Darul Ma'arif Asry

Amin.....Al-Fatihah..!

The Power of Affirmation

Imagine, Plan, and Action !!!

ANGKASA

Angkatan Sembilan Al-Ikhlas

IQTK 2013

Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Khusus Angkatan 2013

Islami is NOT classic

Islami = Modern Civilization based on Classic Civilizatin

Mohon Maaf Atas Segala Ketidaksempurnaan Blog ini

Dalam Proses Penyempurnaan....

Saturday, June 25, 2016

BULAN TAK BOLEH TERBELAH


BULAN TAK BOLEH TERBELAH

Kamis pagi, 14 Januari 2015, sebuah bom bunuh diri membelah keheningan pagi di kawasan Sarinah, Jakarta Pusat. Polda Metro Jaya merilis ada tujuh orang tewas dan terluka dari peristiwa peledakan yang disusul dengan penembakan itu. Lima di antaranya adalah pelaku teror. Tiga pelaku tewas karena bom bunuh diri. Sisanya, pelaku tewas ditembak oleh aparat keamanan (Kompas.com)

Hingga saat ini belum diketahui pasti apa motif dari pelaku. Ada yang berkata bahwa peristiwa itu merupakan upaya pengalihan isu, karena pada tanggal yang sama dengan kejadian tersebut merupakan batas akhir PT. Freeport tawarkan divestasi saham. Ada juga yang berkata bahwa insiden tersebut merupakan realisasi dari ancaman ISIS sebelumnya. Mungkin ada banyak lagi isu lain yang berkembang di masyarakat yang tidak diketahui oleh penulis. Akan tetapi, yang patut disyukuri bahwa setelah kejadian tersebut. Presiden Joko Widodo segera mengeluarkan pernyataan sekaligus himbauan kepada seluruh rakyat Indonesia agar tidak takut menghadapi situasi semacam ini.
Ya, Optimisme dan keberanian melawan terorisme sudah sepantasnya digaungkan oleh seluruh rakyat Indonesia terutama di saat-saat seperti ini, karena terorisme merupakan musuh bersama. Baik yang beragama Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, Kong Hu Chu, terutama Islam yang dari namanya saja (Islam=Keselamatan) sudah sangat jelas sikapnya terhadap terorisme.
Mungkin para pelaku bom itu mengira bahwa rakyat Indonesia akan takut, panik dan “terbelah” menghadapi situasi semacam ini. Sebuah karangan bunga bertuliskan “Kami Tidak Takut” yang terpajang persis di depan pos polisi Sarinah (Kompas.com ) sudah menunjukkan bahwa rakyat Indonesia bukanlah rakyat yang lemah. Kita memang berbeda-beda, tapi kita tetap satu, Bhinneka Tunggal Ika.
Sebuah film yang dirilis bulan lalu, bertajuk “Bulan Terbelah di Langit Amerika” yang disutradarai oleh Rizal Mantovani memberikan pesan yang sangat luar biasa mengenai ke”terbelah”an yang terjadi pada masyarakat dunia. Mulai dari ke”terbelah”an antara muslim dengan non-muslim maupun ke”terbelah”an antara sesama muslim itu sendiri. Kita memang masih menyayangkan atas apa yang masih saja terjadi di kawasan Timur tengah saat ini. Di mana sesama muslim saling memerangi satu sama lain. Kita berdoa agar Allah swt. segera memberikan hidayah kepada mereka agar segera berdamai dan sadar akan akibat dari ke”terbelah”an yang mereka lakukan. Masyarakat muslim Indonesia tidak boleh terpengaruh dengan segala pancingan yang diharapkan membuat kita terbelah. Mulai dari kelompok GAFATAR (Gerakan Fajar Nusantara) hingga insiden bom bunuh diri kemarin. Bulan kita tidak boleh “terbelah”.
Masih di dalam film yang diangkat dari naskah cerita yang ditulis oleh Hanum Rais tersebut, “Would The World be Better Without Islam ?” (Akankah dunia akan menjadi lebih baik tanpa Islam ?). Inilah judul artikel yang ditugaskan untuk ditulis oleh Hanum di dalam film tersebut. Hanum diberi tugas untuk mewawancari keluarga muslim yang menjadi korban sekaligus dianggap sebagai pelaku bom WTC 11 September di New York. Dan pada akhirnya, segala macam ke”terbelah”an itu mampu direkatkan kembali melalui komunikasi yang baik yang mampu menghasilkan pemahaman yang lebih baik (Better Understanding) satu sama lain.
“Jangan mau terbelah”. Negara kita sudah ditakdirkan hidup dalam keragaman yang luar biasa. Mulai dari warna kulit, bahasa, suku dan agama. Kita tidak dapat lagi menolak kenyataan tersebut. Yang perlu kita lakukan sekarang adalah memilih sikap. Apakah kita ingin hidup dalam harmoni dengan beragam perbedaan tersebut ? ataukah kita ingin terus-menerus menghabiskan waktu dan energi meributkan perbedaan kita yang sudah menjadi keniscayaan itu. Kita sudah jauh tertinggal dari peradaban dunia yang sangat maju. Jangan lagi ada perlambatan dengan terus-menerus bertikai. Mari bersatu dan berlari bersama.   
Memang kita berbeda, tapi kita tidak boleh terbelah. Terlalu banyak kesalahpahaman yang terjadi antara kita. Baik kesalahpahaman yang ada antara sesama kelompok yang bersyahadat, maupun antara yang muslim dengan non-muslim. Sebagai contoh, salah satu stigma yang melekat di dalam diri kita mengenai orang non-muslim atau orang-orang barat adalah kehidupan mereka yang sangat individualistik. “Mereka tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekitar mereka, berbeda dengan kita umat muslim yang sangat memperhatikan lingkungan sosialnya”. Lebih kurang kalimat yang demikianlah yang tertanam di benak kita atau sebagian besar orang-orang yang mengaku muslim. Stigma itu tidaklah benar sepenuhnya.
Penulis yang diberi kesempatan oleh Allah swt. untuk mengikuti Student Mobility Program 2015 yang diadakan oleh Kemenag RI di Perth, Western Australia, Australia pada pertengahan Desember lalu telah melihat bagaimana sesungguhnya individualisme itu. Individualisme mereka tidaklah berarti bahwa mereka betul-betul tidak peduli dengan apa yang terjadi. Mereka tetap saling menyapa jika saling berpapasan terutama ketika jogging di pagi hari, mereka mendahulukan pejalan kaki dari yang berkendaraan bermotor, mereka memberikan fasilitas khusus bagi penyandang disabilitas, mereka menawarkan diri untuk membantu kita untuk mengambil gambar dan lain sebagainya.
Mereka individualistik dalam arti mereka menghargai usaha tiap-tiap orang. Setiap orang memiliki kesibukan masing-masing, setiap orang memiliki agenda harian masing-masing. Sehingga dalam pandangan kita yang setiap harinya banyak membuang-buang waktu dan beraktifitas tanpa agenda harian, melihat mereka seakan-akan mereka acuh tak acuh dengan sekitarnya. Tidak, pahamilah bahwa mereka sedang memanfaatkan waktu kerja mereka untuk betul-betul bekerja, dan  mereka betul-betul bersantai bersama keluarga di akhir pekan mereka.

Better Understanding yang merupakan immediate goal dari program yang diikuti oleh penulis tersebut sudah seharusnyalah diterapkan oleh seluruh rakyat Indonesia, agar perbedaan kita tidak menjadikan kita mem”belah” diri kita sendiri,  dan agar kita tidak dapat di”belah” oleh pihak lain yang ingin melihat kita terus terpuruk. Salah satunya melalui insiden bom kemarin. Bulan kita satu, jangan dibelah, Mari Bersatu dan Berlari Bersama, Karena Berbeda Kita Bersama. Wallahu A’lam Bishshawab.

"Artikel ini dikutsertakan dalam Kompetisi Blog yang diselenggarakan oleh ICRS dan Sebangsa"
#celebratediversity#10tahunicrs