Kamis pagi, 14 Januari
2015, sebuah bom bunuh diri membelah keheningan pagi di kawasan Sarinah,
Jakarta Pusat. Polda Metro Jaya merilis ada tujuh orang tewas dan terluka dari
peristiwa peledakan yang disusul dengan penembakan itu. Lima di antaranya
adalah pelaku teror. Tiga pelaku tewas karena bom bunuh diri. Sisanya, pelaku
tewas ditembak oleh aparat keamanan (Kompas.com)
Hingga saat ini belum
diketahui pasti apa motif dari pelaku. Ada yang berkata bahwa peristiwa itu
merupakan upaya pengalihan isu, karena pada tanggal yang sama dengan kejadian
tersebut merupakan batas akhir PT. Freeport tawarkan divestasi saham. Ada juga
yang berkata bahwa insiden tersebut merupakan realisasi dari ancaman ISIS
sebelumnya. Mungkin ada banyak lagi isu lain yang berkembang di masyarakat yang
tidak diketahui oleh penulis. Akan tetapi, yang patut disyukuri bahwa setelah
kejadian tersebut. Presiden Joko Widodo segera mengeluarkan pernyataan
sekaligus himbauan kepada seluruh rakyat Indonesia agar tidak takut menghadapi
situasi semacam ini.
Ya, Optimisme dan
keberanian melawan terorisme sudah sepantasnya digaungkan oleh seluruh rakyat
Indonesia terutama di saat-saat seperti ini, karena terorisme merupakan musuh
bersama. Baik yang beragama Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, Kong Hu Chu,
terutama Islam yang dari namanya saja (Islam=Keselamatan) sudah sangat jelas
sikapnya terhadap terorisme.
Mungkin para pelaku
bom itu mengira bahwa rakyat Indonesia akan takut, panik dan “terbelah”
menghadapi situasi semacam ini. Sebuah karangan bunga bertuliskan “Kami Tidak
Takut” yang terpajang persis di depan pos polisi Sarinah (Kompas.com ) sudah
menunjukkan bahwa rakyat Indonesia bukanlah rakyat yang lemah. Kita memang
berbeda-beda, tapi kita tetap satu, Bhinneka Tunggal Ika.
Sebuah film yang
dirilis bulan lalu, bertajuk “Bulan Terbelah di Langit Amerika” yang
disutradarai oleh Rizal Mantovani memberikan pesan yang sangat luar biasa
mengenai ke”terbelah”an yang terjadi pada masyarakat dunia. Mulai dari
ke”terbelah”an antara muslim dengan non-muslim maupun ke”terbelah”an antara sesama
muslim itu sendiri. Kita memang masih menyayangkan atas apa yang masih saja
terjadi di kawasan Timur tengah saat ini. Di mana sesama muslim saling
memerangi satu sama lain. Kita berdoa agar Allah swt. segera memberikan hidayah
kepada mereka agar segera berdamai dan sadar akan akibat dari ke”terbelah”an
yang mereka lakukan. Masyarakat muslim Indonesia tidak boleh terpengaruh dengan
segala pancingan yang diharapkan membuat kita terbelah. Mulai dari kelompok
GAFATAR (Gerakan Fajar Nusantara) hingga insiden bom bunuh diri kemarin. Bulan
kita tidak boleh “terbelah”.
Masih di dalam film
yang diangkat dari naskah cerita yang ditulis oleh Hanum Rais tersebut, “Would
The World be Better Without Islam ?” (Akankah dunia akan menjadi lebih baik
tanpa Islam ?). Inilah judul artikel yang ditugaskan untuk ditulis oleh Hanum
di dalam film tersebut. Hanum diberi tugas untuk mewawancari keluarga muslim
yang menjadi korban sekaligus dianggap sebagai pelaku bom WTC 11 September di
New York. Dan pada akhirnya, segala macam ke”terbelah”an itu mampu direkatkan
kembali melalui komunikasi yang baik yang mampu menghasilkan pemahaman yang
lebih baik (Better Understanding) satu sama lain.
“Jangan mau terbelah”.
Negara kita sudah ditakdirkan hidup dalam keragaman yang luar biasa. Mulai dari
warna kulit, bahasa, suku dan agama. Kita tidak dapat lagi menolak kenyataan
tersebut. Yang perlu kita lakukan sekarang adalah memilih sikap. Apakah kita
ingin hidup dalam harmoni dengan beragam perbedaan tersebut ? ataukah kita
ingin terus-menerus menghabiskan waktu dan energi meributkan perbedaan kita
yang sudah menjadi keniscayaan itu. Kita sudah jauh tertinggal dari peradaban
dunia yang sangat maju. Jangan lagi ada perlambatan dengan terus-menerus
bertikai. Mari bersatu dan berlari bersama.
Memang kita berbeda,
tapi kita tidak boleh terbelah. Terlalu banyak kesalahpahaman yang terjadi
antara kita. Baik kesalahpahaman yang ada antara sesama kelompok yang
bersyahadat, maupun antara yang muslim dengan non-muslim. Sebagai contoh, salah
satu stigma yang melekat di dalam diri kita mengenai orang non-muslim atau
orang-orang barat adalah kehidupan mereka yang sangat individualistik. “Mereka
tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekitar mereka, berbeda dengan kita
umat muslim yang sangat memperhatikan lingkungan sosialnya”. Lebih kurang
kalimat yang demikianlah yang tertanam di benak kita atau sebagian besar
orang-orang yang mengaku muslim. Stigma itu tidaklah benar sepenuhnya.
Penulis yang diberi
kesempatan oleh Allah swt. untuk mengikuti Student Mobility Program 2015 yang
diadakan oleh Kemenag RI di Perth, Western Australia, Australia pada
pertengahan Desember lalu telah melihat bagaimana sesungguhnya individualisme
itu. Individualisme mereka tidaklah berarti bahwa mereka betul-betul tidak
peduli dengan apa yang terjadi. Mereka tetap saling menyapa jika saling
berpapasan terutama ketika jogging di pagi hari, mereka mendahulukan
pejalan kaki dari yang berkendaraan bermotor, mereka memberikan fasilitas
khusus bagi penyandang disabilitas, mereka menawarkan diri untuk membantu kita
untuk mengambil gambar dan lain sebagainya.
Better
Understanding yang merupakan immediate
goal dari program yang diikuti oleh penulis tersebut sudah seharusnyalah
diterapkan oleh seluruh rakyat Indonesia, agar perbedaan kita tidak menjadikan
kita mem”belah” diri kita sendiri, dan
agar kita tidak dapat di”belah” oleh pihak lain yang ingin melihat kita terus
terpuruk. Salah satunya melalui insiden bom kemarin. Bulan kita satu, jangan
dibelah, Mari Bersatu dan Berlari Bersama, Karena Berbeda Kita Bersama. Wallahu
A’lam Bishshawab.
"Artikel ini dikutsertakan dalam Kompetisi Blog yang diselenggarakan oleh ICRS dan Sebangsa"
#celebratediversity#10tahunicrs
"Artikel ini dikutsertakan dalam Kompetisi Blog yang diselenggarakan oleh ICRS dan Sebangsa"
#celebratediversity#10tahunicrs
0 Comment:
Post a Comment