) dan semua dhalâlah di neraka. Dalam konteks ini, ulama berbeda pendapat tentang tahlil, maulid, dan sebagainya. 

Demikian, wallâhu a‘lam.
[M. Quraish Shihab - Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur'an] 

Source : alifmagz.com