Realita Dunia pendidikan di tanah air tercinta kita saat ini
semakin memperlihatkan ketidaksesuaiannya dengan ide dunia pendidikan yang
seharusnya. Kita mesti membedakan antara dunia pendidikan dalam ide maupun
dalam realitanya dewasa ini. Dunia pendidikan dalam ide adalah dunia para
khalifah Allah di dunia. Betapa tidak, didalam dunia pendidikan masyarakat
seharusnya dididik agar menjadi manusia yang sesungguhnya yang mampu menciptakan kedamaian dan kesejahteraan
untuk seluruh makhlukNya. Tidak hanya manusia dengan beragam suku,
bangsa, bahasa, dan agamanya tetapi juga
bagi flora, fauna maupun makhluk-makhluk abiotik. Manusia bertindak sebagai wakil Allah di
muka bumi. Betapapaun banyaknya teori yang terjabarkan dalam beberapa mata
pelajaran atau mata kuliah di dunia pendidikan baik itu dari ilmu eksakta
maupun ilmu-ilmu sosial khususnya didalam pendidikan formal, esensinya adalah
bagaimana membentuk pola pikir peserta didik agar mampu menjadi insan mandiri
yang berkarakter sehingga termanifestasi dalam akhlak sehari-harinya, baik
akhlak kepada dirinya sendiri, keluarga, masyarakat, agama maupun akhlak kepada
bangsa dan negara. Begitupun dalam pendidikan informal dan nonformal.
Sedangkan dalam realitanya, sangat
bertolakbelakang dengan ide pendidikan diatas. Kita sering melihat pemberitaan di media baik
media cetak maupun media elektronik yang menampilkan gagalnya dunia pendidikan
kita untuk membentuk masyarakat berkarakter yang mampu menghargai perbedaan.
Mulai dari tawuran antarpelajar, perang antarsuku, maupun pertikaian yang
dipertontonkan antarelit negeri ini. Tawuran antarpelajar terjadi akibat mereka
belum mampu menerima “orang lain” dalam kehidupannya, datang ke sekolah bukanlah
karena untuk memperbaiki kualitas diri tapi karena dipaksa orangtua, masuk
sekolah karena merasa gengsi dengan kawan-kawannya yang juga ikut bersekolah,
padahal juga karena dipaksa orang tuanya.
Pelajaran di sekolah tidak penting dalam pikiran mereka sehingga mereka pun mencari
suasana lain yang membuatnya senang. Akhirnya bertemulah meraka dengan kelompok –
kelompok yang mengkotak- kotakkan mereka. Dengan didukung oleh emosi labil remaja, gesekan
sekecil apapun antarkelompok itu akan menimbulkan kobaran api yang mampu
menjatuhkan korban jiwa. Sebuah masalah antarkelompok tidak akan redup dengan
hukuman yang diberikan pihak sekolah bahkan dikeluarkan dari sekolah sekalipun.
Bahkan justru akan turun-temurun pada generasai setelahnya.
Begitupun dengan perang antarsuku yang tejadi
hampir di seluruh wilayah negeri tercinta ini. Jika kita memperhatikan, maka
kita akan mendapatkan bahwa daerah-daerah yang didalamnya terjadi perang
antarsuku adalah daerah dengan tingkat pendidikan masyarakatnya rendah, hal ini
menunjukan bahwa semakin rendah pendidikan masyarakat semakin mudah mereka
diprovokasi sehingga terjadi perang antar suku yang mungkin sebelumnya mereka
pernah hidup berdampingan dengan harmonis. Sebaliknya, di daerah-daerah yang
masyarakatnya adalah orang-orang berpendidikan, jarang ditemukan perselisihan
antara mreka karena faktor ras sebagaimana di daerah berpendidikan rendah.
Meskipun demikian, masyarakat yang berpendidikan tinggi juga
mempunyai model konflik perbedaan tersendiri. Misalnya, dikalangan para pejabat,
mereka bisa saling berselisih bahkan bertikai karena perbedaan partai,
pendapat, dan aliran. Media pernah heboh memberitakan tentang dua orang
berpendidikan tinggi di mata kita pada sebuah acara talkshow di sebuah stasiun
televisi swasta yang terlibat dalam pembicaraan panas hingga akhirnya memuncak
ketika salah seorang dari mereka berdua menyiramkan minuman yang disajikan ke
lawan bicaranya yang berbeda pendapat dengan dirinya. Di kasus lain, media juga
pernah mengabarkan tentang seorang pengacara terkenal yang seakan-akan
merendahkan seorang wakil gubernur dengan menyebut-menyebut sukunya. Hal ini
menunjukkan bahwa di setiap tingkatan level pendidikan masyarakat tetap terjadi
perselisihan yang tidak disikapi secara bijak. Perbedaan tinggi rendahnya
pendidikan hanya berpengaruh pada perbedaan model perselisihan mereka, mulai
dari bentrokan atau tawuran di kalangan pelajar, perang antarsuku di
tengah-tengah masyarakat berpendidikan rendah maupun saling memaki antarpejabat
di negeri tercinta ini, bukan perbedaan sikap yang membedakan mereka dalam menghadapi perbedaan. Seandainya
semakin tinggi pendidikan masyarakat semakin bijak cara mereka menghadapi
perbedaan maka kita dapat mengatakan bahwa dunia pendidikan kita telah mampu melahirkan
masyarakat toleran. Namun, yang mampu kita katakan adalah bahwa dunia
pendidikan kita belum mampu menjadi alam rahim yang melahirkan masyarakat
toleran.
Dunia pendidikan yang merupakan alam rahim bagi masyarakat toleran
adalah dunia pendidikan yang sarat akan ajaran agama. Kegagalan dunia
pendidikan kita diakibatkan karena besarnya perhatian yang diberikan pada
pengembangan kecerdasan intelektual tanpa diimbangi oleh kecerdasan spiritual
yang secara otomatis sesungguhnya pasti akan diikuti dengan pengembangan
kecerdasan emosional. Sehingga, tidak mengherankan jika banyak intelektual kita
yang melakukan penyimpangan seperti korupsi atau penghinaan golongan, warna,
politik, dan ras hanya akibat perbedaan pendapat diantara mereka atau akibat
kepentingan politik mereka masing-masing.
Pelajaran agama yang hanya diberikan di sekolah rata-rata 2 jam
pelajaran per minggu ditambah dengan pelajaran kewarganegaraan tentu tidak
seimbang dengan puluhan jam jumlah seluruh porsi pelajaran lainnya. Pelajaran
lain memotivasi peserta didik untuk menjadi tercerdas intelektual dan untuk
mendapatkan nilai tertinggi tapi hampa akan penerapannya dalam kehidupan,
terlebih lagi bagaimana agar pelajaran yang didapat di sekolah itu bisa menjadikannya
bermanfaat bagi orang lain. Pelajaran agama yang dipelajari di sekolah pun hanya
merupakan sebagian kecil dari keseluruhan ajaran agama itu sendiri. Yang
diajarkan di sekolah dalam 2 jam per minggu itu kebanyakan mengenai masalah
fiqhi. Padahal yang tidak kalah penting sesungguhnya untuk diajarkan pada
peserta didik adalah prinsip bahwa agama mengajarkan kedamaian, keselamatan,
menghargai perbedaan, membenci permusuhan,
terorisme, kezaliman, penjajahan dan seterusnya. Sehingga, disamping
memperbaiki persepsi peserta didik tentang agama yang dianggap hanya membahas
ibadah ritual juga akan mengembangkan kecerdasan spiritualnya. Dengan demikian,
peserta didik akan menjadi orang-orang taat beragama dengan kecerdasan
spiritualnya dan otomatis pula akan memiliki kecerdasan emosional.
Kecerdasan spiritual (SQ) dan kecerdasan emosional (EQ) yang terus
berkembang ini akan menjadi penyeimbang kecerdasan intelektualnya. Peningkatan
SQ dan EQ tidak akan menghambat kecerdasan intelektualnya (IQ). Justru akan
menjadikannya insan kamil yang berkarakter dan menghargai perbedaan. Sejarah
mengukir dengan tinta emas orang-orang yang tidak hanya berintelektual tinggi,
namun juga seorang ulama dan sosiolog seperti : Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Ar-Razi,
Al-Biruni dan seterusnya. Perilaku para Imam mazhab pun bisa kita jadikan
contoh penerapan pendidikan sebagai ide yang melahirkan manusia-manusia
toleran. Imam Syafi’i yang kita kenal berpendapat bahwa qunut saat shalat
shubuh adalah sunnah. Ketika beliau mengunjungi masjid Imam Malik yang tidak
menganggap qunut di shalat shubuh adalah sunnah dan beliau ditunjuk untuk
memimpin shalat shubuh. Ternyata beliau tidak qunut padahal para jama’ah yang
notabene pengikut Imam Malik sudah bersiap-siap qunut karena mengetahui bahwa
beliau adalah Imam yang menganggap qunut shubuh adalah sunnah. Ketika selesai
shalat, beliau ditanya oleh para jama’ah dan beliau menjawab “ Saya menghormati
beliau (menunjuk kuburan Imam Malik yang berada di depan masjid) ”. Kisah
diatas merupakan potret seorang intelektual toleran yang dilahirkan dari sebuah
rahim dunia pendidikan yang sesuai dengan ide dunia pendidikan seperti yang
dikemukakan sebelumnya.
Kesimpulannya adalah dunia pendidikan yang sesungguhnya adalah alam
rahim yang penuh dengan kasih sayang (rahmat) Allah ditandai dengan diajarkannya
ilmu-ilmu agama (sosial dan ritual) yang akan menyeimbangkan kecerdasan
intelektualnya. Sehingga akan melahirkan “bayi-bayi” berkarakter yang siap bertoleransi
menghadapi perbedaan. Tiap-tiap dari “bayi-bayi” inilah yang akan membentuk
masyarakat yang bersikap bijak menghadapi perbedaan. Sehingga akan terwujudlah
negara yang aman, damai, dan sejahtera sebagaimana yang kita impikan.
0 Comment:
Post a Comment